Pancasila dan Karpet Merah UMKM

AKHIRNYA, mall betul-betul mati. Paling tidak, itu terlihat kemarin. Saat kita memperingati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni. Semegah apa pun mall, orang-orang tak lagi tertarik datang ke sana.
Kini, sudah ada cara lain untuk memajang barang-barang dan membuat transaksi lebih nyaman. Bisa lewat retail lebih kecil (kelontong atau minimarket) dan e-comerce. Tinggal klik, barang buruan pun bisa sekejap ada di hadapan mata.
Begitu juga untuk berekreasi, tak mesti lagi harus ke mall. Buktinya, hari ini, yang ramai dan panjang antriannya malah Puncak-Bogor, bukan mall. Orang-orang ingin kembali ke alam, jauh dari kerumunan.
Beberapa mall, memang ada juga yang riuh ramai. Bikin antrian yang panjang mengular. Tapi rupanya bukan karena mantra ekonomi mereka yang masih mujarab, melainkan ada ritel modern nan besar (Giant) yang undur diri dari dunia usaha.
Situasi saat ini memang cepat berubah. Membuat dunia bisnis, termasuk bisnis ritel modern dan gemuk menghadapi banyak tantangan. Mulai dari digital disruption, milenial disruption, dan terutama pandemic disruption.
Bisa bertahan di saat menghadapi tiga tantangan tersebut menurut saya sudah hebat luar biasa. Karena bisnis-bisnis yang terlalu gemuk seperti mall banyak yang sedang pelan-pelan mati. Sejarah panjang keberadaannya yang sempat meriah dan penuh gairah mulai terkubur.
Tapi kita pun tahu, ada petitih lama mengatakan, ”hilang satu tumbuh seribu.” Jadi jangan sedih apalagi ringkih. Selama setahun terakhir, upaya kita untuk menggenjot pemulihan ekonomi memang bertumpu pada sektor konsumsi.
Tapi bukan berarti dengan matinya mall, kita tak punya harapan lain untuk pulih. Kita masih punya bisnis ritel kecil dan ekonomi digital yang tumbuh secara eksponensial.
Karena itu, di titik ini saya punya harapan besar. Kondisi saat ini akan memberi peluang yang sangat besar bagi pertumbuhan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Apalagi kita tahu, Pemerintah telah meluncurkan program PEN yang dirancang untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatakan kemampuan ekonomi para pelaku usaha. Khusus UMKM, kita juga tahu, jika salah satu Program PEN yang sudah dijalankan, yaitu jaminan UMKM melalui PT Jamkrindo dan PT Askrindo.
Program tersebut, menurut saya, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila terutama sila kelima, ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Jika selama ini, perekonomian seolah berpihak pada para pemodal besar, maka hari ini bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila kita ditunjukan jika usaha mikro kecil dan menengah juga diberi karpet merah. Dan ini, sesuai dengan jadi diri masyarakat Indonesia.
Meminjam perkataannya Prof. Mubiyarto, bahwa untuk membangun ekonomi yang sesuai dengan jati diri masyarakat Indonesia, sudah sepatutnya kita menggunakan ekonomi pancasila. Kata beliau, pancasila merupakan ’hasil galian’ dari gagasan dan pandangan hidup asli masyarakat.
Jika tak seluruhnya, maka minimal nilai dan prinsipnya sama-sama kita selipkan dalam setiap aktivitas ekonomi yang kita jalankan. Dan itu, adalah selemah-lemahnya iman.
Sejatinya, nilai dan prinsip yang sama juga mendapat perhatian utama dalam undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker). UU ini bahkan memprioritaskan UMKM sebagai leading sector. Paling tidak ini mengacu pada data bahwa kontribusinya terhadap PDB mencapai 60,3 persen. UU Ciptaker seolah melengkapi perhatian secara maksimal terhadap pengembangan UMKM.
Ini dilakukan, karena ada persoalan klasik yang senantiasa membelit UMKM. Baik dari sisi permodalan, perizinan, pemasaran maupun akses terhadap proyek-proyek pemerintah. Nah, UU Ciptaker disusun untuk mengatasi sejumlah persoalan yang membelit UMKM tersebut.
Karena itu, saya sepakat dengan Menteri Koperasi, Kang Teten. Bahwa keberadaan koperasi dapat menjadi solusi pembiayaan bagi para pelaku mikro di Indonesia. Apalagi sekira 99% pelaku usaha di Tanah Air masih didominasi usaha mikro.
Di saat lembaga pembiayaan formal seperti perbankan masih takut memberikan pembiayaan ke usaha mikro, koperasi harus hadir beri solusi. Jika itu bisa dilakukan, maka usaha mikro akan mampu jadi pemasok bahkan bisa jadi eksportir produk holtikultura maupun tropis.
Di era yang mudah berubah seperti saat ini, institusi bisnis dituntut untuk mencari keunggulan domestiknya. Bukan lagi gembar gembor meminta perusahaan besar membangun pabrik atau bahkan retail modern super besar.
Syaratnya, usaha mikro kecil dan menengah harus mendorong digitalisasi. Sebab ekonomi digital Indonesia diramal akan jadi yang terbesar di Asia Tenggara. Potensinya di tahun 2025 dapat mencapai Rp1.748 triliun.
Jangan sampai UMKM kalah cepet. Lalu peluang ini kembali diserobot pihak asing, atau para pemodal besar.
Kerjasama dan kolaborasi lagi-lagi jadi kunci, para pelaku UMKM agar memiliki kekuatan yang seimbang. Karena para pelaku usaha akan dituntut untuk melalui proses maraton dan membutuhkan estafet kerja dengan nafas panjang. [ ]