Memanen Pahala dari Bertani

MONITORDAY.COM - “Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai”, rasanya ungkapan ini sangat akrab di telinga kita. Maknanya yang luas, membebaskan kita untuk berinterpretasi tergantung konteks hidup yang kita alami. Ada yang mengaitkannya dengan parenting, investasi, perbuatan baik lainnya dan yang paling umum seringkali dikaitkan dengan balasan di akhirat, pahala.
Ungkapan di atas sudah menjadi bagian dari sunnatullah atau hukum alam. Al-Quran dan hadis pun berbicara hal senada. Salah satu contohnya, hadis dari Ibnu ‘Abbas: Rasulullah bersabda: “Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”
Hukum newton III menyatakan bahwa dimana aksi pasti ada reaksi atau bahasa matematikanya aksi=reaksi. Tidak mungkin seorang Sir Issac Newton menyimpulkan sebuah teori tanpa didasari suatu pengalaman atau gejala-gejala alam.
Kemutlakan hukum alam tidak bisa diganggu gugat. Kebaikan akan berbalas kebaikan, begitupun keburukan. Sebagai umat muslim, keyakinan kita terhadap hukum alam ini tidak terbatas sekadar di dunia, namun juga akhirat.
Ada sebuah pahala yang luar biasa mulianya dan akan dipanen di dua alam. Pahala bertani. Profesi bertani sepertinya banyak dipandang sebelah mata, banyak yang menganggap rendah profesi ini. Padahal jika ditelisik lebih sadar, para petani sangat berjasa besar bagi kehidupan. Tidak sebatas kehidupan manusia, tapi ekosistem alam. Tidak ada manusia yang bermanfaat kecuali para petani.
Dari Anas r.a, Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah seorang muslim yang menanam pohon atau tanaman (bercocok tanam) lalu tanaman tersebut dimakan oleh manusia, binatang melata atau sesuatu yang lain kecuali hal itu bernilai sedekah untuknya.” (H.R. Bukhori dan Muslim)
Mari kita bedah bersama suatu contoh. Indonesia adalah negara agraris terbesar di Asia Tenggara. Kekayaan bahan pangan yang tersedia di negara kita menjadi penentu julukan tersebut. Sawah yang terbuka luas, kebun yang terbentang lebar, laut yang terhampar lepas, gunung yang menjulang tinggi.
Di Indonesia, sawah yang terbuka luas menjadi ladang mata pencarian utama orang-orang desa. Setiap pagi, para petani berjalan dengan semangat ke tengah sawah, bebek-bebek berenang di lumpur, burung-burung pencuri biji padi nyanyi berkicauan.
Lihatlah, bukan hanya manusia yang terkena manfaat padi-padi di sawah. Hewan-hewan kecil sampai besar juga terkena cipratan manfaatnya. Maka selanjutnya terciptalah harmonisasi alam. Walaupun manusia yang menanam, alam luas yang menuai hasilnya.
Bukankah indah gambaran kehidupan bertani? Rasulullah, seorang manusia mulia bahkan memuji kemuliaan profesi bertani dan menilainya sebagai sedekah hidup. Sedekah terhadap keseimbangan ekosistem alam. Manusia kenyang, hewan-hewan pun kenyang.
Rasulullah juga mengatakan bahwa sebaik-baiknya pekerjaan adalah pekerjaan yang dikerjakan dengan tangan sendiri, termasuk bertani. Merujuk pada hadis dari Sa’id bin Umair, suatu waktu Rasulullah ditanya mengenai pekerjaan yang paling baik, begini jawaban beliau, “Pekerjaan yang paling baik adalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri.” Dalam riwayat lain dikatakan bahwa sesungguhnya Nabi Daud tidak makan dari apa yang dihasilkan oleh tangannya sendiri.
Telah disebut diatas bahwa profesi bertani adalah profesi yang sedekah menjadi nilai utamanya. Ajaibnya agama kita, orang yang bersedekah bukannya rugi, malah untung. Pahala sedekahnya seorang petani tidak hanya akan terpanen saat di dunia. Di akhirat, petani berhak memanen pahala dari apa yang telah ia tanam. Apalagi yang ia sedekahi alam semesta, ia adalah penyalur berkah Allah. Kebaikan di balas kebaikan.