Virus Corona dan Ketidakberdayaan Manusia
Tiada daya dan upaya yang lebih efektif untuk mencegah kita terinfeksi virus korona kecuali dibalut dengan kekuatan doa.

WABAH virus corona mengajarkan kita banyak hal, terutama soal bagaimana kita memandang kehidupan. Soal bagaimana kita mendefinisikan kehidupan, menentukan masa depan kita. Sebelum dua WNI diumumkan Presiden Jokowi positif terinfeksi virus corona, masih banyak dari kita yang sempat membuat meme atau story di media sosial untuk lucu-lucuan.
Kini, ancaman itu sungguh nyata. Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 4600 orang, dan 106 diantranya meninggal dunia. Meski tingkat kematian akibat virus ini hanya 0,2% namun dari sisi kesehatan, politik dan ekonomi, pengaruhnya begitu dahsyat. Paling sederhana, adalah soal antrian di apotik, langkanya hand sanitizer di pasaran dan animo besar masyarakat untuk berburu masker.
Perdana Menteri China Xi Jinping pernah melontarkan pernyataan bahwa China tak akan dihentikan kekuatan apapun. Tapi tiga bulan kemudian, pernyataan Xi Jinping tersebut justru kontras. Kota Wuhan di China lumpuh akibat wabah virus corona.
Bahkan, ribuan ilmuwan diaspora China yang dalam satu dekade telah kembali ke tanah airnya, berjibaku dengan sains, melakukan penelitian untuk mencari penyebab munculnya wabah virus corona, namun hingga kini belum juga menemukan anti virusnya.
Wabah virus corona sungguh menunjukkan betapa tidak berdayanya manusia. Berapa pun dana yang dikeluarkan, ilmuwan yang digerakan, tetap saja wabah ini memberikan efek politik, ekonomi dan kesehatan yang begitu dahsyat.
Sejatinya, banyak petunjuk yang tersurat dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan mewabahnya virus corona. Pertama soal mekanisme penyakit. Ahli Stem Cell dan peneliti cancer dari Stem Cell and Cancer Institute Jakarta, Ahmad RUsdan Utomo punya catatan menarik. Menurutnya, Allah Swt., sesungguhnya telah menentukan ukuran-ukuran yang sangat spesifik soal apapun, termasuk soal gen, mekanisme mutasi, dampak fisiologi, ataupun mekanisme penyakit termasuk soal virus korona ini.
Petunjuk tersebut misalnya terdapat dalam Qur’an surat al-Furqan [25] ayat ke-3, yang artinya: “Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” Jika direnungkan dan dipahami, bukan cuma virus corona yang bisa kita tangkal, namun virus apa pun niscaya bisa teratasi.
Begitu pula soal makanan, Allah telah tetapkan agar kita memakan makanan yang halal lagi baik. Dengan tegas Allah menghalalkan makanan yang halal dan mengharamkan yang haram (Qs. al-Maidah [5]: 88). Pola makan yang buruk, menurut penelitian yang dipublikasikan di jurnal The Lancet, berkontribusi terhadap lebih banyak kematian dibandingkan faktor-faktor lainnya, seperti merokok. Hal ini dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius, seperti tekanan darah tinggi, diabetes dan bahkan virus corona.
Pun dengan syariat-syariat lainnya, semisal memakai hijab, menjaga kebersihan, dan lain sebagainya. Menunjukkan jika syariat sesungguhnya bisa menjadi perisai, bukan saja mencegah penyebaran virus korona, tapi juga dari sifat sombong yang menganggap diri paling kuat di atas segalanya.
Dari sisi mana pun, kekuasaan, fisik, termasuk sains, manusia memang memiliki keterbatasan. Apalagi manusia tidak bisa menentukan nasib atau pilihannya sendiri. Yang paling standar dan popular, soal jodoh, rezeki, dan kematian; semua itu ranah dan absolut bagi tuhan sang pencipta. Kita hanya diberikan pilihan untuk menjalani dan mendapatkan konsekuensi dari pilihan yang diambil.
Wabah virus korona membuktikan bahwa virus yang kasat mata bisa melumpuhkan, merusak, dan memporakporandakan tatanan kehidupan yang katanya sudah sampai pada tahapan terkoneksi secara digital, dan bahkan sudah mampu menciptakan ‘kecerdasan sendiri’.
Suatu saat, di zaman Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, pernah terjadi wabah mematikan di Damaskus yang menewaskan banyak penduduk dan sahabat-sahabat besar Rasulullah SAW. Sama dengan Corona hari ini, saat itu juga belum ditemukan obatnya. Saking mengerikannya wabah tersebut siapa pun yang terjangkit dalam hitungan hari akan mati, bahkan bisa dalam hitungan jam.
Entah apa alasannya, Khalifah Umar lantas memerintahkan para pejabat setempat agar membawa seluruh penduduk ke dataran tinggi (bukit) yang terdekat dengan kota Damaskus. Muawiyah bin Abi Sufyan R.A segera bergegas memobilisasi penduduk menuju ke dataran tinggi. Tak lama kemudian penduduk yang dibawa naik ke atas bukit itu sembuh dan lambat laun, wabah penyakit pun berhenti.
Apa yang dilakukan Khalifah Umar memang tak pernah diklaim sebagai treatment medis, namun jika melihat orang sekaliber Umar bin Khattab R.A. yang tidaklah mungkin sembarangan memberikan perintah. Tapia da kekuatan doa.
Tiada daya dan upaya yang lebih efektif untuk mencegah kita terinfeksi virus korona kecuali dibalut dengan kekuatan doa. “Doalah yang dapat mengubah qada dan qadar yang bersifat mualaq” Tugas kita hanya berusaha mendapatkan hasil dan menyempurnakannya dengan doa. Usaha dan doa, keduanya mesti berjalan beriringan. [ ]