Perpres Tentang Zakat ASN Dipandang Kurang Akomodatif

Dengan kriteria tertentu, zakat hukumnya wajib bagi muslim yang berstatus ASN maupun bukan, namun kapan dan kemana menyalurkannya menjadi kerelaan masing-masing.

Perpres Tentang Zakat ASN Dipandang Kurang Akomodatif
Hilman Latief, PhD, foto : dok. pribadi

MONITORDAY.COM - Ketua Badan Pengurus Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah (LAZISMU) Hilman Latief memberikan tanggapan soal akan adanya Perpres Zakat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Hilman menyatakan bahwa adanya Perpres ini sebenarnya gagasan yang bagus sebagai pemicu semangat kaum muslim membayar zakat.

"Zakat sifatnya wajib,  tapi dalam pelaksaannya bersifat sukarela. Artinya kaum Muslim yang hartanya mencapai nishab wajib membayar zakat. Membayarnya kapan dan kemana itu yang sifatnya kerelaan," kata Hilman kepada Monitorday.com, Jumat (9/02).

Hilman mengingatkan, bahwa pada masa Orde Baru sudah ada 'sumbangan sukarela' berupa potongan, untuk PNS, TNI, Polri,  dan yang lainnya. Dan uangnya masuk ke yayasan yang dibuat Pemerintah Orde Baru. Bagi muslim,  dananya masuk ke Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, dan bagi non-muslim ke yayasan lainnya. 

"Kebijakan ini sudah dicabut. Secara substansi tidak jauh beda, meskipun yang sekarang diwacanakan adalah zakat," sambungnya.

Karena hal ini menyangkut kebijakan pemerintah pusat secara nasional, pakar filantropi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menyarankan agar sebaiknya kebijakan semacam ini berupa himbauan ke semua pegawai muslim baik ASN atau bukan, untuk  menunaikan zakat melalui lembaga yang diakui dan telah mendapat pengesahan dari pemerintah. 

"Dalam konteks ini, bahwa gagasan zakat mengurangi penghasilan kena pajak bisa dioptimalkan. Dalam konteks ini, kebijakan menjadi lebih inklusif,  dan substansi bahwa kaum muslim menunaikan zakat bisa ditingkatkan tanpa mengurangi peran mereka (ASN atau bukan) dalam mendorong kegiatan beramal di lingkungannya," ungkapnya.

Ada point penting menurut Hilman dalam rancangan kebijakan tersebut, bahwa Baznas menjadi satu-satunya penerima zakat ASN. Menurutnya, Kebijakan ini dipandang kurang akomodatif, baik dalam penggalangannya maupun penyalurannya.

"Bayangkan, sekelompok ASN muslim sehari-hari bergelut dengan kegiatan sosial dan keislaman dalam organisasi atau yayasan,  mereka tidak berdaya untuk membantu secara langsung tempatnya berkiprah melalui zakat, karena sudah dipotong langsung. Mungkin ada jutaan warga Muhammadiyah, NU, Persis dan ormas lainnya yang cenderung menginginkan zakatnya disalurkan melalui LAZ Ormas yang mereka miliki dan sudah disahkan oleh pemerintah," tegasnya.

Kemudian, apa yang disebut Hilman sebagai sikap 'monopoli' ini, menurutnya muncul karena dulu pemerintah bersikap mendua, antara regulator dan operator/eksekutor. 

"Saya kira sikap yang lebih bijak baiknya bisa dilihat dalam konteks haji, banyak KBIH dipersilahkan dan menjadi operator berdasarkan regulasi yang ada.  Pemerintah dapat melakukan pengawasan dan terus meningkatkan mutu layanan KBIH. Dalam konteks ini, menguatkan kapasitas LAZ adalah kuncinya," tutupnya.

[Faisal Ma'arif]