Al-Quran: Manusia Penyebab Perubahan Iklim

MONITORDAY.COM - Meski turun berabad-abad lalu, kemurnian Al-Quran selalu terjaga. Sebab ternyata ayat-ayat yang memenuhi Al-Quran relevan bahkan sampai akhir zaman. Itulah kenapa Islam disebut agama yang fleksibel dan universal. Nilai, ajaran dan ilmu yang ada dalam Al-Quran mampu menembus batas ruang dan waktu.
Termasuk isu yang selalu hangat pembahasannya, perubahan iklim atau climate change. Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2001).
Singkatnya, perubahan iklim adalah kondisi dimana bumi sudah mulai rusak dan berdampak pada kehidupan manusia. Kerusakan yang terjadi pada bumi bukan serta merta karena bumi itu sendiri. Bumi itu makhluk mati, ia hanya bisa memberi respon saat ada yang menganggunya. Maka dari itu, jika sesuatu terjadi pada bumi, misalnya perubahan iklim, yang salah bukan bumi, tapi sesuatu yang menganggunya.
Al-Quran memprediksi hal ini jauh sebelum iklim berubah. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-Rum: 41)
Bencana terjadi sebagian besar karena ulah tangan manusia, seperti yang disinggung dalam ayat diatas. Tangan-tangan jahil manusia menyebabkan iklim berubah. Bumi menjadi panas, kutub mencair, banjir dimana-mana, hewan-hewan mati, tumbuhan tak lagi subur. Mekanisme alam menjadi tidak seimbang akibat tabiat buruk manusia.
Ayat diatas juga menginformasikan bahwa kerusakan di bumi akan terjadi, bahkan secara tekstual telah terjadi. Entah bagaimana bentuknya. Melansir tafsiralquran.id, Al-Qaradhawi menjelaskan beberapa bentuk tindakan manusia yang berpotensi untuk merusak keseimbangan alam.
Pertama, mengubah ciptaan Allah. Yang dimaksud dengan mengubah ciptaan Allah adalah tindakan manusia yang menyelisihi fitrah atau sunnatullah. Manusia telah diberi anugerah berupa udara segar yang dengannya manusia bisa bernafas dengan baik. Tapi udara tersebut dicemari dengan polutan industri yang melanggar aturan ambang batas keamanan polutan sehingga tindakan ini telah merusak fitrah dari udara tersebut.
Kedua, al-zulmu atau kezaliman. Al-Qardhawi menjelaskan bahwa zalim merupakan lawan dari adil. Dalam kajian ekologis, zalim disini maknanya manusia tidak berinteraksi dengan baik dengan alam yang harusnya diperlakukan sama seperti memperlakukan sesama manusia. Di alam, bukan hanya manusia yang hidup.
Sekarang ramai berita tentang hewan turun ke pemukiman. Siapa yang sebenarnya salah? Manusia. Karena manusia berbuat zalim terhadap habitat hewan. Saat habitat hewan dihancurkan manusia, hewan hanya bisa mengikuti instingnya untuk bertahan hidup dan tidak bermaksud mengacaukan pemukiman manusia.
Ketiga, mengeksploitasi bumi. Dalam konteks ini, tindakan manusia adalah merasa menguasai alam sehingga bisa berlaku semena-mena terhadap alam dan melupakan akan adanya pemilik alam sejati.
Diantara tabiat buruk manusia adalah senang mengeksploitasi, seolah-olah apa yang ada di bumi tidak akan habis dengan diambil. Sebenarnya tidak apa-apa mengambil yang ada di bumi, tapi yaa harus kontrol, secukupnya dan jika bisa tumbuhkan lagi yang baru. Sementara manusia, hanya bisa membabat hutan tanpa reboisasi, mengeruk tanah tanpa peduli, memburu hewan tanpa hati.
Keempat, tunduk hawa nafsu. Manusia mengikuti hawa nafsunya dan mengabaikan pikiran jernih serta hatinya saat mengeksploitasi alam.
Al-Qardhawi mengutip Q.S Al-Furqon ayat 43-44 yang menyatakan bahwa manusia yang menyembah hawa nafsunya tidak ada bedanya dengan hewan yang tidak berakal dan bahkan lebih buruk dari hewan, sebagai gambaran bagi manusia yang eksploitatif dan destruktif terhadap alam.
Selain senang mengeksploitasi, tabiat buruk manusia adalah egoisme. Ia berpikir seolah-olah yang hidup di bumi hanya manusia saja. Padahal ada makhluk hidup lain yang harus dijaga dan dipedulikan, hewan dan tumbuhan.
Kelima, mengacaukan keseimbangan alam. Al-Qardhawi menjelaskan bahwa alam semesta ini memiliki takaran keseimbangan. Hal ini direpresentasikan Al-Qur’an dengan pernyataan bahwa segala yang ada di alam semesta ini diciptakan dengan qadr-miqdar (Q.S Ar-Ra’d: 8, Q.S al-Mu’minun: 18, Q.S al-Hijr: 19).
Keseimbangan alam ini harus dijaga oleh manusia dengan tidak bersikap ifrath dan tafrith atau tidak menyia-nyiakan alam dan tidak mengeksplotasinya dengan berlebihan. Manusia harus bisa bersikap adil dalam memperlakukan alam, dengan memanfaatkan apa yang ada di alam ini dengan sesuai takaran serta berlaku baik dengan menjalankan hak-hak alam.
Terakhir, kufur nikmat. Manusia disebutkan dalam Al-Quran sebagai makhluk yang kurang beryukur, padahal Allah memberi apapun untuk manusia, bahkan dunia dan seisinya. Syukur menjadi salah satu konsep dalam Islam yang menekankan adanya rasa terimakasih atas kenikmatan yang telah diberikan Tuhan. Tidak bersyukur, maka ketidakpuasan yang akan muncul.
Al-Quran menyebut bahwa manusia adalah penyebab utama kerusakan di bumi. Harmonisasi alam melibatkan semua makhluk hidup dan yang paling berkuasa adalah manusia. Manusia didaulat Allah menjadi khalifah di bumi dan diantara tugas utamanya adalah memakmurkan bumi. Jika sesuatu terjadi pada bumi, maka sudah tentu pengurusnya-lah yang kurang peduli. Akibatnya, harmonisasi alam terganggu dan terjadilah perubahan iklim.