Jokowi Mendobrak Tradisi Suksesi Kepemimpinan

Jokowi Mendobrak Tradisi Suksesi Kepemimpinan
Joko Widodo. Foto: net

MESKI masih harus melewati proses di Mahkamah Konstitusi (MK), namun beberapa catatan atas kemenangan Jokowi di Pilpres 2019 layak diutarakan. Pertama, kemenangan Jokowi adalah kemenangan rakyat yang selama ini terpinggirkan hak politiknya. Kemenangan itu memupus mitos bahwa jika ingin menjadi presiden di negara ini orang harus berasal dari trah elite. Dia juga mendobrak tradisi suksesi Indonesia yang selalu menempatkan bos atau pentolan partai sebagai sosok yang paling berhak berlaga pada panggung suksesi tertinggi.

Jokowi bukan pemimpin partai yang bisa memerintahkan seluruh kader dan simpatisan untuk tunduk atas perintahnya. Sebagai kader biasa di PDIP dia tak memiliki kuasa apapun untuk menggerakkan mesin partai. Di sisi lain aturan undang-undang juga membuat Jokowi juga tak bisa mengklaim dirinya maju sebagai calon presiden atas kehendak pribadi.

Tiket berlaga pada Pilpres 2014 maupun 2019 diperoleh Jokowi lantaran rakyat berkehendak dan menobatkannya sebagai pemimpin yang lahir dan besar dari rakyat. Dukungan itu tak tiba-tiba datang dari langit. Rakyat menyimak sepak terjangnya sejak menjadi pengusaha mebel, Wali Kota Solo hingga Gubernur DKI Jakarta. Dan rakyat merekamnya dalam memori kolektif mereka.

Kedua, bagi rakyat gaya kepemimpinan Jokowi dianggap sebagai fenomena baru dalam khazanah kepemimpinan negeri ini. Dia dianggap menebar harapan dan rakyat mempercayainya.  “Kemenangan rakyat ini akan melapangkan jalan untuk mencapai dan mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan,” kata Jokowi mengutip ajaran Trisakti Bung Karno.

Adalah Marcus Mietzner peneliti dari Australian National University dalam tulisan berjudul Rise of a Polite Populist pernah menyebut kemenangan Jokowi adalah kemenangan populisme di Indonesia. Dia menjuluki versi populisme Jokowi sebagai jenis populisme yang terbuka, tidak meledak-ledak dan santun luar biasa. Pada intinya populisme Jokowi umumnya dianggap lebih lembut dan bersahabat.

Populisme jenis ini menjadi antitesis bagi gaya lawan tandingnya yang tampak lebih keras dan mengandung unsur-unsur ultra-nationalisme dan konfrontasi yang kental dengan retorika-retorika yang brutal. Jokowi bukan dari jenis pemimpin yang memberi rakyatnya sarapan agitasi, menyuguhkan makan siang konfrontasi, dan menyajikan makan malam berupa mimpi.

Populisme Jokowi tak digunakan untuk mengeksploitasi sentimen massa namun lebih banyak mengarah pada bagaimana mengajak masyarakat untuk menyelesaikan persoalan praktis sehari-hari yang memang harus dihadapi secara konkret. Majalah The Economist pernah menulis keuniknya jenis populisme Jokowi itu, mereka menyebutnya sebagai “sosok penuntas masalah” atau Mr. Fix-It.

Ketiga, realitas kemenangan Jokowi dalam ajang Pilpres 2019 bagaimanapun harus dilihat sebagai tanda membaiknya transisi demokrasi di Indonesia. Kemenangan itu sekaligus mengukuhkan kembali rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Jokowi dianggap menjadi representasi kekuatan rakyat yang selama ini hak politiknya dipreteli elite.

Last but not least, Jika Jokowi bisa menjadi presiden, maka anak-anak dari pulau terpencil, lereng gunung atau pedalaman boleh dan bisa memimpikan jabatan yang serupa. Menjadi pemimpin tertinggi bukan hal yang mustahil jika mereka mampu memimpin dengan bekerja untuk melayani rakyat. Mereka bisa belajar dari Jokowi caranya.

Disinilah pentingnya kemenangan Jokowi, bukan saja untuk menuntaskan kerja-kerjanya selama ini, namun juga untuk memberi jalan bagi tokoh-tokoh baru yang notabene bukan dari trah elite politik yang sudah ada. Siapa pun bisa menjadi presiden. [ ]