Alasan Syekh Said Nursi Hidup Membujang

MONITORDAY.COM - “Kapan nikah? Kok umur 30 tahun belum nikah sih? Katanya paham agama”. Kalimat-kalimat semacam itu ternyata sempat berseliweran juga di zaman dulu. Budaya judging terhadap status pernikahan orang, kelihatannya tak pernah putus. Padahal kita tak berhak menghakimi kehidupan orang. Setiap orang pasti punya standar hidupnya masing-masing, pun punya argumentasi tersendiri untuk tidak melakukan ini dan itu.
Persoalan ini pernah menimpa seorang ulama besar Turki yang hidup di akhir Kekhalifahan Utsmaniyah, ialah Syekh Badiuzzaman Said Nursi. Intelektualitasnya yang tinggi membawa beliau dikenal sampai luar negeri.
Beliau adalah ulama yang cukup disegani di wilayah Anatolia dan merupakan sosok yang memiliki perhatian besar terhadap perdamaian dan kemajuan pendidikan di dunia. Ide cemerlangnya di dunia pendidikan adalah menyarankan adanya pendidikan ilmu agama di sekolah umum dan juga ilmu sains modern di sekolah agama.
Syekh Badiuzzaman Said Nursi adalah seorang cendekiawan muslim dan ahli kalam yang dikenal sebagai tokoh pembaharu (mujaddid) Islam yang berpemikiran modern dan moderat. Pemikiran beliau sangat berpengaruh tidak hanya dalam bidang pendidikan, tapi juga dalam berbagai bidang antara lain tasawuf, akidah, sejarah, dan bahasa. (https://id.wikipedia.org/wiki/Said_Nurs%C3%AE)
Kala itu, ada pertanyaan yang masuk di jurnal beliau yang terbit di Baghdad tahun 1953 M. Pertanyaan tersebut terbingkai dalam secarik surat. Berikut isinya,
“Saya telah membaca beberapa bagian dari Risalah Nur (Buku karya Syekh Said Nursi) termasuk biografi anda. Dalam buku biografi anda, saya melihat bahwa diantara hal yang bersifat khusus pada diri anda adalah hidup membujang dan memutuskan hubungan dengan dunia, dimana keduanya juga terlihat pada murid-murid anda (Murid Nur). Kondisi tersebut tidak sesuai dengan firman Allah dan hadis nabi berikut ini,
“Nikahilah wanita yang kau senangi...” (QS. An-Nisa: 3)
Diriwayatkan dari Sa’id bin Abi Hilal, Nabi SAW bersabda, “Menikahlah perbanyaklah keturunan, sebab aku bangga dengan jumlah kalian di hadapan umat yang lain di hari kiamat”.
Mengapa anda hidup membujang wahai Syekh Nursi; menyalahi sunnah Nabi SAW?
(Lanjutan tulisan dalam surat) “Saya yakin bahwa keberatan yang saya sampaikan bisa juga mengarah pada soal melajang merupakan tuntutan bagi Murid-murid Nur baik bagi laki-laki maupun perempuan sampai batas waktu tertentu. Agar mereka fokus pada Al-Quran dan keimanan. Namun sepertinya soal ini tak perlu dibahas. ‘Ala kulli hal saya hanya menunggu jawaban dari anda.”
Dalam kondisi sakit yang cukup berat, beliau menulis beberapa poin singkat sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut,
Pertama, beliau merasa bahwa agama membutuhkan relawan untuk melawan serangan masif kaum kafir yang dimulai sejak empat tahun yang lalu (Perang Dunia I). Beliau mengabdikan dirinya secara penuh demi Al-Quran, sehingga sunah nabi yang satu ini sengaja beliau tinggalkan.
“Agar bisa berkhidmah pada Al-Qur’an secara benar dengan penuh ketulusan, aku harus meninggalkan pernikahan di dunia yang bersifat sementara, meskipun kusadari bahwa ia merupakan sunah nabi SAW. Bahkan, andaikan datang sepuluh bidadari padaku, aku terpaksa harus meninggalkan semuanya demi hakikat Al-Quran”, terang beliau.
Situasi agama di masa Perang Dunia I sangat terancam. Khususnya di Turki, saat itu sekulerisme sedang hangat-hangatnya menjadi parasit agama. Pelajaran agama dihapuskan dari sekolah, adzan syar’i diganti, serta hijab dilarang melalui peraturan perundang-undangan. Para ulama mendapat banyak ujian dan orang-orang bertakwa mengeluarkan fatwa menguntungkan bagi kaum kafir, serta bersikap seolah-olah loyal terhadap mereka.
Syekh Said Nursi mengkritisi hal ini sebagai sebab dari kesukaran dan tuntutan hidup yang dialami oleh anak dan keluarga para pengampu kepercayaan masyarakat itu. Beliau memilih untuk tidak menikah supaya pengorbanan yang dikerahkan bisa maksimal, tidak diganggu oleh tuntutan-tuntutan yang dapat menyesatkan.
Beliau tidak ingin menerjang banyak larangan agama dan ingin menunaikan banyak kewajiban agama. Pasalnya, tidak boleh melakukan larangan agama dikarenakan menunaikan sebuah sunah. Alkisah pernah didapati kasus bahwa sejumlah ulama yang menjalani pernikahan terpaksa melakukan larangan dan meninggalkan berbagai sunah juga kewajiban yang lain.
Bahkan diceritakan ada seorang ahli ibadah bernama Barshisha yang di ujung hidupnya bersujud kepada iblis. Ia digoda iblis yang ingin menjauhkannya dari ibadah. Terbuai godaan iblis, ahli ibadah itu berzina dengan seorang wanita hingga hamil. Ia kemudian membunuh wanita itu karena malu.
Kisah diatas cukup menguatkan alasan Said Nursi yang memilih fokus menekuni Al-Quran daripada terlena dengan kesenangan fana yang membutakan mata.
Alasan pertama Syekh Said Nursi hidup membujang ini dianggap hal lumrah di kalangan para ulama. Ihwal ini bahkan menjadi argumentasi beberapa ulama terkenal. Rabiatul Adawiyah memilih menenggelamkan diri dalam kecintaan kepada Allah dibanding menerima lamaran seorang laki-laki. Ibnu Taimiyah sibuk mengajarkan ilmu, membela agama dan berjuang melawan penjajah Tartar. Imam Ahmad bin Hanbal disibukkan dengan perdebatan kaum Mu’tazilah soal apakah Al-Qur’an itu ‘makhluk’ atau tidak. (Bersambung)
Sumber: Koleksi Risalah Nur "Tuntunan bagi Perempuan" karya Badiuzzaman Said Nursi