PT 0% Harapan Tampilnya Capres Alternatif

PT 0% Harapan Tampilnya Capres Alternatif
Peneliti Maarif Institute Jakarta, Endang Tirtana.

KETENTUAN ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT) kembali digugat. Sejumlah pihak mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal-pasal dalam UU No 7/2017 yang mengatur soal PT sebesar 20%, seperti politisi Gerindra Ferry Juliantono yang didampingi oleh pakar hukum tata negara Refly Harun. Menyusul berikutnya dua orang senator (anggota DPD), dan terakhir mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Tercatat sudah 13 kali gugatan serupa dilayangkan ke MK, dan semuanya kandas. Gugatan serupa pernah diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra, ekonom senior Rizal Ramli, hingga pakar komunikasi politik Effendi Gazali. Tak ada satu pun yang dikabulkan oleh MK.

Praktis, sejak diterapkan pada Pilpres langsung 2004 konsep PT terus-menerus menuai gugatan. Awalnya PT ditetapkan sebesar 15% dari kursi di DPR atau 20% perolehan suara nasional berdasarkan UU No 23/2003.

Tetapi syarat itu diperlunak dalam ketentuan peralihan, diturunkan menjadi hanya 3% dari kursi DPR atau 5% perolehan suara nasional. Alhasil, Pemilu 2004 diikuti oleh sebanyak 5 pasangan capres-cawapres.

Besaran PT dinaikkan menjadi 20% berdasarkan UU No 42/2008 dan diterapkan mulai Pemilu 2009. Saat itu SBY berniat maju untuk periode kedua didukung oleh koalisi Demokrat. Pilpres diikuti oleh 3 pasangan, dan SBY menang mutlak serta Demokrat berhasil mencapai perolehan suara tertinggi.

PT dianggap perlu untuk memperkuat sistem presidensial di Indonesia di tengah sistem multipartai. Dengan adanya PT, diharapkan presiden terpilih mendapat dukungan kuat dari koalisi partai-partai di DPR, sehingga pemerintah lebih mudah membuat kebijakan dan menjalankan secara lebih efektif.

Sebagai catatan, sejak masa Orde Baru pemilu untuk memilih anggota DPR dilakukan terlebih dahulu sebelum digelar pilpres. Perolehan suara partai-partai dari pemilu legislatif dijadikan sebagai dasar untuk mengusung pasangan capres-cawapres.

Perubahan terjadi sejak pemilu serentak diberlakukan pada Pemilu 2019, di mana pemilu legislatif dilakukan pada hari yang sama dengan pilpres. Masalahnya, bagaimana menentukan besaran dukungan PT jika pemilu berjalan secara serentak?

Keputusan ajaib pun dibuat, dalam UU No 7/2017 yang menggabungkan sejumlah UU terkait pemilu. PT 20% tetap menjadi syarat, tetapi ditetapkan dari hasil pemilu legislatif sebelumnya. Artinya, syarat mengajukan capres-cawapres pada Pemilu 2019 didasarkan pada hasil pemilu legislatif 2014.

Gugatan kembali dilontarkan. MK bersikukuh bahwa ketentuan PT yang mengacu pada pemilu sebelumnya merupakan kebijakan pembentuk undang-undang yang bersifat terbuka (open legal policy) selama tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang dapat ditoleransi.

Terlepas dari tujuan ditetapkannya PT dan konstitusionalitasnya, penerapan PT jelas melanggengkan dominasi partai-partai besar di DPR. Bisa dilihat dari sikap PDIP, Golkar, dan Nasdem yang kukuh mempertahankan dan menolak suara-suara untuk dihapuskannya PT, atau PT 0%.

Partai-partai yang lain mengusulkan agar besaran PT diturunkan, berkisar 4-10%, sebut saja PKB dan PKS. Sementara itu Demokrat dan PAN mendukung usulan PT 0%. Menjadi ironis, karena ketentuan tentang PT 20% justru dibuat pada masa Demokrat berkuasa.

Besarnya angka PT juga membuat arena kompetisi menjadi sangat terbatas. Dalam dua pemilu terakhir hanya ada dua pasangan capres-cawapres yang berlaga. Polarisasi yang sangat kuat membelah masyarakat, mengingat hanya ada dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan.

Di sisi lain, politik mutakhir Indonesia telah melahirkan banyak calon pemimpin baru yang mendapat dukungan luas publik. Setelah kesuksesan Jokowi, banyak tokoh berlatar belakang kepala daerah ataupun menteri yang memiliki elektabilitas tinggi dalam bursa capres.

Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil merupakan tiga gubernur yang paling diunggulkan dalam rilis berbagai lembaga survei. Ada pula para menteri seperti Sandiaga Uno, Erick Thohir, dan Tri Rismaharini yang elektabilitasnya juga lumayan moncer.

Nama-nama tersebut bukan petinggi atau tokoh kuat di tubuh partai, bahkan ada pula yang sama sekali bukan kader partai. Sebaliknya dengan para ketua atau tokoh partai seperti Puan Maharani (PDIP) dan Airlangga Hartarto (Golkar) justru berada di papan bawah elektabilitas capres.

Hanya Prabowo satu-satunya ketua umum partai (Gerindra) dan memiliki jabatan menteri yang meraih elektabilitas tertinggi. Tentu sah-sah saja jika partai-partai besar mengunggulkan tokohnya untuk diusung dalam kontestasi pilpres mendatang.

Tapi bagaimana dengan mereka yang bukan tokoh partai atau bahkan independen? Di satu sisi publik mengharapkan mereka bisa tampil sebagai pemimpin nasional, tetapi partai-partai besarlah yang berkuasa dalam hal pemberian tiket untuk maju nyapres.

Jika besaran PT diturunkan atau dihapuskan sama sekali, terbuka peluang bagi banyak partai untuk mengajukan capres atau cawapres. Kesempatan terbuka lebar bagi capres alternatif yang mendulang dukungan publik untuk diusung oleh partai-partai. 

Sebaliknya, jika PT 20% tetap dipertahankan, makin membenarkan opini bahwa pemilu hanya menguntungkan segelintir elite. Harapan publik untuk tampilnya pemimpin alternatif pun pupus. Dampaknya, partisipasi dalam pemilu bisa turun. Bahkan, dapat meningkatkan ketidakpercayaan publik terhadap demokrasi.