Aklimatisasi Energi

Aklimatisasi Energi

“Perubahan iklim secara ekstrim, bencana alam akibat ulah manusia bahkan pandemik virus Covid-19 adalah pembelajaran penting bagi peradaban manusia. Revolusi digital terjadi secara masif dan progresif, tanda-tanda transisi peradaban manusia. Barang pasti dengan komoditas energi, kita tidak bisa melulu bergantung pada sumber fosil. Sudah saatnya beranjak pada energi terbarukan.”

Dalam kesejarahan peradaban manusia penguasaan energi menjadi salah satu faktor penting terpicunya sebuah konfrontasi perang maupun konflik kepentingan. Energi bukan saja menjadi gula-gula bangunan imperliasme klasik, namun juga menjadi salah satu jaminan sebuah bangsa dan negara berdaulat penuh di atas tatanan global.

Pasca perang dunia II, tatanan dunia mulai melakukan rekonsiliasi baru dalam rangka membangun dunia baru. Sekalipun motif perang berdasarkan penguasaan sumber daya energi di banyak negara berkembang terus berlangsung. Seperti misalnya, perang teluk I dan II juga ekses dari pertarungan penguasaan sumber daya alam energi. Geopolitik dunia sangat dipengaruhi oleh ketersedian dan penguasaan energi. Dalam pendekatan ini maka tidak heran ketika instrumen militer begitu akrab proses produksi, pengolahan dan jalur distribusi energi. 

Namun hari ini semuanya telah banyak berubah, baik pemerintah ataupun swasta berlomba-lomba menyesuaikan diri dengan kondisi faktual atas ketersediaan sumber energi. Dalam kajian yang ditelaah oleh Dewan Energi Nasional, sisa cadangan minyak bumi kita 15 tahun, gas bumi 33 tahun dan batu bara 82 tahun inilah yang menjadi gambaran kita kedepan jika hanya bergantung pada energi fosil.

Sedangkan jika kita beralih pada potensi energi terbarukan maka kita sebagai sebuah bangsa dan negara bisa secara kuat berdaulat dalam ketersediaan energi. Potensi sumber daya energi yang tersedia cukup besar di Indonesia, paling tidak ada empat potensi EBT yang bisa dikembangkan secara serius.

Mengambil dari sumber air memiliki potensi 75.000 MW, sedangkan yang terpasang masih sekitar 9.000 MW. Dari panas bumi memiliki potensi 30.000 MW, sedangkan yang terpasang 5.000 MW. Bioenergi 32.500 MW dan yang terpasang 1.700 MW. Sedangkan potensi yang paling besar adalah matahari sebesar 208.000 MW sedangkan yang terpasang baru 78,5 MW. Jika melihat perbandingan antara potensi dan pengaplikasian dalam penggunaan energi tidak lebih dari dari 5% dari potensi yang kita punya. 

Sedangkan data tahun 2020 mencatat jumlah kapasitas listrik terpasang sudah mencapai 70 GW dengan kondisi bauran EBT pada 11,5% masih lebih rendah di bawah target yang semestinya pada 2020 sudah mencapai angka 13% bauran EBT. Meski ada kabar gembira dari Kementerian ESDM bahwa capaian elektrifikasi pada tahun 2020 sudah pada 99% itu artinya hampir seluruh kawasam pemukiman penduduk sudah terakses listrik. 

Pemerintahan Presiden Jokowi sejak awal memiliki komitmen dalam perwujudan bauran energi EBT 23% pada tahun 2025. Dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) diasumsikan bahwa pada tahun 2025 kebutuhan energi berkisar 248 Mtoe. Kebutuhan ini bisa difasilitasi dengan kapsitas listrik terpasang pembangkit 135,5 GW , dengan kombinasi pembangkit EBT 45,2 GW dan pembangkit fosil 90,3 GW. Namun jika berkaca pada ketersedian kapasitas terpasang masih 70 GW, pemerintah perlu mengejar kurang lebih 65 GW dalam waktu empat tahun. Di samping juga perlu percepatan bauran EBT sekitar 11% untuk menuju 23% pada tahun 2025. 

Stretegi BUMN: PMN  ke Perusahaan Energi dan Holding Baterai Kering 

PLN sebagai sebuah entitas perusahaan BUMN lambat laun mengalami perbaikan tahap demi tahap. Meskipun citra dan reputasi PLN belakangan kemebali merosok dikarenan salah satu pucuk pimpinan PLN terseret KPK. Kendatipun begitu optimisme kita untuk mendorong sebuah perubahan perlu terus diagendakan. 

Sebagaimana kita paham dan mengerti bahwa PLN adalah satu-satunya perusahaan negara yang diberikan tanggung jawab dalam membangun dan medistrubusikan komoditas listri di Indonesia. Oleh karena itu kita perlu mendorong agar PLN lebih baik lagi. Data yang terakhir PLN memiliki aset senilai 1.617,5 Triliun rupiah, 71 GW yang sudah terpasang dengan program pengembangan pembangkit pada 35,5 GW yang sedang di bangun. Dengan transmisi listrik sepanjang 50.000 kms yang saling menghubugkan sekitar 1.400 gardu induk. Potret ini bisa menggambarkan bahwa begitu strategis dan vitalnya PLN sebagai institusi pemenuhan energi listrik nasional.

Kemarin tanggal 3 Maret 2021, Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan bahwa akan melakukan transparansi dari proses Penyertaan Modal Negara (PMN) agar publik dan masyarakat investasi betul-betul bisa mencermati bahwa sukntikan modal dari negara kepada PLN bisa diawasi bersama publik. Ini adalah sebuah langkah positif, di mana PLN sebagai salah satu intrumen vital dalam penyediaan dan pengelolaan tenaga listrik bisa memiliki kepercayaan dan reputasi postitif di masyarakat dan ekosistem inivestasi.   

Seharusnya pendekatan ini juga harus bisa dijadikan sebuah momentum perubahan kultur perusahaan BUMN seperti PLN. Jika kembali mengutip dari beberapa peryataan Menteri Keuangan Sri Mulyani; suntikan modal berupa PMN sebesar 5 Triliun kepada PLN bisa diartikan untuk melakukan revitalisasi perusahaan yang terbebani oleh pembayaran hutang yang macet. Banyak proyek-proyek penambahan kapasitas tegangan listrik yang terhenti karena situasi ekonomi global dan pandemi. Dalam kondisi seperti ini memang saatnya jajaran PLN hingga ke anak bahkan cucu perusahaan secara perlahan melakukan pembenahan diri. Tentu tidak akan ada perubahan secara signifikan dalam waktu singkat. Namun yang terpenting adalah mendorong budaya kerja dan pengelolaan aset secara kreatif dan transparan. Karena jika saja sebuah perusahaan ingin melakukan transformasi produk akhir, tanpa disertai perubahan cara pandang dan cara kerja, maka itu sama halnya membicarakan cita-cita dalam aras mimpi bukan berpijak pada kenyataan yang ada. 

Bahkan Menteri Erick Thohir juga mendorng bentuk-bentuk kerjasama secara terbuka dengan pihak swasta. Ini sebuah keberanian penting untuk mendorong perubahan dari dalam. Justru kita perlu membaca dorongan Menteri Erick Thohir semata-mata untuk membangun daya saing kompetisi positif. Yang mana pada akhirnya akan melahirkan output etos kerja tinggi dan kualitas sistem kerja baik yang selalu diperbaharui. Sudah saatnya kita membuang jauh-jauh prasangka negatif ketika membangun kerjasama dengan swasta ataupun investasi. Jika selalu kita dihantui momok privatisasi adalah hasil dari investasi, ini perlu secara pelan-pelan kembali diluruskan.

Dalam situasi pasca-pandemi kedepan Indonesia harus bisa menjadi sebuah oase perniagaan kawasan Asia Tenggara. Tentu saja kita jangan melulu berbicara soal cara-cara mendatangkan investasi. Jauh yang perlu kita bangun dan sadari dalam waktu yang sama adalah merubah paradigma sektor energi. Energi memang sejak lama menjadi sebuah komoditas dari ketegangan ekonomi - politik. Selalu ada tarik menarik kepentingan yang kerap begitu kontras dalam pengelolaan energi. Di satu sisi untuk menunjang produktivitas rakyat, energi harus mudah dan murah. Tapi dalam mata sisi lain, hampir tidak mungkin sebuah kemajuan teknologi bisa didapat dengan murah. Sedangkan kebijakan anggaran kita hampir kurang berpihak kepada ekosistem riset dan penelitian. Paradoks seperti ini yang perlu dikeluarkan dari jalan kebuntuan, sehingga generasi masa depan bisa terbebas dari bungkaman pameo dogmatis tersebut.

Maka dobrakan Menteri Erick Thohir terkait dengan pembentukan Holding Baterai terbesar di Asia Tenggara menjadi satu-satunya momentum aklimatisasi energi di Indonesia. Jauh sebelum kita akan lebih rigid dan rumit membahas hitungan angka-angka, ada satu hal yang perlu kita tekankan; ‘perubahan paradigma’. Aklimatisasi energi yang dituju bukan saja melakukan transfer teknologi atau pengetahuan dari tempat yang lebih maju ke Indonesia. Namun ada dua stigma yang harus bisa kita jawab secara bersama-sama; reputasi perusahaan pengelolaan energi dan energi harus murah dan mudah.

Dengan lahirnya sebuah holding baterai yang baru, sekalipun didukung oleh tiga instrumen penting seperti PLN, Pertamina dan Mind Id namun harapan untuk mebangun ekosistem baru sangat dimungkinkan. Perusahaan energi seperti Pertamina dan PLN juga secara bertahap telah berbenah diri, banyak kemajuan positif yang diorkestrasi oleh Menteri Erick. Maka bukan tidak mungkin dengan lahirnya perusahaan holding energi baterai menjadi sebuah entitas baru yang menjawab kebuntuan.

Bagi masyarakat luas kehadiran holding energi bukan saja semata-mata latah energi hijau, namun juga menjadi sumber harapan akan ketersediaan energi terbarukan di masa depan. Mungkin belum tentu holding baterai bisa menjawab langsung energi murah. Karena sebagaimana kita sepakati hampir sulit mendapatkan kualitas teknologi mutakhir dengan harga murah. Tetapi yang pasti, upaya untuk penyesuaian dengan ekosistem energi masa depan sudah kita mulai secara nyata. Jika bukan hari ini, akan terlalu lama untuk menunda, sekalipun hari esok.