Ustadz Faizar dan Pesulap Merah Bongkar Kebohongan Dukun

MONITORDAY.COM - Praktik perdukunan tumbuh subur hidup di Indonesia. Bahkan di zaman modern saat ini, perdukunan mengalami digitalisasi. Beberapa dukun menyediakan layanan santet online di website, alat-alat perdukunan terjual bebas di market place.
Dukun biasanya dijadikan pilihan terakhir sebagai solusi atas sebuah permasalahan. Islam mengutuk keras perbuatan ini. Muhammadiyah sebagai gerakan islam, menyebut perdukunan ini sebagai bagian dari penyakit TBC (Takhayul, Bid’ah, Churofat). Dimana, kepercayaan terhadap seseorang atau sebuah benda yang dikeramatkan melebihi kepercayaan kepada Allah. Kita bisa mengklaim hal ini sebagai kemusyrikan.
Selama ada Allah, kenapa harus meminta kepada manusia? Zaman semakin maju, semakin banyak hal yang bisa dirasionalisasi-kan. Termasuk praktik perdukunan ini.
Ustadz Faizar sebagai ahli ruqyah syar’iyah banyak menyoroti gimmick dukun berkedok ustadz. Beliau sangat menyayangkan hal ini, seakan-akan orang islam itu lekat dengan mistis. Dalam kanal youtube ‘Muhammad Faizar Official’, beliau membongkar rahasia kebohongan dukun bersama pesulap merah, Marcel Radhival (13-15 September 2021). Marcel bertindak sebagai narasumber dalam tayangan ini.
Tayangan yang terbagi menjadi tiga part ini menunjukkan trik-trik yang biasanya dilakukan oleh dukun. Ternyata, dukun yang dianggap sakti oleh masyarakat hanyalah melakukan sebuah pembodohan. Marcel Radhival sebagai seorang magician yang biasa melakukan trik dan ilusi mengungkap bahwa dukun hanya melakukan sesuatu yang secara umum tidak banyak diketahui oleh orang.
Misalnya saja, sebuah tasbih yang bisa mengubah warna air. Dalam tayangan, Marcel memperagakan seolah-olah seperti dukun yang sedang beraksi. Ceritanya, ada seseorang yang mengadu sakit. “Kun, saya sakit nih kun. Saya ke dokter, secara medis engga diketemukan.” Marcel menanggapi bahwa si orang tersebut pikirannya sakit, bukan fisiknya.
Lalu si dukun biasanya bertanya, “Apa yang dirasakan?”. Orang itu biasanya menjawab, “Rasanya tuh lemes, kerja tuh bawaannya malees.” Padahal rasa malas itu diciptakan oleh diri sendiri. Dukun biasanya mengiyakan apa kata orang itu, “Wah, saya lihat memang ada yang ngirimin sesuatu. Coba saya doain (sambil menggenggam tasbih).”
Marcel kemudian membawa segelas berisi air hangat dan mencelupkan tasbih ke dalam gelas itu, tangannya menutupi gelas. Dengan sedikit ejekan, Marcel mengucap mantra-mantra, “Naik kereta api tut tut tut, siapa hendak turun ke Bandung Surabaya”. Saat mantra selesai diucapkan, air dalam gelas itu berubah warna. “Biasanya air ini diberikan kepada korban, bilangnya obat. Air ini bisa diminum, tadz (sambil minum)”, terang Marcel.
Bagaimana itu bisa terjadi? Marcel menjelaskan, “Sebenarnya, ini akibat bahan yang digunakan untuk tasbih. Bukan pake pewarna. Tapi ini bahannya terbuat dari kayu secang. Kalau di betawi biasa dicampur dalam minuman bir pletok. Sebenarnya bukan mantranya yang membuat airnya berubah warna. Memang kayunya ini ketika kena air panas, dia akan mengeluarkan sari-sari yang berwarna merah.”
Tidak hanya tasbih yang bisa berubah warna, Marcel juga menunjukkan beberapa benda yang umum dipakai dukun untuk menipu korban. Seperti bulu perindu, batu, paku, gelang keseimbangan, ramuan minyak, dsb. Benda-benda tersebut sebenarnya lumrah kita temui, bukan? Benda tersebut hanya digunakan dukun untuk mengelabui korban saja, yang penting dapat uang.
Selain itu, Marcel menyebutkan bahwa dukun tak ubahnya seorang penghipnotis yang menipu korbannya. Misalnya, banyak yang datang kepada dukun untuk meminta jodoh. Tanpa pikir-pikir, dukun mensyaratkan bahwa untuk mendapatkan jodoh harus berhubungan intim dulu. Padahal ritual tersebut hanyalah sebuah kepentingan pribadi si dukun untuk memuaskan nafsu. Jodoh tidak dapat, masalah makin banyak karena hamil.
Adapun mengenai praktik sihir, sihir dilakukan oleh dukun atas kerjasama dan bantuan dari jin itupun dengan izin Allah. Dan itu sudah masuk ke dalam ranah hal ghaib, tidak bisa dibuktikan secara konkrit. Hal ini diungkap juga dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 102, sihir dalam kontek ayat ini adalah tipuan dan sulapan yang hanya dilakukan oleh setan, baik yang berbentuk manusia ataupun yang berbentuk jin.
Mengenai sihir, Ustadz Faizar berkomentar, “Hal ghaib ranahnya kalau dalam Islam sudah jelas, jadi harus qoolallah wa qoolarrasuul, apa yang difirmankan Allah dan apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. Karena hal ghaib kita tidak bisa berasumsi, harus berdasarkan apa yang dikabarkan di dalam Al-Quran maupun sunnah. Kecuali ghaib-ghaib yang bersifat nisbi, relatif, seperti jin yang ada sentuhan dengan alam manusia.
Itu memang bisa dengan eksperimen-eksperimen. Misalnya Wahab Munabbih yang menggunakan tujuh daun bidara. Atau Syekh Sa’ad Said Ahmad Abduh yang menggunakan susu dan madu untuk menetralisir sihir yang masuk. Itu bisa menggunakan tajribah, eksperimen yang tidak lepas dari dua payung, payung ilahiyah harus ada dalilnya dan payung thobi’iyah yang harus ada tanggung jawab ilmiahnya.”
Tonton selengkapnya disini: https://www.youtube.com/watch?v=9Pv30haDLUc
Dalam sebuah jurnal penelitian "The Role of Dukun Suwuk and Dukun Prewangan in Curing Diseases in Kediri Community" ditemukan bahwa secara keseluruhan, kemampuan gaib yang dimiliki para dukun ini sesuai dengan konsep Pierre Bourdieu tentang cultural capital, yaitu karena kemampuan tersebut diturunkan atau dipelajari dalam rentang waktu tertentu.
Sementara kemampuan menyediakan jasa gaib sehingga menjadikannya sebagai pekerjaan utama merupakan ‘habitus’ atau kebiasaan dari kegiatan perdukunan. Habitus dijelaskan sebagai suatu ingatan atau sejarah yang terlupakan, yang muncul sebagai respon atas ketidakpastian keadaan dan kondisi kompetitif di lapangan yang memaksa dilakukannya strategi bertahan hidup meski dengan segala konsekuensi yang ada, bahkan bila hal itu melanggar norma, nilai, serta sistem kepercayaan yang dianut. (Wikipedia)
Konsistensi pembelajaran turun-temurun dukun menyebabkan praktik dukun masih diakui khususnya di Indonesia. Kita pasti pernah mendengar bahwa kebohongan yang dilakukan secara konsisten akan melahirkan kebenaran yang baru. Sama halnya dengan kebohongan yang dilakukan dukun. Karena sudah lama mengakar di tubuh masyarakat Indonesia, maka praktik perdukunan dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Padahal di dalamnya penuh trik dan ilusi yang membodohi.