UAH dan Tantangan Dakwah Digital

SAYA jadi ingin ikut bersuara soal Palestina. Tentu saja bukan soal apa dan kenapa konflik bisa terus terjadi. Karena konflik ini akan tetap ada hingga hari kiamat, katanya. Tapi soal efektivitas dakwah dan seruan bela Palestina yang luar biasa di ruang-ruang digital.
Di era pra digital, konflik Palestina-Israel seolah terselubung kabut. Menimbulkan banyak friksi, bahkan di kalangan rakyat Palestina sendiri. Wajar jika kemudian kita, atau bahkan Bangsa Arab beda pandangan dan kepentingan soal konflik ini.
Ilmuwan Amerika berkebangsaan Palestina, Edward Said, punya pandangan menarik soal bagaimana kita melihat Palestina, Islam dan Arab. Selama puluhan tahun kita pun hidup dengan simplifikasi serba tunggal tentang siapa kita (Islam), siapa Arab, siapa Palestina?
Melihat begitu meresapnya pandangan orientalis dalam masyarakat dunia soal Palestina, Edward Said sampai harus turun dari menara gadingnya untuk meruntuhkan kepicikan tersebut. Menjadi juru bicara gerakan kemerdekaan negaranya.
Lalu, era digital pun tiba. Membuyarkan pandangan tunggal kita soal semua hal, termasuk soal Palestina. Era ketika informasi dengan mudah dan cepat diperoleh serta disebarluaskan menggunakan teknologi digital.
Era digital meniscayaan ruang interaksi secara daring menjadi lebih terbuka. Termasuk aktivitas dakwah, yang menemukan model barunya saat ini. Ustad Adi Hidayat (UAH) adalah salah satu penceramah yang memanfaatkan ruang interaksi baru ini dengan sangat baik dan efektif.
Melalui kanal-kanal digital, UAH kemudian menjelma menjadi salah satu penceramah dengan pengikut terbanyak. Ada sekira 2,4 juta pengikut UAH di Instagram dan 369 ribu subcribers di channel YouTube-nya. Kebanyakan pengikutnya adalah muslim milenial.
Dengan jutaan pengikut, program-program dakwah, pendidikan, hingga aksi kemanusian yang dibuat UAH selalu diminati banak jamaah. Terbaru, adalah gerakan ‘Bela Palestina’ yang berujung penggalangan dana bantuan untuk rakyat Palestina sukses mengumpulkan dana 30 miliar hanya dalam 6 hari saja.
Untuk ukuran penggalangan dana yang diserukan secara perorangan, tentu ini sangat fenomenal. Sekaligus membuktikan, betapa kuat dan efektifnya model dakwah seperti yang dilakukan UAH di ruang digital.
Sayangnya, selain menjanjikan kemudahan, ruang digital juga meniscayakan problem baru bagi keakuratan informasi, termasuk bagi aktivitas dakwah. Ekspresi kita di ruang-ruang digital ternyata tak bisa sejernih yang selama ini banyak digemakan.
Belakangan, setelah terjadi gencatan senjata antara Palestina - Israel, muncul klarifikasi dan permintaan maaf soal pengaturan algoritma media sosial. Rupanya, secara sepihak, ada banyak kata kunci yang identik dengan aktifitas dakwah yang dilabeli hasutan dan kekerasan. Kita pun tahu akibatnya.
Setelah hampir 1 abad lamanya, ide soal gudang penyimpanan pengetahuan dunia mengubah banyak hal di dunia (internet). Lalu, sampailah kini, kita di tengah serpihan alur algoritma di dalam internet.
Tapi, betapapun algoritma merupakan kunci dari semua perubahan mutakhir yang saat ini terjadi, dan banyak orang yang berkelakar ‘apa yang terjadi jika di dunia ini tidak ada algoritma’, tapi tetap saja memiliki sisi lain yang disebut Irene Taylor sebagai sudut gelap dunia maya.
Algoritma secara tak langsung berkontribusi menciptakan apa yang disebut sebagai echo-chamber (ruang gema). Kondisi dimana seseorang menerima informasi, ide dan gagasan homogen secara berkala. Algoritma pun membuat filter sehingga pandangan lain tidak dapat masuk dalam ‘ruang’ itu.
Lebih lanjut, algoritma memungkinkan user meraih informasi sesuai riwayat penggunaannya, secara perlahan tapi pasti informasi yang dipasok disesuaikan dengan preferensi yang dikehendaki. Sementara yang tak sesuai akan tersingkir dengan sendirinya.
Algoritma juga memungkinkan user melakukan pembunuhan karakter terhadap user lainnya, seperti yang dialami UAH soal penggalangan dana yang ia lakukan untuk Palestina. Caranya, seperti diungkap ahli sejarah Caroline Jack, dengan menebar berita bohong (false information) secara sistemik.
Konten-konten fitnah yang dialamatkan kepada UAH tersebut lalu merusak jejak digitalnya di dunia maya. Ketika orang mencari UAH di mesin pencari maupun media sosial, maka konten-konten negatif tersebut akan merusak jejak digital UAH selama ini.
Sedihnya, orang-orang yang selama ini memuja kebebasan berekspresi dan berpendapat, seperti Guntur Romli dan Eko Kuntadhi turut menebarkan informasi palsu tersebut. Membuat dakwah digital menemui jalan yang kian terjal. Yang tak lagi bisa kita hadapi secara perorangan. Perlu banyak orang yang turun, tak cuma UAH seorang.
Saluran dakwah dan informasi pun perlu dipilah secara selektif. Utamakan yang tak punya afiliasi dan kepentingan politik tertentu. Atau jika perlu, kita buat kanal-kanal digital secara mandiri.