Alasan Syekh Said Nursi Hidup Membujang (2)

MONITORDAY.COM - Pada tulisan sebelumnya, kita sudah membahas alasan pertama kenapa Syekh Said Nursi hidup membujang. Ketakwaan Syekh Said Nursi kepada Allah SWT beliau tunjukkan dengan pengabdiannya kepada kitab suci Al-Quran. Juga dalam rangka membela agama di tengah hiruk pikuk penjajahan ideologi barat, akhirnya beliau memilih untuk hidup membujang
Kedua. Alasan Syekh Nursi hidup membujang adalah beliau berpandangan bahwa menikah itu bukan perintah yang bersifat wajib dan permanen. Menikah lebih kepada anjuran yang disunnahkan.
Alasan tersebut senada dengan sebuah ceramah dari Buya Yahya dalam youtube-nya. Buya Yahya menjelaskan sebuah hadits nabi berbunyi “An-nikaahu sunnatii, man ragiba ‘an sunnati, fa laisa minnii”, artinya menikah itu sunnahku, siapa yang membenci sunnahku, maka bukan termasuk golonganku.
Kita perlu tahu bahwa hukum menikah itu ada lima; wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah. Dan hukum dasar menikah adalah sunnah, maka sebetulnya sah-sah saja bila seseorang memilih untuk tidak menikah. “Menyendirinya seseorang dikembalikan pada dirinya. Kalau memang dugaan nikah tambah tidak baik. Takut berbuat zalim terhadap pasangannya. Kemudian saat dia sendiri tidak melakukan kemaksiatan dan semakin dekat kepada Allah. Maka menyendiri baginya lebih bagus”, terang Buya Yahya.
Kemudian, Buya Yahya mengulas kalimat ragiba yang berarti membenci dalam hadits diatas. “Membenci loh ya. Kalau ada orang tidak menikah, bukan berarti dia benci dengan sunah Nabi. Karena alasan orang tidak menikah macem-macem. Memang Rabiah Adawiyah dan Imam Nawawi bukan untuk ditiru (tidak menikah), yang perlu ditiru adalah ilmu dan akhlaknya.”
Bila kita logikakan, bagaimana mungkin seorang ulama membenci sunah Nabi? Sedangkan mereka hidup untuk Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya dipilih Allah untuk tenggelam dalam lautan cinta kepada agama. Tidak ada waktu bagi mereka untuk memikirkan syahwat. Bukan berarti pula mereka tidak mempunyai syahwat. Kebiasaan mereka tidak lepas dari berdzikir. Akibat ketenangan berdzikir itulah yang berdampak pada tenangnya syahwat mereka.
Syekh Said Nursi kemudian menyinggung hadits berikut, Nabi SAW, bersabda “Tidak ada kehidupan ala rahib (pendeta/biara) dalam Islam”. Sebagaimana yang kita tahu, kehidupan seorang biara adalah menyendiri, tidak menikah. Mereka mentalak kehidupan dunia dan mengucilkan diri dari dunia. Atau yang lebih parah, mereka mengebiri kemaluannya sendiri, dimana hal ini diharamkan dalam Islam.
Sedangkan Syekh Nursi tidak bermaksud mengikuti apalagi meniru para rahib. Beliau berkata, “Bukan berarti kehidupan yang ditunjukkan rahib dan pendeta terlarang dan tertolak sama sekali.” Pandangan Syekh Nursi lebih kepada bahwa kesendirian, hidup membujang itu berisi dorongan untuk berbaur dalam kehidupan sosial. Manusia adalah makhluk sosial dan itu adalah suatu kemutlakan, sunnatullah. Makannya, dalam kesendirian pun, manusia masih butuh bantuan orang lain.
Syekh Nursi sendiri hidup membujang bukan semata-mata untuk menjauhkan diri dari kehidupan dunia atau kehidupan sosial. Justru beliau mendalami Al-Quran untuk beramal dan menghentikan arus kekafiran. “Kutegaskan bahwa orang yang melakukan amal yang bersifat umum dan universal –bukan untuk dirinya sendiri- seraya meninggalkan kehidupan yang fana, tentu saja tidak menyalahi sunnah nabi. Perbuatannya justru sesuai dengan hakikat sunnah Nabi SAW yang mensabdakan, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Ketiga. Ini bukan tentang alasan Syekh Nursi hidup membujang, poin ketiga ini merupakan jawaban atas tuduhan yang menimpa nama baiknya, dimana disebutkan bahwa Syekh Nursi mendoktrin murid-muridnya yang dikenal dengan Murid Nur untuk hidup membujang.
Syekh Nursi mengklarifikasinya, “Kami tidak pernah mengatakan kepada Murid Nur, ‘kalian tidak usah menikah, biarkan orang lain saja menikah’. Perkataan semacam ini tidak sepantasnya diucapkan pada mereka.”
Lalu, beliau menerangkan bahwa Murid Nur itu tingkatannya beragam. Ada yang berusaha memisahkan diri dari kehidupan dunia dan mempersembahkan dirinya untuk tegaknya panji Al-Quran. Namun, bila suatu hari ada seorang perempuan yang datang dan menjadi istrinya. Mereka tidak menolaknya.
Sebagian besar Murid Nur mendapatkan istri yang bisa membantu mereka khidmah kepada Al-Quran. Dan pernikahan mereka tidak menghalangi atau membuat lalai aktivitas keagamaan. Para istri bahkan lebih unggul karena sifat mereka yang tidak menuntut balasan, mereka tulus mendampingi suami yang berjuang untuk agama.
Risalah Nur menegaskan muridnya, “Jadikan rumah kalian sebagai miniatur Madrasah Nuriyah (mengajarkan risalah nur), serta tempat menerima ilmu dan pengetahuan. Sehingga anak-anak yang merupakan buah dari penerapan sunah (menikah) itu tumbuh dalam pendidikan iman. Dengan begitu, mereka bisa menjadi penolong kalian di hari kiamat dan menjadi anak yang berbakti di dunia. Maka, sunnah nabi itu pun benar-benar terwujud pada diri kalian.”
Ketiga argumentasi Syekh Said Nursi tentang hidup membujang, selayaknya kita hormati, bukan kita hakimi. Tentunya, hal ini juga selayaknya tidak kita jadikan pembenaran untuk tidak menikah. Memangnya sesuci apa kita? Jangan samakan kita dengan para ulama. Allah menciptakan makhluk itu berpasang-pasangan. Dan pasangan Allah hadirkan untuk menundukkan gejolak syahwat kita. Terimalah fitrah itu. Hidupkan sunnah nabi dan jadikan pernikahan sebagai jalan untuk menemui Allah. (Selesai)
Sumber: Koleksi Risalah Nur "Tuntunan bagi Perempuan" karya Badiuzzaman Said Nursi