Peringati Womans Day, KNPM Sampaikan Catatan Terkait Kondisi Nasional
Kondisi dan situasi nasional saat ini masih belum berpihak kepada kesejahteraan dan kemerdekaan untuk perempuan.

MONITORDAY.COM - Memperingati Hari Perempuan Internasional (International Womens Day) yang jatuh pada hari ini, 8 Maret, Komite Nasional Perempuan Mahardika menyampaikan sejumlah catatan. Diantaranya, kondisi dan situasi nasional saat ini masih belum berpihak kepada kesejahteraan dan kemerdekaan untuk perempuan dan kelompok rentan atau marginal di masyarakat.
"Saat ini, Pemerintah dan DPR RI justru membuat kebijakan dan tindakan yang tidak mendukung dan merebut ruang demokrasi perempuan dan kelompok rentan masyarakat. Kebijakan itu, misalnya, Undang-Undang MD3 yang memosisikan DPR sebagai lembaga negara yang tidak tersentuh hukum," kata Sekretaris Komite Nasional Perempuan Mahardika (KNPM) Mutiara Ika dalam keterangan tertulisnya, Kamis (8/3/2018).
Ancaman terhadap warga negara juga semakin besar terlihat dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Beberapa aturan dalam RKUHP dinilai bertentangan dengan semangat perlindungan anak, khususnya UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
"Jika disahkan, RKUHP akan berdampak lebih luas yang mempengaruhi ketenteraman, keamanan, dan kesejahteraan hidup semua warga negara Indonesia tanpa melihat usia, jenis kelamin, agama, suku, dan golongan," imbuhnya.
Sementara itu, kebijakan yang berpotensi melindungi perempuan dan kelompok marginal di masyarakat justru diabaikan. Hal itu bisa terlihat pada 2017 lalu, RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan RUU tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) tidak menjadi prioritas program legislasi nasional 2018.
"RUU PRT sudah dinanti pembahasannya sejak 13 tahun silam. Penundaan pembahasan RUU PRT menyebabkan Pekerja Rumah Tangga belum memiliki perlindungan hukum untuk mengatasi kerentanannya dari tindak kekerasan, eksploitasi kerja hingga perbudakan modern," ucap Ika.
"Upah yang rendah, ketidakpastian hari libur dan cuti, serta pemutusan hubungan kerja secara sepihak masih dialami oleh pekerja rumah tangga," lanjutnya.
Pembahasan kebijakan yang diharapkan berpihak pada korban kekerasan pun belum terwujud. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pendefinisian kekerasan seksual mengesampingkan fakta penderitaan yang dialami oleh korban secara fisik maupun psikis.
"Negara merespons isu kekerasan seksual hanya ketika kekerasan itu muncul sehingga tidak menyelesaikan akar masalah secara tuntas. Seharusnya negara menyediakan upaya pencegahan dan penanganan sekaligus," tutur Ika.
Dalam kondisi hiruk pikuk politik nasional, kelompok rentan masyarakat dari buruh, petani, nelayan dan miskin kota juga masih harus berjuang keras. Buruh perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik mengalami nasib tak menentu. Upah rendah, sistem kerja target tak manusiawi, kondisi kerja berat yang tak berpihak pada perempuan hamil, serta kekerasan dan pelecehan di tempat kerja masih terus dihadapi pekerja perempuan.
Di sektor pertanian, Presiden Joko Widodo juga secara tegas pernah menyatakan soal kedaulatan pangan sebagai salah satu prioritas dari Nawacita. "Akan tetapi, fakta yang terjadi justru memperlihatkan situasi yang sangat memprihatinkan. Para perempuan petani kehilangan tanahnya akibat alih fungsi maupun dirampas untuk perkebunan, pabrik semen, bandara atau proyek pembangunan lainnya," tukas Ika.
Di sektor media, jurnalis menjadi salah satu profesi yang rentan mengalami kekerasan, terutama jurnalis perempuan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat terdapat 582 kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia sepanjang 2006-2017 meliputi kekerasan fisik, ancaman teror, serangan, pengrusakan alat, pelarangan liputan, bahkan pembunuhan.
Selain itu, sepanjang 2013-2016 terdapat sedikitnya 15 kasus kekerasan dan diskriminasi yang dialami pekerja media perempuan di Jakarta. Di antaranya kasus pelecehan seksual yang dialami enam pekerja media LKBN Antara oleh atasannya dan pemutusan hubungan kerja sepihak yang dialami jurnalis Luviana oleh Metro TV.
Di pesisir, nelayan terancam proyek reklamasi dan penambangan pasir. Pemerintah juga dianggap semakin agresif mengikatkan diri pada perjanjian Internasional yang menghilangkan kedaulatan pemerintah untuk melindungi produsen pangannya.
"Kedaulatan rakyat Indonesia atas pangannya semakin menghilang. Perempuan pun terpinggirkan dari kontestasi perebutan sumber-sumber kehidupan ini," sesal Ika.
[Yst]