WALHI : Isu Lingkungan Tak Menguntungkan Bagi Politisi

MONITORDAY.COM - Isu lingkungan tak menarik dan dianggap tak menguntungkan bagi politisi. Dalam kampanye-kampanye Pilkada dan narasi yang dibangun para politisi isu lingkungan tenggelam oleh isu politik identitas dan isu-isu lainnya. Hal itu diungkapkan oleh Nur Hayati dari Walhi kepada Monitorday pada Selasa (18/1/2020). Hal itulah, menurutnya, yang menjadikan berbagai komitmen terkait lingkungan tidak dapat diimplementasikan.
Yaya, begitu ia biasa dipanggil, juga menyampaikan beberapa pokok pikiran terkait bencana ekologis yang ditimbulkan oleh industri ekstraktif yang beroperasi di berbagai daerah termasuk di Pulau Kalimantan.
Pertama, perlu kebijakan pemberian insentif dan disinsentif. Insentif bagi usaha yang ramah lingkungan harus diberikan. Insentif tersebut harus menarik dan mampu menggugah pengusaha untuk serius mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan lagi kondisi dan fungsi lingkungan yang terganggu oleh kegiatan industri. DIsamping itu disinsetif juga perlu diberikan bagi mereka yang merusak lingkungan. Black-list bagi perusahaan yang bermasalah.
Kedua, tidak jelasnya strategi industrialisasi sehingga hilirisasi industri belum menampakkan hasil sesuai harapan. Industri di Indonesia masih cenderung ekstraktif. Bahan mentah diekspor tanpa memberikan nilai tambah. Kalaupun memberi nilai tambah masih harus mencari lagi pasar bagi produk setengah jadi yang dihasilkan oleh industri dalam negeri.
Ketiga, reforestasi harus melibatkan masyarakat lokal atau komunitas adat untuk mengakses dan mengelolanya. Komunitas adat telah ada sebelum negara ini berdiri. Mereka memiliki hak untuk hidup sejahtera di tanah yang mereka diami dan rawat selama ratusan tahun. Faktanya pengakuan terhdap masyarakat adat masih harus menempuh prosedur birokrasi yang sangat panjang. Tanpa melibatkan komunitas adat atau masyarakat lokal upaya reforestasi bagaikan token, tidak ada tindak lanjut dari program yang dilakukan. Selesai menanam, tak ada yang merawat tanaman tersebut hingga akhirnya program reforestasi tidak optimal.
Keempat, para politisi harus menyadari bahwa kerusakan lingkungan ini telah berlangsung lama. Misalnya ekosistem gambut yang sudah rusak sejak kebijakan di masa Orde Baru hingga kini belum pulih. Lahan gambut adalah lahan yang sangat unik, ketika telah kering dan tak mampu lagi berfungsi sebagai penyerap air maka bencana banjir atau kekeringan akan mengancam wilayah tersebut.
Kelima, program perhutanan sosial sangat lambat. Harus ada Perda-perda yang memuat syarat dan ketentuan minimal yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang memperoleh konsesi lahan. Kebijakan yang benar-benar berpihak pada lingkungan dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang akan sangat bermanfaat. Jauh lebih penting daripada investasi yang berorientasi jangka pendek.