Transformasi Intelektual Buya Syafii Maarif
“Terlalu lama otakku berdansa di panggung paham keislaman yang kurang mencerahkan”.

Pasca wafatnya Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bisa dikatakan Buya Syafii adalah satu dari segelintir tokoh yang mampu mewarnai diskursus terkait kebangsaan dan keindonesiaan. Ditengah hiruk-pikuk bangsa ini, Ia mampu menjadi oase dan pelita bagi umat.
Ahmad Syafii Maarif atau biasa dipanggil Buya Syafii, merupakan sosok yang multikulturalis, pluralis dan nasionalis. Buya tak pernah lelah memperhatikan bangsa dan terus memberikan nasehat-nasehat serta pandangan yang berbeda demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ia cintai. Dengan selalu menempatkan sisi kemanusiaan sebagai landasan pendiriannya.
Buya Syafii yang kita kenal sekarang tidak datang dari ruang hampa, yang tiba-tiba menjelma sebagai tokoh bangsa. Melainkan, datang melalui proses yang panjang, berliku dan banyak aral melintang. Dari yang mulanya seorang tokoh Muhammadiyah fundamentalis-puritan berubah drastis menjadi tokoh modernis, pluralis, nasionalis yang humanis. Perubahan paradigma tersebut terjadi saat ia belajar langsung dengan tokoh neo-modernis asal Pakistan, Fazlur Rahman, di Universitas Chicago.
Fundamentalis Tulen
Buya Syafii lahir dari rahim budaya alam Minangkabau asli. Ia berasal dari keluarga muslim, tumbuh dan besar dalam tradisi pendidikan Muhammadiyah. Dalam perjalanan titik kisarnya Ia pernah menjadi seorang pendukung nalar ide negara Islam atau “syari’ah centris” agar bisa diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Syafii muda beranggapan bahwa kekacauan dan keburukan yang terjadi di Indonesia selama ini disebabkan semata-mata karena bangsa ini tidak menerepkan sistem syariah.
Syafii muda sangat getol dan terus berjuang untuk memformalisasikan Islam. Ia meyakini dengan berdirinya negara Islam, maka semua hal akan menjadi beres. Cara pandang tersebut tak lepas dari pengaruh Abul Ala Al-Maududi, seorang tokoh neo-revivalis dari Pakistan dan konsep M. Natsir, yang Islamis. Masa periode tahun 1950-1970 Buya adalah pendukung kuat gagasan negara Islam Indonesia. Pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus Maududi adalah rujukan utamanya.
Keinginan tersebut tetap kekeh dipegang beliau hingga usianya beranjak 40 tahun. Ia mengalami status quo dalam pemikiran selama periode Athens, sebagaimana diterangkan dalam autobiografinya: “Selama periode Athens (1976-1978) dari segi pemikiran Keislamanku, belum ada perkembangan yang berarti. Aku masih terpasung dalam status quo pemikiran. Masih berkutat pada Maududi, Maryam Jameela, tokoh-tokoh Ikhwan, Masyumi dan gagasan tentang negara Islam. Iqbal, pemikir dan penyair Besar Pakistan itu memang telah kuikuti, tetapi ruh ijtihadnya belum singgah secara mantap di otakku yang masih bercorak aktivis, belum reflektif, dan kontemplatif, apalagi aku aktif di MSA (Muslim Student’Association) yang masih sangat merindukan tegaknya sebuah Negara Islam di suatu negeri. Seakan-akan dengan merek serba Islam itu semuanya akan menjadi beres”. Paradigma tersebut berubah, ketika beliau bertemu dan belajar langsung dengan Fazlur Rahman saat nyantri melanjutkan pendidikan Strata-tiganya (S3) di kampus Chicago Amerika Serikat.
Becoming Modernis
Perpindahan dan perubahan paradigma tersebut, tentunya melalui proses yang sangat panjang secara gradual. Pakar psikologi ternama Amerika Serikat, William James, mengatakan hal tersebut adalah konversi. Dalam buku klasiknya yang berjudul The Varieties of Religious Experience (1985), mendefinisikan konversi sebagai sebuah proses dimana “religious ideas, previously peripheral in his consciousness, now take a central place, and that religious aims form the habitual centre of his energy”. Artinya, konversi itu terjadi jika suatu pandangan keagamaan yang dulunya hanya dianggap pinggiran dan tak penting atau bahkan menyimpang oleh seseorang, namun kemudian ia berubah menjadi meyakini bahwa yang pinggiran itu menjadi sentral atau sangat penting, maka orang itu telah mengalami apa yang disebut dengan konversi.
Proses tersebutlah yang sekiranya terjadi pada Buya Syafii, yang awalnya tokoh Muhammadiyah fundamentalis-puritan menjadi tokoh yang humanis, pluralis dan modernis. Konversi tersebut terjadi ketika beliau bertemu dan belajar langsung dengan Fazlur Rahman di Universitas Chicago. Di kampus Chicago di bawah perkuliahan Fazlur Rahman, Buya mengalami pencucian otak dari pendukung formalisasi Islam menuju Islam yang substantif. “Terlalu lama otakku berdansa di panggung paham keislaman yang kurang mencerahkan”, jelasnya.
Selain hal tersebut, ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan sikap intelektual Buya Syafii. Pertama, faktor pendidikan. Seperti diketahui bersama, di Sampur Kudus Sumatera Barat, Buya Syafii sejak kecil didik dalam lingkungan keluarga Muhammadiyah yang taat. Artinya, naluri fundamentalis ala Maududian yang menghinggap pada Buya Syafii merupakan buah paham keagamaan yang ditransmisikan oleh lingkungannya sejak belia.
Kedua, perubahan lanskap politik Islam di Tanah Air juga bias ditunjuk sebagai factor dominan lain dari perubahan sikap intelektual Buya Syafii. Sejak awal Buya Syafii merupakan seorang partisipan Masyumi yang aktif. Jalan pikirannya sejalur dengan misi Masyumi yang hendak mendirikan negara Islam. Pengaruh Masyumi itu juga turut memperdalam pemahaman Buya Syafii tentang pentingnya dasar Islam dan penerapan syariah di level negara.
Ketiga, kompleksitas persoalan yang dihadapi masyarakat turut pula memengaruhi sikap intelektual Buya Syafii. Kejumudan, kemiskinan, dan kebodohan yang diderita umat, dalam alam piker Buya Syafii, tidak cukup lekas diselesaikan dengan label serba
Islam ala Maududian. Menurutnya, permasalahan-permasalahan akut tersebut harus diselesaikan dengan visi yang jelas dan strategi serta metode yang mumpuni.
Lompatan intelektual Buya Syafii tidak terjadi begitu saja. Melainkan melalui sebuah evolusi; pendidikan, bacaan, dan pengalaman beliau sehingga bisa merubah pandangan hidup dan pemikirannya.
Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Buya Syafii adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam. Sebaliknya, Buya berpandangan bahwa Islam substantif lebih utama dengan mengedepankan prinsip etis dan moralitas dalam membangun bangsa dan negara ketimbang formalisasi Islam.