Zuhud Bukan Tidak Memiliki Dunia

MONITORDAY.COM - Zuhud merupakan salah satu sifat terpuji dalam ilmu tasawuf. Kezuhudan juga menjadi salah satu maqam dalam meraih makrifatullah melalui ilmu tasawuf. Secara sederhana, zuhud adalah tidak mencintai dunia dan hidup dengan sederhana saja. Menjauhi kemewahan.
Sifat zuhud yang diajarkan tasawuf membuat sebagian pihak menuduh tasawuf adalah biang kerok kemunduran umat Islam. Zuhud dimaknai bahwa seseorang harus fokus mengejar akhirat saja. Sementara keinginan mengejar dunia dianggap sebagai sesuatu yang hina. Benarkah begitu?
Selayaknya pemaknaan zuhud menjadi benci dunia adalah sesuatu yang salah. Jika zuhud dimaknai menjauhi dunia, buat apa Rasulullah SAW menghabiskan sebagian umurnya untuk menjadi pedagang? Bukankah seharusnya Rasulullah SAW bertapa saja di Gua Hira dan tak perlu mencari nafkah?
Oleh karena itu makna yang benar dari zuhud bukanlah tidak memiliki dunia, namun tidak dimiliki dunia. Maksudnya, seorang yang zuhud bukan berarti diam saja tidak mencari dunia. Namun seorang zuhud hati dan pikirannya tidak terikat kepada harta benda.
Jika dia mendapatkan harta, dia akan menggunakannya untuk amal saleh. Namun jika dia kehilangan harta benda, maka dia tidak akan larut dalam kekecewaan. Seorang zuhud yang disebut dengan zahid tidak harus orang miskin. Boleh jadi ia adalah orang kaya, namun dia anggap kekayaannya hanyalah titipan semata.
Seorang yang miskin belum tentu bersifat zuhud. Karena boleh jadi walaupun kondisinya miskin, namun hati dan pikirannya amat cinta harta. Jadi, kezuhudan tidak selalu berkaitan dengan kondisi ekonomi seseorang. Namun sikapnya terhadap harta benda yang dia punya.
Salah seorang contoh sahabat Rasulullah SAW adalah Abu Dzar Al Ghifari. Beliau adalah sosok sahabat Nabi Muhammad SAW yang sangat sederhana dan saleh. Kiai Hadjid murid Kiai Ahmad Dahlan dalam tulisannya mengenai Islam dan Sosialisme mengutip perkataan Abu Dzar Al Ghifari. Abu Dzar mengharamkan dirinya menumpuk harta selain apa yang dibutuhkannya. Walaupun dalam Islam hal itu diperbolehkan selama membayar zakat. Pendapat Abu Dzar diamini, diamalkan dan diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan.
Abu Dzar adalah sosok sahabat yang dicintai oleh Rasulullah SAW dan diakui kemampuannya. Selama hidup Abu Dzar pun merupakan sahabat yang cukup kritis terhadap rezim yang saat itu sedang berkuasa, yakni Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Yang dia kritik adalah kemewahan para pejabat kekhalifahan pada masa itu. Dia mengingatkan bahwa emas dan perak yang ditumpuk akan membuat pemiliknya diseterika di api neraka.