Pandemi, Saat Paling Tepat Untuk Wakaf?

“Kuwakafkan diriku untuk Persyarikatan Muhammadiyah”
Kurang lebih itulah ikrar almarhum Chaerul Umam yang dicatat oleh orang-orang dekatnya. Ucapan yang sama mungkin pernah dilontarkan oleh tokoh lain. Dan makna wakaf dalam kutipan itu mungkin kiasan saja. Yang menjadi relevan bagi kondisi hari ini adalah kesaksian bahwa jika seseorang di masa hidupnya sudah sanggup mewakafkan dirinya maka tak berat baginya untuk mewakafkan hartanya demi kemaslahatan umum.
Di saat sulit seperti saat ini semestinya banyak orang tergerak. Dengan kemampuan yang dimiliki berusaha membantu dan berkontribusi dalam meringankan beban sesama. Yang lagi viral kali ini adalah keluarga pengusaha asal Aceh yang menyumbangkan Rp 2 Triliun untuk penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan. Jumlah yang sangat besar untuk sumbangan pribadi.
Publik tentu penasaran dengan sosok keluarga donatur tajir itu. Latar belakang perolehan harta dan motivasinya menyumbang dalam jumlah yang mencengangkan menjadi topik perbincangan hangat di dunia nyata dan dunia maya. Terlepas dari itu langkah besar itu menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang tergolong mampu untuk berbuat maksimal dalam membantu sesama di saat pandemi.
Tanggung jawab terbesar dalam mengatasi pandemi ada di pundak pemerintah. Itu pasti dan jelas. Uang rakyat dalam buku Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ada dalam wewenang pemerintah. Anggaran negara telah digeser atau refocusing demi mengatasi pandemi. Termasuk untuk sektor kesehatan dan bantuan sosial. Namun peran swasta dan publik dalam berbagai bentuk bantuan tentu sangat berarti. Jika negara punya kewajiban konstitusi maka masyarakat punya kewajiban sosial.
Banyak kalangan non pemerintah yang telah menginisiasi bantuan sosial dalam bentuk sedekah baik barang maupun uang tunai. Dan ada pula yang menginisiasi bantuan dalam bentuk wakaf seperti wakaf tabung oksigen. Dalam ajaran Islam wakaf ini dibedakan dengan zakat, infaq, dan sedekah.
Wakaf adalah menahan harta yang bisa diambil manfaatnya secara tetap, serta untuk dibelanjakan pada hal-hal yang bernilai ibadah ataupun mubah. Sekilas, ibadah wakaf mirip dengan sedekah. Bedanya, sedekah atau hibah adalah memberikan harta tertentu yang habis pakai. Misalnya, sedekah makanan untuk berbuka puasa. Pahala sedekah diganjar sekali saja. Sementara itu, wakaf adalah memberikan harta yang punya nilai waktu tertentu. Misalnya, wakaf bangunan yang dimanfaatkan untuk panti asuhan, sumur untuk sumber air bersama, dan lain sebagainya.
Pahala wakaf akan mengalir terus hingga bangunan itu roboh atau sumur itu ditimbun tanah. Selain itu, perbedaan lain wakaf dengan sedekah adalah ibadah wakaf mengharuskan adanya pengurus yang mengelola harta benda yang diwakafkan. Misalnya, bangunan untuk panti asuhan di atas.
Kini pengertian dan bentuk wakaf mengalami perluasan. Hingga dikenal pula wakaf tunai. Namun pada prinsipnya wakaf secara jangka panjang potensial akan terus berkembang dan memberikan lebih banyak manfaat bagi publik. Wakaf dekat dengan manajemen aset. Dan oleh karenanya dikenal pula dengan wakaf aset produktif.
Menurut Muhammad Syafii Al Bantanie konsep dasar aset adalah sesuatu yang harus bekerja menghasilkan. Maka, wakaf produktif adalah aset wakaf yang berkerja menghasilkan surplus wakaf untuk kemudian disalurkan kepada mauquf alaih (sasaran wakaf). Tahan pokoknya dan alirkan hasilnya. Prinsip wakaf ini mesti dipahami dan diimplementasikan dengan tepat agar tujuan wakaf menghadirkan kesejahteraan umat bisa terwujud.
Faktanya banyak wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan yang terbengkalai karena ketidakmampuan nadzir atau pengelola wakaf. Manajemen wakaf yang profesional kini mulai tumbuh dan berkembang. Amanah para wakif akan ditangani dengan manajemen aset produktif. Termasuk dalam menghadapi kemungkinan pandemi dengan dampaknya yang panjang. Banyak kebutuhan umum yang perlu pengelolaan berkesinambungan.