Tuntutan 3 Tahun Buat Sang Irjen dan Vonis 10 Tahun Buat Jaksa Pinangki

Tuntutan 3 Tahun Buat Sang Irjen dan Vonis 10 Tahun Buat Jaksa Pinangki
Terdakwa Napoleon Bonaparte/ Antara

MONITORDAY.COM - Kasus suap Djoko Tjandra terhadap sejumlah pihak terutama dari unsur penegak hukum terus bergulir di meja hijau. Giliran Jaksa Penuntut Umum yang kemarin membacakan tuntutannya. Tuntutan yang tentu saja disertai sejumlah bukti dan keterangan saksi penting. Kini publik tengah menaruh perhatiannya pada sidang-sidang yang mendudukkan perwira tinggi POLRI sebagai di kursi pesakitan.

"Terdakwa Napoleon Bonaparte dan saksi Prasetijo Utomo sudah tahu sejak awal Djoko Tjandra adalah terpidana dan masuk dalam 'red notice' dengan perbuatan tersebut Napoleon dan Prasetijo bertentangan dengan jabatannya.”  Begitulah salah satu kalimat yang diucapkan JPU di depan mahkamah.

Publik tentu berharap bahwa langkah ini adalah awal dari upaya penegak hukum di Indonesia untuk membersihkan dirinya dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Kasus ini sangat menyita perhatian publik mengingat Djoko Tjandra adalah salah satu buronan paling dicari selama ini. Bersamaan dengan bobolnya integritas para penegak hukum sudah barang tentu menjadikan wibawa negara merosot.   

Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Pol Napoleon Bonaparte dituntut 3 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan karena menerima suap 370 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura dari Djoko Tjandra.

"Menuntut supaya majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk menyatakan terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan pertama. Menghukum terdakwa dengan pidana selama 3 tahun dengan perintah tetap ditahan di rumah tahanan serta denda Rp100 juta diganti pidana kurungan 6 bulan," kata jaksa penuntut umum Junaedi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (15/2/2021) sebagaimana dilaporkan Antara.

Tuntutan itu berdasarkan pasal dakwaan pertama dari pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf a UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana idubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

"Hal yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang bebas dan bersih dari korupsi, perbuatan terdakwa merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum. Hal meringankan, terdakwa bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum," ucap jaksa menambahkan.

Dalam perkara ini, Napoleon Bonaparte terbukti menerima suap 370 ribu dolar AS (sekitar Rp5,137 miliar) dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari terpidana kasus korupsi "cessie" Bank Bali Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi agar Napoleon Bonaparte membantu proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.

Penyerahan uang dilakukan dalam beberapa tahap kepada Napoleon melalui perantaraan Tommy Sumardi yaitu:

  1. Pada 28 April 2020, Tommy Sumardi memberikan uang 200 ribu dolar Singapura kepada Napoleon ditambah 50 ribu dolar AS yang sempat ditolak Napoleon pada 27 April 2020.
  2. Pada 29 April 2020 Tommy memberikan 100 ribu dolar AS kepada Napoleon Bonaparte
  3. Pada 4 Mei 2020 Tommy memberikan 150 ribu dolar AS kepada Napoleon Bonaparte
  4. Pada 5 Mei 2020, Tommy memberikan 70 ribu dolar AS kepada Napoleon Bonaparte

Uang itu berasal dari Djoko Tjandra yang diberikan melalui sekretarisnya bernama Nurmawan Fransisca dan Nurdin dengan rincian:

  1. Pada 27 April 2020 Tommy mendapat 100 ribu dolar AS
  2. Pada 28 April 2020 Tommy mendapat 200 ribu dolar Singapura
  3. Pada 29 April 2020 Tommy mendapat 100 ribu dolar Singapura
  4. Pada 4 Mei 2020 Tommy mendapat 150 ribu dolar AS
  5. Pada 5 Mei 2020 Tommy mendapat 20 ribu dolar AS
  6. Pada 12 Mei 2020 Tommy mendapat 100 ribu dolar AS
  7. Pada 22 Mei 2020 Tommy mendapat 50 ribu dolar AS

Napoleon dinilai terbukti menghapus nama Djoko Tjandra dari "Enhanced Cekal System" (ECS) pada sistem informasi keimigrasian (SIMKIM).

Dalam surat tuntutan, jaksa mengatakan Irjen Napoleon memerintahkan anak buahnya membuat Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI pad a4 Mei 2020 perihal Pembaharuan Data Interpol Notices yang atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi. Isi surat pada pokoknya menyampaikan penghapusan Interpol "red notice".

Selanjutnya pada 5 Mei 2020 Irjen Napoleon kembali memerintahkan anak buahnya membuat Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor: B/1036/V/2020/NCB-Div HI tanggal 5 Mei 2020 perihal Penyampaian Penghapusan Interpol Red Notices yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo yang menyampaikan bahwa Interpol Red Notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra Control No: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak tahun 2014 atau setelah 5 tahun.

"Sehingga Kepala Subdirektorat Cegah Tangkal Dirwasdakim pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Sandi Andaryadi menghapus nama Djoko Tjandra dari 'Enhanced Cekal System' (ECS) pada sistem informasi keimigrasian (SIMKIM). Sejak saat itu Djoko Tjandra bebas keluar masuk Indonesia dan tidak ada dalam ECS pada SIM KIM," papar jaksa.

Sementara itu Pinangki Sirna Malasari divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menguasai USD 450 ribu dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra serta melakukan TPPU dan permufakatan jahat. Pinangki mengajukan banding atas vonis itu.

Pinangki dinyatakan hakim terbukti menguasai suap USD 450 ribu dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA), dan melakukan TPPU, serta melakukan permufakatan jahat untuk mengupayakan fatwa MA.