Anak Muda dan Inovasi Pertanian

Anak Muda dan Inovasi Pertanian
ilustrasi smart farming/ net

MONITORDAY.COM - Anak muda tak perlu gengsi menjadi petani. Apalagi bila mampu mengembangkan smart farming atau smart agriculture. Ilmu pengetahuan dan keterampilannya yang canggih di era digital dapat dimanfaatkan untuk berinovasi. Kecanggihan teknologi digital dapat menjadi pendukung peran anak-anak muda menjadi motor inovasi pertanian.

Pemerintah harus mampu memberi jalan keluar bagi anak-anak muda untuk menjadi petani. Petani dalam pengertian sebagai wirausahawan bidang pertanian. Petani yang memiliki daya saing tinggi dan mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan. Termasuk bagi para lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan pertanian yang pernah bekerja di industri besar dan menengah yang memproduksi makanan dan minuman serta industri pengolahan sejenis. Banyak diantaranya yang bekerja kontrak sekira dua tahun saja dan kemudian harus kembali ke daerah asal.

DI sisi lain banyak anak muda yang telah sadar, memiliki akses dan terjun dalam dunia pertanian. Beberapa diantara mereka mendirikan start up atau perusahaan rintisan berbasis teknologi digital untuk membangun model bisnis pertanian modern. Bisnis pertanian dari hulu ke hilir, dari produsen atau petani ke konsumen atau end-user. Dengan manajemen rantai pasok yang rapi dan efisien.

Presiden Joko Widodo pun sangat mengapresiasi kalangan muda yang mau menjadi petani. Termasuk bagi mereka yang menekuni pertanian organik yang sehat dan ramah lingkungan. Jokowi menekankan perlunya inovasi dalam pertanian. Tentu saja anak-anak muda yang lebih berpotensi untuk melakukannya.

Pertanian khususnya tanaman pangan sangat potensial. Populasi bumi terus bertambah. Semakin banyak perut yang harus diisi. Produksi pangan dan distribusi serta perdagangannya akan terus tumbuh. Tinggal bagaimana budidaya dan pemasarannya dikembangkan dengan manajemen modern yang efisien.

Komoditas pertanian non-pangan juga semakin dibutuhkan dalam bentuk serat tanaman, antara lain untuk bahan baku farmasi, material konstruksi, bioenergi atau biofuel, dan bahan kimia esensial.  

Kebutuhan produk pertanian domestik kita sangat tinggi. Beras sesekali kita impor untuk mengamankan iron stock di gudang Bulog. Gandum kita impor dari berbagai negara. Bahkan kedelai untuk bahan baku tahu dan tempe arus kita impor dalam jumlah yang besar. Bawang putih juga demikian. Semua ini memberi gambaran bahwa potensi pertanian sangat menarik untuk dikembangkan dari sisi permintaan yang tinggi.   

Indonesia membutuhkan strategi pertanian yang jitu. Prioritas utamanya tentu untuk mengamankan ketersediaan pangan domestik. Namun hal itu tak serta merta dapat dilakukan. Dunia saling bergantung, negara yang satu membutuhkan komoditas dari negara lainnya. Indonesia juga potensial untuk mengekspor berbagai komoditas pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan dan produk pertanian dunia.

Kita harus jujur akan ketertinggalan kita dari Thailand dalam mengembangkan pertanian modern. Sejak beberapa dekade lalu, Negeri Gajah Putih itu telah membuktikan kemampuannya menghasilkan produk pertanian unggulan. Mereka mampu memenuhi permintaan dunia. Tentu dengan kualitas dan ketersediaan yang terjaga. Bukan berarti ketertinggalan itu tak bisa dikejar.

Budi daya pertanian dan teknologi 4.0 terus berkembang. Juga pengolahan hasil pertanian dan teknologi pertanian berbasis kecerdasan buatan. Pemerintah, swasta, dan elemen masyarakat lainnya harus bergandeng tangan untuk menggerakkan pertanian modern yang mampu menghasilkan produk berkualitas dan pengolahan dan distribusinya yang efisien hingga dapat memenuhi kebutuhan ekspor dan domestik. Dan tentu saja membuat petani muda sejahtera.