Cawapres Relijius yang Menghargai Keragaman

Langkah akomodasi terhadap kalangan relijius menjadi keniscayaan bagi para capres.

Cawapres Relijius yang Menghargai Keragaman
collage

MONDAYREVIEW- Bila el classico antara Jokowi dan Prabowo yang akan terjadi di Pilpres 2019, maka kemungkinan keduanya sebagai figur yang lekat dengan citra nasionalis akan menempuh strategi perluasan basis massa ke kelompok relijius Islam dengan berbagai langkah. Popularitas dan elektabilitas yang tersaji hari ini dari berbagai survei tentang keduanya bisa berubah oleh langkah-langkah strategis meraih hati simpati ummat Islam.  

Langkah pertama adalah mengakomodasi figur pilihan ummat. Jokowi bisa saja menggandeng Muhaimin Iskandar atau yang akrab dipanggil Cak Imin dari PKB atau Mahfud MD. Kedua figur ini memiliki pengalaman panjang sebagai politisi. Basis massa nahdliyyin juga akan mendukung bila mereka menjadi cawapres. M. Din Syamsuddin dan Zulkifli Hassan juga menjadi alternatif dari kalangan Muhammadiyah dan PAN. Dua nama yang terakhir ini juga memiliki komunikasi politik yang baik dengan Jokowi dan kalangan Nahdliyyin.

Salah satu survei dari Alvara Research menunjukkan data bahwa ada tiga tokoh yang mendapat tingkat persetujuan paling tinggi untuk jadi cawapres Jokowi adalah Gatot (61,9 persen), Muhaimin (59,6 persen) dan Agus Harimurti Yudhoyono (55,5 persen).

Sementara itu di kubu seberang, Prabowo bisa menggandeng Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi yang memiliki citra kuat sebagai ulama’ mumpuni sekaligus zuama’ (pemimpin politik) yang berpengalaman. TGB juga memiliki kekuatan sebagai ‘wakil dari Kawasan Timur’. Persoalannya adalah sandaran politik TGB ada pada Partai Demokrat yang punya AHY sebagai putra mahkota.

Masih menurut survei Alvara Research, ada tiga tokoh yang mendapat tingkat persetujuan paling tinggi untuk jadi cawapres Prabowo adalah Anies (60 persen), Muhaimin (59,4 persen) dan AHY (56,3 persen). Namun, Cak Imin sudah memberi kode bahwa ia tawadhu kepada Pak Jokowi karena PKB berada dalam posisi partai pendukung pemerintah.

Bila pilihannya adalah basis politik yang loyal, maka Prabowo akan mengakomodasi cawapres dari PKS. Dilihat dari loyalitasnya, PKS tak perlu diragukan. Dan Aher serta Anis Matta punya kans untuk maju mendampingi Prabowo. Secara resmi bahkan PKS memiliki 9 nama cawapres. Hubungan mesra Prabowo dengan PKS telah terjalin menjadi kesetiaan politik yang kokoh dalam 4 tahun terakhir.  

Alternatif lainnya adalah menggandeng Anies Baswedan yang kini menjabat Gubernur DKI. Anies memiliki popularitas yang luar biasa pasca ‘duel-maut’ di Pilkada DKI. Ia menjadi simbol pemersatu kepentingan ummat Islam dalam politik. Anies Baswedan yang santun dan terukur, bisa menjadi mitra yang saling mengisi dalam menggerakkan administrasi pemerintahan.   

Langkah kedua adalah menyodorkan program nyata yang menyentuh kepentingan kelompok Islam. Bagi petahana, tak perlu menunggu jadi presiden di periode kedua untuk mengambil langkah ini. Sebagai petahana, Jokowi bisa merealisasikan kebijakan dan program yang ‘menyapa ummat’ di akhir periode pertamanya ini. Langkah itu agaknya sudah terbaca khalayak kala Jokowi rajin menyambangi pesantren. Juga dalam soal penguatan kredit mikro syariah.

Sementara itu Prabowo bisa merealisasikan keberfihakannya pada ummat melalui berbagai program yang diinisiasi organisasi-organisasi yang menjadi sayap Gerindra. Walaupun bentuk dan skalanya masih kecil, namun program nyata akan lebih efektif meriah kepercayaan publik daripada sekedar janji politik di masa kampanye.

Yang jelas, cawapres Jokowi maupun Prabowo akan cenderung berasal dari representasi Islam atau relijius. Namun demikian, komitmennya terhadap kebangsaan dan keragaman juga mesti bisa dicitrakan dengan baik. Serangan-serangan yang bersifat SARA tentu akan menjadi kontraproduktif bagi upaya pendulangan suara manakala hal tersebut tak mampu dikelola dengan baik.

Kepemimpinan Nasional membutuhkan figur yang tak hanya ahli dalam mengelola pemerintahan secara administratif. Legitimasi dan kepercayaan publik justru lebih penting. Walau begitu, bukan tidak mungkin figur cawapres bisa datang dari kalangan teknokrat atau profesional. Yang paling tinggi kansnya tentu kalangan profesional yang ahli dalam ekonomi. Figur Sri Mulyani menjadi salah satu pilihan. Disamping kepercayaan publik dalam negeri, SMI memiliki kredibilitas yang unggul di mata komunitas internasional.

Survei, lobi politik dan sosialisasi menjadi kerja politik yang berjalan simultan. Pada akhirnya waktu dan kalkulasi menjelang akhir batas pencalonan lah yang akan menjadi titik penentuan. Perkembangan dalam setahun ke depan akan sangat dinamis. Apalagi bila el classico mengubah Prabowo sebagai manajer alias King Maker dan figur seperti Gatot Nurmantyo yang maju di laga tersebut.

Politik memang harus kita hadapi dengan serius. Namun tensinya juga tak boleh melampaui batas. Pertarungan politik secara alamiah masih akan berlangsung panjang dan membutuhkan stamina yang prima. Sebagaimana diyakini banyak kalangan, siapapun yang jadi cawapres dari paslon yang unggul dalam Pilpres 2019 akan menjadi kuda hitam sebagai Kandidat Presiden 2024.