100 Hari Kerja Mendikbud: Fokus Potong Regulasi yang Menghalangi Inovasi Pendidikan
100 hari kerjanya, Mendikbud telah membuat 2 kebijakan yang berhasil menyedot perhatian publik. Yakni kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka.

MONITORDAY.COM - Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin sudah memasuki masa 100 hari kerja bersama para menteri yang tergabung dalam kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.
Berbagai program dan kebijakan telah dilaksanakan para menteri dalam mewarnai 100 hari kerja tersebut. Tentunya untuk mewujudkan visi misi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Termasuk program dan kebijakan yang dicanangkan salah satu pos Kementerian yang saat selalu menjadi sorotan, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim.
Mendikbud Nadiem mengaku, selama 100 hari kerja dirinya fokus memotong rantai dan sekat regulasi yang menghalangi proses inovasi dalam dunia pendidikan.
“Jadi seratus hari ini, semua kita analisis mana yang bisa dilakukan sekarang, untuk mulai memotong rantai-rantai sekat-sekat regulasi yang menghalangi proses inovasi di dalam unit pendidikan kita. Lebih lanjut lagi masuk ke peningkatan kualitas guru, kurikulum dan lain-lain, itu masih butuh waktu lebih lama untuk mematangkan konsep merdeka belajar ini,” kata Mendikbud Nadiem saat menghadiri acara IDE 2020 di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta pada Kamis (30/1/2020).
Seperti diketahui, dalam 100 hari kerjanya, Mendikbud tercatat membuat 2 kebijakan yang berhasil menyedot perhatian publik. Kebijakan pertama yang disebut sebagai Merdeka Belajar, yaitu berupa pembenahan terhadap sistem pendidikan dasar dan menengah, salah satunya adalah menghapus sistem Ujian Nasional (UN) dan menggantinya dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.
Selanjutnya, pada kebijakan kedua, Mendikbud meluncurkan program yang dikenal dengan Kampus Merdeka. Kebijakan ini memberikan berbagai keleluasaan pada perguruan tinggi tanpa harus berkoordinasi dengan begitu banyak instansi atau kementerian lainnya.
Strategi “Merdeka Belajar” sendiri merupakan strategi untuk memerdekakan berbagai hal dalam penyelenggaraan pendidikan seperti regulasi yang membebani guru-guru untuk bisa melakukan tugas utama mereka yaitu melaksanakan pembelajaran. Demikian juga dengan Ujian Nasional (UN) yang sifatnya per subjek dan begitu banyak materi sehingga terpaksa melalui metode hafalan.
“Itu bukan salahnya guru melainkan salah kontennya yang begitu banyak. Jadi di sana kita lepas biar sekarang kita fokus ke asesmen kompetensi sehingga tidak ada materi yang harus dihafal melainkan daya analisis,” terang Mendikbud.
Sementara itu terkait, Kampus Merdeka setidaknya ada empat kebijakan yang disebut Mendikbud memberi kemudahan dan keleluasaan kampus. Pertama, kebebasan untuk membuka program studi (prodi) baru dan membebaskan kemitraan kampus dengan pihak ketiga yang masuk kategori kelas dunia. Kedua, kemudahan proses reakreditasi yang selama ini begitu rumit dan mengambil waktu para dosen dan rektor sehingga tidak fokus kepada mahasiswanya. Ketiga, kemudahan bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk “naik kelas” menjadi Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum (PTN-BH) sehingga memiliki keleluasaan untuk melakukan kerja sama.
"Yang terakhir yang favorit saya dari kampus merdeka adalah upaya pembebasan SKS mahasiswa, di mana tiga dari delapan semester diambil di luar program studi," katanya.
Mengenai adanya resistensi di masyarakat mengenai kebijakan baru ini, Mendikbud mengatakan bahwa hal tersebut wajar karena jika ingin melakukan perubahan maka harus dilakukan secara drastis.
“Saya harap semua orang mengerti bahwa di Indonesia tidak ada satupun bidang pemerintahan yang tidak harus ada lompatan. Semuanya butuh lompatan. Memang negara kita begitu besar dan kita harus mengejar. Kalau tidak ada yang resisten artinya perubahan besar tersebut tidak cukup berdampak. Jadi saya melihat resistensi positif itu jadi tantangan buat kita,” pungkas Mendikbud.