Al Qur'an Karangan Manusia, Benarkah?

MONITORDAY.COM - Mayoritas Ilmuwan Barat memandang bahwa Al-Qur’an adalah karangan Muhammad, yang tidak mengenal huruf, tidak menggunakan logika dan metode pada argumen-argumennya, seperti tercantum dalam karya-karya Montgomery Watt.
Bagi orang yang concern dalam aktivitas ilmiah dan terbiasa dengan bacaan ilmiah (produk ilmiah dalam bentuk buku yang ditulis berdasarkan kaidah penulisan ilmiah, sistematis, uraiannya logis, dan menggunakan pendekatan serta metode ilmiah) persepsi terhadap al-Qur’an seperti itu sah adanya. Tetapi, Al-Qur’an bukan karya Ilmiah sehingga menjadi tidak relevan bila dihakimi dengan kerangka acuan ilmiah.
Jauh sebelum Montgomery Watt seorang tokoh kaum musyrikin Mekah Walid Bin Al Mughirah mengungkapkan hal yang sama seperti yang di abadikan Al-Qur’an, berdasarkan kronologis (asbabun nuzul) turunnya ayat sesuai penjelasan para mufasir, Alloh berfirman:“lalu dia berkata: tiada lain Al-Qur’an itu hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tiada lain hanyalah ucapan manusia” (QS. Al Muddatsir [74]:24-25).
Saat ini, dikalangan masyarakat umum baik yang berlatar belakang ateis, agnostik, atau mereka yang meragukan bahkan mengingkari Muhammad Sholallohu Alaihi Wasalam (Saw) sebagai Nabi dan Utusan Alloh Subhananhu Wata’ala (Swt), secara masif mereka mempersoalkan siapa yang menyaksikan ketika Al-Qur’an diwahyukan kepada Muhammad?. Kalau hanya klaim pribadi yang di ungkapkan oleh Muhammad sendiri bagaimana mungkin Al-Qur’an dapat dipercaya sebagai wahyu Tuhan ?
Peryataan-pernyataan kritis tersebut, secara laten mempengaruhi orang beriman dan tanpa disadari akan menggirinya pada keraguan, akibatnya melahirkan pertanyaan–substantif. Benarkah Al-Qur’an karangan Manusia (Muhammad Saw)?.
Realitasnya, bila al-Qur’an dan Karya Ilmiah dibandingkan dapat dipahami bahwa secara prinsip keduannya mempunyai kecenderungan yang sama yaitu mengungkapkan kebenaran.
Ada beberapa pengertian mengenai kebenaran yang diungkapkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), antara lain:1) keadaan (hal dan sebagainya) yang cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya;2) sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar) ada;3) kelurusan hati; kejujuran,4) izin;persetujuan; perkenan.
Menurut perspektif ilmu fisika kebenaran sangat tergantung pada kerangka acuan yang digunakan. Sebagai contoh, konsep gerak benda. Seseorang yang berada dalam mobil yang sedang bergerak dapat dikatakan bergerak atau diam tergantung kerangka acuan yang dipilihnya. Jika yang di jadikan kerangka acuan mobil itu sendiri atau bagian tertentu dalam mobil, orang dalam mobil tersebut dikatakan diam terhadap mobil. Tetapi jika kerangka acuan yang digunakan adalah tiang listrik atau pohon-pohon di pinggir jalan yang dilewati mobil itu, maka orang tersebut bergerak terhadap tiang listrik atau pohon-pohon itu. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebenaran dapat dibedakan menjadi kebenaran mutlak dan kebenaran relatif.
Berkaitan dengan konteks keyakinan, terkait dengan eksitensi dan fungsi Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta dan manusia. Kuasa Tuhan melampaui kuasanya manusia. Disamping itu, eksitensi Tuhan tidak dibatasi ruang dan waktu sementara manusia berada dalam batasan ruang dan waktu. Dengan demikian, kebenaran yang berasal dari Tuhan sungguh akan berbeda dengan kebenaran yang berasal dari manusia. Kebenaran dari Tuhan bersifat mutlak dan abadi sementara kebenaran dari manusia bersifat relatif dan profan.
Untuk memastikan kebenaran Al-Qur’an, apakah karangan manusia (Nabi Muhammad Saw) atau Wahyu Tuhan. Konsep dan prinsip kebenaran menjadi relevan digunakan sebagai perangkat justifikasi.
Berdasarkan konsep dan prinsip kebenaran tersebut, secara sederhana cara yang dapat dilakukan untuk memastikan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan dapat dilakukan melalui kajian langsung terhadap informasi yang disampaikan oleh al-qur’an itu sendiri dan dibandingkan dengan kondisi empiris penerima wahyu-Nya.
Secara sederhana untuk memastikan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan antara lain dapat dilakukan melalui: Pertama, mengkaji infomasi dari Al-Qur’an terkait dengan kondisi dan kepribadian Muhammad Saw dan membandingkannya dengan kondisi empiris. Kedua, mengkaji terkait dengan tantangan al-Qur’an terhadap orang yang meragukan dan mengingkari kebenarannya sebagai wahyu dan membandingkannya dengan kondisi empiris. Ketiga, mengkaji pola penulisan al-Qur’an dan membandingkannya dengan kondisi empiris kemampuan manusia.
Kondisi dan Kepribadian Muhammad Saw
Setiap kita akan sepakat, bahwa seseorang akan mampu menghasilkan karya tulis apabila budaya membaca dan menulis telah menjadi karakternya. Hal yang mustahil, tanpa kemampuan membaca dan menulis seseorang dapat melahirkan karya tulis. Apalagi bila karya tulis yang dihasilkannya fenomenal, populer, dan menginspirasi setiap pembacanya. Bagaimana Al-Qur’an mengungkapkan kondisi Muhammad Saw terkait dengan kemampuan baca tulis ini, dan bagimana pula kondisi empirisnya?
Ketika Muhammad Saw mendapat tugas sebagai Nabi dan Utusan-Nya kemudian diturunkan kepadanya al-Qur’an sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas kerasulannya, al-Qur’an menginformasikan bahwa beliau merupakan seorang yang “ummi”(QS.al-A’raf [7]:157-158). Menurut para mufasir, kata “ummi” mengandung arti tidak bisa membaca dan menulis.
Sementara dalam surat dan ayat lainnya, diungkapkan bahwa sebelum menerima al-qur’an Muhammad Saw “tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu kitabpun dan tidak penah menulis suatu kitabpun dengan tangan kananmu” (QS.al-Ankabut[29]: 48).
Seorang pakar tafsir Prof. Dr. Quraish Shihab dalam buku “M.Quraish Shihab Menjawab” menuturkan bahwa dahulu alat tulis menulis memang sangat langka dan budaya tulis juga rendah. Karenanya, masyarakat ketika itu sangat mengandalkan hafalan.
Terkait dengan kepribadian Muhammad al-Qur’an menginformasikan bahwa Muhammad Saw sesuai dengan firman Alloh:“dan sesungguhnya engkau benar-benar memiliki akhlak (budi pekerti) yang agung” (QS. al-Qalam [68]:4).
Menurut Fir'adi Nasruddin Abu Ja'far, dalam buku Sirah Nabawiyah, sebelum Muhammad di angkat sebagai Nabi dan Rasul beliau memiliki karakter yang baik, yaitu: “Sidiq”; “Amanah”;” Fatonah”; dan”Tabligh”. Dengan sifat-sifat yang dimilikinya ini, beliau mendapat kehormatan dengan diberi gelar “al-Amin” yang bermakna orang yang dapat di percaya. Pemberian gelar ini diperoleh ketika menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang dihadapi oleh para pemimpin kabilah Mekah dalam peristiwa renovasi Ka’bah setelah kebanjiran.
Melalui informasi ayat-ayat al-Qur’an dan fakta empiris tersebut, mengisyaratkan bahwa bagaimana mungkin seorang “ummi” mampu membuat karya tulis yang menjadi pedoman bagi manusia dalam mengarungi kehidupannya di bumi ini. Dengan sendirinya melalui ayat 4 surat al-Qalam Allah Swt menegaskan bahwa budi pekerti yang agung menjadi agunan bagi manusia untuk meyakinkannya bahwa Al-Qur’an bukan hasil karyanya. (bersambung)
Penulis: BS Arkala Nadhira