Dilema Media Sosial
Media sosial memberikan banyak kemudahan. Pada saat yang sama eksesnya tetap harus diantisipasi. Sebuah film dokumenter tayang di Netflix sekira sebulan yang lalu. Judulnya ‘The Social Dilemma’ dan tentu saja isinya bisa ditebak. Mengkritisi media sosial dengan berbagai pengalaman dan pandangan para mantan pekerja dengan latar belakang pengalamannya.

MONDAYREVIEW.COM – Media sosial memberikan banyak kemudahan. Pada saat yang sama eksesnya tetap harus diantisipasi. Sebuah film dokumenter tayang di Netflix sekira sebulan yang lalu. Judulnya ‘The Social Dilemma’ dan tentu saja isinya bisa ditebak. Mengkritisi media sosial dengan berbagai pengalaman dan pandangan para mantan pekerja dengan latar belakang pengalamannya.
Yang paling mendapat sorotan adalah Facebook. Media social pertemanan ini memang mengesankan. Mark Zuckerberg mampu menanggung pundi-pundi uang ‘hanya’ dari sebuah platform pertemanan. Berbeda dengan Bill Gates yang membangun kerajaan Microsoft dengan produk piranti lunak dan piranti kerasnya.
Salah satu narasumber dalam documenter The Social Dillema tersebut adalah Tristan Harris mantan karyawan media social yang memahami betapa mencemaskannya dampak media sosial. Ia mengungkapkan cara kerja algoritma yang dibangun oleh perancang media social. Pendapatnya ini diperkuat oleh para narasumber lainnya yang pernah bekerja di google, Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, Snapchat, dan sebagainya.
Salah satu kata kuncinya adalah studi psikologi yang ditransformasikan ke dalam teknologi. Dengan kemampuan teknologi merangkum dan menganalisis data dalam jumah besar maka perilaku pengguna dapat diidentifikasi. Dari analisis inilah para perancang media social membuat modelling atas perilaku pengguna. Berdasarkan modelling itulah gagasan, cara berfikir, dan tindakan pengguna diarahkan bahkan dikendalikan.
Data profil pengguna ditambah dengan postingan, data penjelajahan informasi, dan semua tindakan pengguna dicatat, dianalisis dan menjadi bahan untuk membuat permodelan. Sehingga bila ada klien yang membutuhkan layanan pengelola media social tersebut untuk mengarahkan penggunanya dijamin akan puas dengan hasilnya.
Facebook dan media social lainnya memiliki banyak pengguna tentu karena mampu memenuhi kebutuhan dan selera khalayak. Pada saat yang sama Facebook dipandang sementara kalangan termasuk beberapa sumber dalam documenter ini menjadikan pengguna sebagai konsumen sekaligus produk yang dijualnya kepada pemasang iklan atau mereka yang membutuhkan data pengguna.
Facebook pun sontak mengemukakan bantahannya. Perusahaan yang menjadi salah satu tonggak kemajuan teknologi informasi ini mengklaim tak memiliki tujuan memanipulasi penggunanya agar kecanduan di layar gawai. Facebook juga mengklaim tak menempatkan penggunanya sebagai produk dan menggunakan algoritma agar mereka tetap relevan di mata penggunanya.
Pertama, Facebook menekankan bahwa perusahaan membangun produknya untuk membuat nilai, bukan dengan tujuan membuat pengguna ketagihan. Hal ini ditekankan dengan perubahan algoritma News Feed, menampilkan hal yang lebih berarti bagi interaksi pengguna. Menurut Facebook, perubahan ini berhasil mengurangi waktu aktif pengguna di platform hingga 50 jam.
Kedua, Facebook berdalih pengguna bukanlah produk. Facebook merupakan platform yang didukung iklan, artinya menjual iklan membuat kami menawarkan kemampuan untuk terhubung secara gratis.
Pada film 'The Social Dilemma', memang secara eksplisit disebutkan bahwa pengguna menjadi produk yang dijual kepada pihak pengiklan agar perusahaan mendapatkan keuntungan.
Ketiga, Facebook mengklaim bahwa algoritma Facebook tidaklah gila. Menurut Facebook justru algoritma mereka membuat platform tetap relevan. Algoritma dan machine learning meningkatkan layanan kami, misalnya kami memperlihatkan ke pengguna apa yang relevan bagi mereka.