Adu Cepat Hadapi Corona

Puncak pandemi Covid-19 di AS terjadi 18 hari setelah karantina wilayah, 39 hari setelah kasus pertama di New York, dan 80 hari setelah kasus pertama. Indonesia hari ini, setelah pasien 01 terdeteksi baru 37 hari sudah ada 3.842 kasus.

Adu Cepat Hadapi Corona
Ilustrasi/MMG

JIKA ada orang yang paling konsisten dan percaya bahwa kebahagiaan merupakan obat paling mujarab untuk menghadapi kerasnya hidup di dunia, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mungkin salah satunya. Kang Emil (begitu sapaan hangatnya) bahkan percaya, jika bahagia juga bisa jadi obat untuk menghadapi pandemi corona.

Seperti ia tunjukkan pada Sabtu (11/4/2020) pagi, dengan mengunggah dua buah video melalui akun media sosialnya. Video pertama yang diunggah Kang Emil adalah video berdurasi 14 detik tentang penganugerahan award di Markas PBB satu tahun silam.

Lewat video ini, Kang Emil sepertinya bukan mau pamer prestasi, tapi untuk mengingatkan publik tentang apa yang disampaikan ketika itu. Bahwa masyarakat maju adalah masyarakat bahagia. Menurut Kang Emil, agar masyarakat bahagia, kualitas hidupnya harus diperbaiki, termasuk soal kesehatan.

Video kedua yang diunggah suami dari Atalia Prataya ini berdurasi 58 menit. Isinya sama seperti yang dibuat dan diunggah para kepala daerah di musim pandemi corona, yaitu soal ajakan untuk tetap memakai masker ketika hendak keluar rumah.

Pesannya juga serupa, seperti yang dianjurkan WHO dan Pemerintah Indonesia. “Gunakan masker kain saat keluar rumah karena masker bedah hanya akan didedikasikan untuk para dokter, tenaga medis, dan orang yang sakit.”

Ada satu pesan menarik lain yang disampaikan Kang Emil dalam video keduanya. “Walaupun saya sedang cemberut atau sedih, tapi (dengan masker Syahrini) saya bisa tetap terlihat gembira dan meningkatkan imunitas,” kata Kang Emil sambil memperlihatkan masker terbaru bergambar wajah Syahrini.

Mungkin begitu cara Kang Emil menyampaikan pesan kesedihan. Dia tak mau orang tahu bila hatinya sedang rapuh. Makanya ditutup pake masker bergambar wajah Syahrini. Kang Emil adalah satu dari sedikit orang yang masih sanggup menata kata dengan cukup satire. Kebanyakan orang tak lagi bisa menjaga kata dari nuansa sarkastik dan nyinyir.

Kang Emil, dalam beberapa hari terakhir memang tengah dirundung pilu. Lantaran data temuannya soal sebaran virus corona di wilayahnya, Jawa Barat. Ini seperti ia sampaikan dalam telekonferensi bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan sejumlah kepala daerah pada Jum’at (3/4/2020) lalu. Dia meyakini kasus positif corona yang memicu Covid-19 di Indonesia sebetulnya jauh lebih banyak daripada yang selama ini diungkapkan oleh Pemerintah Pusat.

“Mohon maaf, Pak Wapes. Saya meyakini, saat ini kasus corona berlipat-lipat tapi karena yang mengetes tidak sebanyak yang diharapkan maka data seolah sedikit,” ujar Emil.

Kang Emil | Photo: Beppeda Jabar

Kang Emil | Photo: Bappeda Jabar

Keraguan soal data ini memang bukan cuma diungkapkan Emil. Bahkan sebelumnya, sudah ada beberapa orang yang menyampaikannya. Seperti ahli epidemologi Harhard, ahli kesehatan Australia, hingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Hingga saat ini, memang tidak ada satu dalil ilmiah pun yang bisa mengatakan jika Indonesia lebih kuat atau kebal terhadap virus corona. Satu-satunya keyakinan yang disepakati semua orang adalah bahwa penyebaran Covid-19 ini merupakan kehendak yang kuasa.

Itu artinya, ditutupi seperti apa pun pada akhirnya semua negara di dunia akan mengalami apa yang kini tengah dialami Amerika Serikat, Italia, atau China tempat pertama kali virus ini terdeteksi.

Pertanyaannnya, kapan, bagaimana dan dimana pandemi covid-19 itu akan sampai pada puncaknya di negara kita, Indonesia? Untuk menjawabnya, mungkin ada baiknya kita perhatikan trend dan eskalasi penyebaran virus corona di sejumlah negara di dunia.

Peta Sebaran Dunia

Hingga saat ini, pandemi Covid-19 yang menyerang hampir 209 negara di dunia memang belum menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Total kasus positif virus corona hingga Sabtu (11/4/2020) sore, tercatat mencapai 1,705,596 kasus. Dari total kasus positif virus corona, jumlah pasien yang meninggal tercatat mencapai 103,227 kasus. Sementara yang sembuh mencapai 378,444 kasus.

Dilihat dari total kasus positif corona, Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara di Eropa mencatatkan kenaikan paling tinggi. Penyebab dan eskalasinya beragam, tak ada satu pun otoritas yang dapat menjawab alasan pastinya.

Termasuk negara-negara yang selama ini dikenal memiliki sistem kesehatan yang baik. Seperti Belanda ataupun Belgia, keduanya betul-betul kewalahan menghadapi corona.

Kamis, 27 Februari 2020, Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte mengumumkan kasus pertama di negaranya. Kala itu dia masih terlihat penuh keyakinan dan penuh semangat mengajak warganya untuk tidak panik. Rutte mengatakan pihaknya tak mau ikut-ikutan seperti negara-negara lain di Eropa untuk menerapkan lockdown. Pihaknya memilih untuk melakukan karantina cerdas, dengan bersandar pada teori herd immunity.

Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte saat berkunjung ke Indonesia. | Photo: Setkab

Seperti diberitakan oleh BBC News, Pemerintah Belanda ingin melindungi aspek sosial, ekonomi, dan psikologis warganya dari dampak karantina wilayah. Itu mereka lakukan agar upaya kembali ke kondisi normal menjadi lebih mudah.

Tapi, belakangan eksperimen itu tak cukup berhasil karena Pemerintah Belanda masih membiarkan muda-mudinya keluar rumah. Akibatnya kian banyak yang terinfeksi, sementara sistem layanan kesehatan di sana tak bisa menanganinya dengan maksimal.

Hingga hari ini, otoritas Belanda melaporkan kasus infeksi virus corona di negaranya bertambah 1,213 kasus, sehingga total kasus infeksi virus covid-19 di negeri ini mencapai 21,762 kasus.

Insitut Kesehatan Belanda melaporkan jumlah kematian Covid-19 bertambah 148 kasus, sehingga total kasus kematian di Belanda mencapai 2,396.

Atas kebijakan yang diterapkan Belanda ini, sejumlah peneliti mengungkapkan kekebalan kelompok dapat menewaskan 250 jiwa. Ahli epidemologi penyakit menular dari Universitas Edinburgh, Mark Woolhouse mengatakan, herd community bisa diciptakan secara alami tanpa vaksinasi. Caranya, dengan membiarkan banyak orang terinfeksi hingga antibodi mereka tumbuh dengan sendirinya. Hanya saja, kata Woolhouse, Covid-19 punya tingkat infeksi tinggi sementara virus ini juga baru diteliti.

Spanyol adalah salah satu negara Eropa yang paling terdampak wabah Covid-19. Ini mungkin wajar, karena dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya, Spanyol memang salah satu yang terburuk sistem kesehatannya.

Setidaknya, sudah ada 15.238 kasus kematian di negeri Matador ini. Kendati demikian, di banding negara di benua Eropa lainnya, Spanyol merupakan negara paling awal yang bertindak cepat dalam upaya penanganan Covid-19. Spanyol pertama kali mengumumkan keadaan darurat Covid-19 pada Jum’at (31/1) malam.

Lalu, pada 6 Maret 2020, peningkatan kasus mulai terjadi hingga 119 kasus. Peningkatan tertinggi terjadi pada 26 Maret 2020, dimana kasus perharinya mencapai 8.271 kasus. Sempat menurun di tanggal 29 Maret, Spanyol kembali mengalami kenaikan pada kasus harian pada 1 April 2020, jumlahnya hingga 8.195 kasus.

Tindakan cepat dilakukan. Spanyol lalu menjalani karantina selama dua pekan terakhir. Pemerintah melarang warganya meninggalkan rumah kecuali untuk bekerja, membeli makanan atau obat-obatan hingga 26 April.

Upaya tersebut pun membuahkan hasil, seperti yang dilansir AFP, angka kematian karena Covid-19 di Spanyol kian merosot tajam. Per Kamis (9/4) tercatat sebanyak 683 kematian, atau turun dari angka 757 kematian pada hari sebelumnya, Rabu (8/4).

Selama beberapa hari, pihak berwenang Spanyol telah mengindikasikan bahwa puncak pandemi telah dilalui. Namun warga diminta untuk terus secara ketat menghormati aturan tetap di rumah.

Menurut Worldmeters, laman penyedia data statistik independen, hingga saat ini data kasus covid-19 di Eropa ada sebanyak 707,774 kasus. Sedangkan di Asia sebanyak 252,436 kasus. Data orang meninggal akibat pandemik di Eropa sebanyak 60,595 orang, sedangkan di Asia sebanyak 9,502 orang.

Jika kita lihat peta sebarannya di Eropa, maka Spanyol merupakan negara dengan kasus infeksi corona tertinggi sebesar 146,690 kasus, disusul Italia sebesar 139,422 kasus. Kemudian, Jerman 108.202 kasus, sementara Prancis 82,048 kasus.

Sementara jika dilihat berdasarkan benua, data kasus dan meninggal di 6 benua, Afrika di posisi kelima, satu level di atas benua Australia. Namun Fatality rate benua Afrika berada di posisi kedua setelah Eropa.


Sumber: ourworldindata.org

Untuk di Asia, episenternya ada di India dengan jumlah korban di posisi pertama sebesar 5,734 kasus, kemudian Jepang sebanyak 4,257 kasus, disusul Malaysia sebesar 4,119 kasus dan Indonesia sebesar 2,956 kasus. Iran dan Korea Selatan sebagai bagian dari negara Asia memiliki tingkat perkembangan kasus yang sangat tinggi dan tajam di atas rata-rata negara di Asia.

Beberapa studi yang dilakukan di sejumlah negara, memang mengindikasikan bahwa perbedaan suhu suatu negara ikut mempengaruhi tingkat penyebaran virus korona, namun faktor-faktor lain tetap lebih berperan.

Andai studi itu pun benar, maka contoh yang mungkin bisa kita lihat adalah peta sebaran di Amerika Selatan, khususnya Brazil. Negara kiblat olahraga sepakbola ini kebetulan sama-sama beriklim tropis seperti Indonesia.

Faktanya, Brasil menempati urutan ke-14 sebagai negara dengan total kasus infeksi covid-19 terbesar di bawah Kanada. Hingga saat ini, total sudah ada 19.943 kasus positif korona di Negeri Samba ini.

Studi lain ada juga yang menyebutkan, jika sebagian besar orang yang dites positif Covid-19 adalah mereka yang berasal dari kalangan kelas menengah ke atas. Studi tersebut bukan dari lembaga sembarangan, ada LBM Eijkman dan World Food Program (WFP).

Prof Amin Subandrio Kepala LBM Eijkman menuturkan, dari sekian banyak kasus Covid-19 yang ditemukan ada fakta menarik, bahwa sebagian besar mereka yang positif covid-19 berasal dari kalangan menangah ke atas.

“Ini berdasarkan pengamatan, bahwa dari presentase yang positif, sebagian besar adalah mereka dari kalangan menengah ke atas. Mungkin hampir enggak ada laporan dari kalangan menengah ke bawah,” ujarnya.

Studi ini tentu tak bisa mengeneralisasi kasus covid-19 lainnya, karena faktanya ada juga temuan yang menunjukkan studi itu tak sepenuhnya benar.

Adalah Lori Lightfoot, Walikota Chicago Amerika Serikat, yang mengatakan bahwa virus corona telah menghancurkan warga kulit hitam Chicago. Tentu saja pernyataan itu bukan merujuk pada rasnya, melainkan pada tingkat ekonomi dan kualitas kesehatannya.

Anthony Fauci, direktur Institut Penyakit Menular mengatakan penyakit bawaan yang diderita warga kulit hitam menyebabkan mereka rentan.

"Kita tahu bahwa penyakit seperti diabet, hipertensi, obesitas dan asma mempengaruhi penduduk minoritas, khususnya Afrika Amerika," kata Fauci.

Kondisi lain, menurut para pakar adalah populasi Afrika Amerika, sulit mendapatkan akses kesehatan. Artinya mereka berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Fakta-fakta tersebut sebetulnya menjelaskan, bahwa hingga saat ini belum ada satu orangpun yang bisa menjelaskan apakah Indonesia betul-betul kebal terhadap virus corona atau hanya karena alasan data saja. Sehingga peta sebaran covid-19 di Indonesia terlihat sedikit dan lambat. Artinya, kondisi seperti yang dialami Italia, Brasil, Spanyol, India, Belanda dan negara-negara lainnya bisa terjadi di Indonesia.

Jika melihat di Amerika Serikat, dimana puncak pandemic terjadi 18 hari setelah pembatasan atau karantina wilayah, 39 hari setelah kasus pertama di New York, dan 80 hari setelah kasus pertama, maka tinggal dihitung saja. Jakarta hari ini, setelah pasien 01 terdeteksi baru 37 hari sudah ada 3.842 kasus. Lalu selanjutnya, kita sendiri yang menentukan.

Data Jadi Kunci

Coronavirus disease 2019 (Covid-19) memang tak mengenal ras, suku, agama dan tingkat ekonomi, semua bisa terinfeksi. Semua negara, di belahan dunia mana pun sama-sama berpeluang menghadapi situasi terburuk.

Hanya tinggal bagaimana cara kita menyikapinya. Cara apa yang bisa kita lakukan, untuk mengontrol penyebaran virus Covid-19 dan membuat kurva penyebarannya cepat melandai. Dan soal ini, maka kita patut belajar kepada China, Korea Selatan, maupun Belgia.

Belgia mengikuti jejak negara tetangganya di Eropa seperti Italia dan Perancis untuk memberlakukan kebijakan pembatasan perlintasan (lockdown) terhitung sejak Rabu (18/3) siang. Aturan ini berlaku hingga 5 April 2020 untuk menekan penyebaran virus corona.

Seperti di Korea Selatan, Belgia adalah salah satu negara yang mengandalkan data untuk mengontrol penyebaran virus korona. Untuk hal ini, Pemerintah Belgia memberikan mandat kepada Dalberg Data Insight untuk memimpin gugus tugas pengumpulan data Covid-19.

Caranya adalah dengan melakukan pemantauan lalu lintas komunikasi dari tiga operator telephon di Belgia. Tujuannya untuk memahami tren mobilitas manusia sepanjang pemberlakuan kebijakan lockdown dan mengevaluasi resiko peningkatan infeksi corona.

Founding dan Senior Project Manajer Dalberg Data Insight, Rositsa Zaimova menuturkan dalam artikelnya di WEFORUM.ORG, Jika dengan menggunakan data Belgia dapat menurunkan tingkat mobilitas manusia hingga 54 persen. Lebih lanjut, Belgia pun dapat menganalisa penyebab peningkatan kasus di beberapa daerah, terutama kasus impor dari daerah lain.

Ya, salah satu dasar penting untuk mengambil keputusan di masa pandemic seperti saat ini adalah ketersediaan data. Wawasan tentang pencegahan, mobilitas populasi, penyebaran penyakit, dan ketahanan orang maupun sistem kemudian menjadi penting untuk mengatasi virus.

Dengan data, kita bisa tahu lebih detail dimana virus ini akan menyebar lebih cepat, daerah mana yang harus kita perketat mobilitas orangnya untuk menghindari pandemic, atau komunitas mana yang paling rentan terpapar virus korona.

Dan kini, seiring mulai melandainya kurva pandemi korona, yang ditandai dengan meningkatnya angka kesembuhan hingga 5,164 kasus, Belgia pun mulai mengakhiri kebijakan lockdownnya secara bertahap.

Toko peralatan medis dan telekomunikasi sudah mulai dibuka kembali di Belgia, meski pun dengan beberapa pembatasan yang tetap dilakukan berupa pelayanan kepada satu pelanggan dalam satu waktu dan dengan janji terlebih dahulu.

Keluarga atau orang yang tinggal dalam satu rumah sudah diperbolehkan keluar dan tidak diharuskan melakukan physical distancing. Namun, pedoman sosial distancing tetap harus dilakukan jika melakukan tamasya dengan seseorang yang tinggal di rumah yang berbeda.

Jika data menjadi kunci, gemboknya adalah tes, tes, dan tes. Maka seperti kerja pasangan kunci dan gembok, data dan test akan menjadi penentu seperti apa tren sebaran virus corona yang dialami sebuah negara, termasuk di Indonesia.

Reporter: Arif D. Hasibuan, Faisal Maarif, Fahri
Penulis Taufan Agasta
Editor: Ma'ruf Mutaqin