Wakil Ketua MPR Tolak Darurat Sipil

Tidak perlu mewacanakan Darurat Sipil yang belum tentu bisa atasi Covid-19, tapi malah bisa jadi 'teror' terhadap kehidupan demokrasi.

Wakil Ketua MPR Tolak Darurat Sipil
Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid.

MONITORDAY.COM - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Hidayat Nur Wahid menilai penerapan darurat sipil dalam menangani wabah Virus Corona (Covid-19) bukanlah langkah yang tepat untuk diterapkan.

Status darurat sipil diutarakan oleh Presiden Jokowi dalam merespon wabah Covid-19 yang semakin meluas. Dasar dari wacana tersebut adalah Perppu 1959. Namun kabarnya, wacana tersebut masih dalam pertimbangan untuk diterapkan.

"Penerapan Darurat Sipil bukanlah solusi atasi Permasalahan Darurat Kesehatan seperti ini," ujar Hidayat Nur Wahid, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/3).

Menurut dia, status darurat sipil tidak akan bisa mengatasi wabah. Justru menurutnya, akan menimbulkan ketakutan di masyarakat.

"Tidak perlu mewacanakan Darurat Sipil yang belum tentu bisa atasi Covid-19, tapi malah bisa jadi 'teror' terhadap kehidupan demokrasi," ujar Hidayat.

Karena itu, Ia menyarankan kepada Presiden agar fokus pada langkah-langah penting dalam menangani pandemi ini. Salah satunya menyiapkan peraturan soal karantina wilayah.

"Alternatif terakhirnya adalah pemerintah lebih fokus dan lebih serius laksanakan UU yang ditandatangani oleh Pak jokowi sendiri, yaitu UU Kekarantinaan Kesehatan," tandasnya.

Senada dengan itu, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Oce Madril juga menilai, bahwa kebijakan Darurat Sipil merupakan langkah yang tidak tepat.

Menurutnya, ada tiga keadaan bahaya yang mendasari penggunaan Perppu 1959 yakni Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang.

"Sehingga, tidak salah ketika era Orde Lama menggunakan Perppu tersebut untuk mengendalikan situasi," ujar dia.

Oce menjelaskan, syarat-syarat keadaan bahaya dengan berbagai tingkatan darurat itu ada dalam Pasal 1 Perppu; semua mengarah pada terancamnya keamanan/ketertiban oleh pemberontakan, kerusuhan, bencana, perang, membahayakan negara, tidak dapat diatas oleh alat perlengkapan negara secara biasa.

"Wajar arah aturannya begitu karena ditetapkan pada masa-masa banyak peristiwa yang mengancam kemanan/pertahanan negara waktu itu (tahun 1959), era Orde Lama," ungkapnya.