Afirmasi Pendidikan Papua
Afirmasi pendidikan diberikan lantaran potensi anak-anak Papua yang sebetulnya luar biasa. Selama ini mereka hanya kesulitan untuk mengakses pendidikan, bukan karena tidak ada potensi.

Suatu hari yang cerah di tanggal 16 Februari tahun 1623 kalender gregorian, guratan sejarah tentang Papua dimulai. Adalah Kapten Johan Carztensz yang pertama kali melakukan perjalanan dengan dua kapalnya Aernem dan Pera ke ‘selatan’ tanah Papua, tiba-tiba saja jauh di kedalaman melihat kilauan salju yang menyilaukan. Dalam buku hariannnya, Carztensz mencatat perihal pegunungan yang ‘teramat tinggi’ yang pada bagian-bagiannya tertutupi salju. Penduduk Papua kala itu menamainya Nemangkawi.
Ada begitu banyak kisah tentang pengelolaan tanah Papua, terutama soal tambang emas terbesar ketiga di dunia itu. Membuat orang menjadi setengah gila, layaknya Forbes Wilson yang mendapati Gunung Ersberg ternyata tak hanya mengandung tembaga, namun juga emas. Ya, emas yang menggunung di tanah Papua.
Sayang, kisah tentang ditemukannya gunung emas di tanah Papua ini jauh lebih populer, ketimbang kondisi masyarakat Papua yang masih sangat tertinggal, terutama dari sisi pendidikannya. Cerita tentang emas yang segunung pun bukannya menjadi berita baik bagi orang asli Papua, sebaliknya malah menjadi mimpi buruk.
Anak-anak papua saat ini sebagian besarnya merupakan generasi yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam honai-honai dengan suasana tertutup kabut dan belukar. Mereka tak pernah tahu kapan bisa beranjak dari kesunyian hutan, gunung dan lembah. Hanya suara burung dan gemericik air lereng pegunungan yang selalu menemani keseharian anak-anak Papua.
Bila pun bisa menikmati pendidikan, mereka mesti berjalan puluhan kilometer dalam kondisi jalan yang penuh duri, berlumut, lembab dan licin seperti pernah dialami Gubernur Papua saat ini, Lukas Enembe. Ya, Lukas Enembe adalah anak Papua dari Pegunungan Jaya Wijaya yang punya mimpi melebihi tingginya pegunungan yang ia tinggali. Pendidikan telah mengubahnya, bukan sekadar menjadi anak Papua yang melek pendidikan namun juga mampu menunjukan model kepemimpinan khas Papua. Berkat pendidikan tinggi yang diraihnya, ia pun tak sekadar menjadi pemimpin, namun juga bapak bagi masyarakat Papua.
Pendidikan sebagai Kunci
Orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan unggul akan menjawab setiap tantangan dan dapat mengisi setiap peluang-peluang yang ada. Demikian yang sering semsetinya dikatakan kepada anak-anak Papua. Karena merekalah yang nantinya akan mengambil estafet kepemimpinan di Papua, apakah itu dalam kancah nasional, regional atau pun internasional.
Hanya saja, dalam konteks pengembangan dunia pendidikan di Tanah Papua, membiarkan anak-anak Papua bersaing secara bebas dengan lulusan-lulusan sekolah lainnya di Indonesia, maka itu berarti kita tidak fair. Seperti dikatan Ditjen Belmawa Kemristek Dikti Prof. Intan Ahmad, Ph.D, bahwa karena terdapat perbedaan kualitas, maka sudah selayaknya kita buatkan program afirmasi untuk anak-anak Papua.
Program afirmasi pendidikan tinggi atau yang disebut ADIk, adalah program pemerintah yang dimulai pada tahun 2012. Pembangunan yang belum merata di setiap wilayah, mengharuskan adanya upaya khusus untuk meningkatkan kualitas SDM di daerah perbatasan dan/atau daerah tertinggal.
Disebut program afirmasi pendidikan tinggi atau ADIk karena menunjukkan bahwa negara hadir memberikan kesempatan kepada anak-anak kita untuk memperoleh pendidikan tinggi. Dimana selama ini mengalami kesulitan untuk meraih akses pendidikan yang baik.
Afirmasi pendidikan diberikan lantaran potensi anak-anak Papua yang sebetulnya luar biasa. Selama ini mereka hanya kesulitan untuk mengakses pendidikan, bukan karena tidak ada potensi. Kalau kita melihat potensi, ini luar biasa. Sehingga mengapa ini dilakukan, tak lain karena kita menyadari bahwa potensi di daerah-daerah terpencil dan sulit diakses itu nyatanya memang ada.
Lukas Enembe yang kini menjabat sebagai Gubernur telah berkomitmen memperbaiki sektor pendidikan sebagai pilar bangsa. Hal ini dilakukan karena menurutnya kualitas sumberdaya manusia adalah kunci, dan peran kuncinya adalah pendidikan dan kesehatan. Untuk mendukung program tersebut, ia sudah menyiapkan anggaran yang cukup besar. “Orang Papua harus pintar,” katanya.
Untuk menuju Papua Baru, maka tidak ada jalan lain bagi Papua untuk memacu pembangunan pada sektor pendidikan, baik infrastrukturnya dan juga kapasitas para guru-gurunya, karena tanpa dua hal ini pendidikan di Papua akan mengalami kemunduran dan mengakibatkan hilangnya bakat-bakat tersembunyi anak-anak Papua yang tersebar di seluruh pelosok.
Perjuangan untuk melahirkan generasi Papua mungkin akan selalu mengalami keterbatasan anggaran, wewenang dan sebagainya, tetapi tetap berusaha untuk mendahulukan asas prioritas dalam pembangunan manusia yang berkualitas di Papua dalam memenuhi target pencapaian indeks pembangunan manusia di Papua. Yaitu dengan memperhatikan sektor pendukungnya, yaitu pendidikan.
Modal capital
Sejarah mencatat bahwa, kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh negara-negara non-barat itu berakar pada empat landasan atau sumber. Pertama, adalah kebudayan-kebudayaan induk (mother culture) yang unggul, misalnya Hindu-Budha di India dan Konfusianisme, Taoisme di China dan Sinthoisme di Jepang ataupun Astek dan Maya di Amerika Tengah.
Kedua, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kebudayaan—meminjam istilah Habermas—tekno-ekonomi yang mula-mula dirintis oleh barat. Ketiga, adalah majunya sistem dan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
Lalu bagaimana dengan bangsa kita, termasuk Papua dalam konteks ini, adakah potensi dan keberanian tersebut? Melihat modal capital yang ada; maka untuk selanjutnya kita tinggal menumbuhkan keberanian dan kemauan dari para pemimpin dan segenap elemen masyarakatnya.
Papua dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, dan juga SDM yang lambat laun mulai mengalami perbaikan, sudah saatnya berubah. Jangan sampai ada lagi, anak-anak Papua yang hidupnya hanya di honai-honai di balik gunung tanpa secuilpun menikmati pendidikan. Karena hanya dengan pendidikanlah, bangsa ini dan terutama masyarakat Papua dapat memanfaatkan kekayaan alamnya dengan arif dan bijaksana. [M. Muchlas Rowie)