Transformasi Digital Tak Cuma Soal Teknologi

PANDEMI Covid-19 berdampak besar terhadap kehidupan, terutama sektor usaha. Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di hampir semua wilayah di Indonesia membuat sebagian besar pelaku usaha sesak nafas, sebagian lainnya bahkan nyaris mati.
Covid-19 juga bikin para pelaku usaha luluh, dan nyaris tak ada yang menyangkal disrupsi digital. Kini, hampir semua pengusaha seara sukarela melakukan shifting ke layanan digital.
Atau paling tidak, seperti disinggung akademisi dan praktisi bisnis, Rhenald Kasali bahwa ada sekira 10 bidang usaha yang telah berubah secara permanen. Sepuluh bidang tersebut adalah kuliner, pendidikan, hiburan, donasi sosial, alat pembayaran, logistik, fashion, periklanan, media, dan sektor perumahan.
Semua orang kini sadar, jika transformasi digital dapat mengatasi beragam tantangan dan disrupsi gegara revolusi industri dan Covid-19. Ikatan Auditor Teknologi Indonesia (IATI) mencatat, sektor industri dan perdagangan kini banyak yang menerapkan konsep contactless system atau berbasis online.
Kini, semua mengandalkan transformasi digital dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Beberapa teknologi paling transformatif dalam proses ini bisa kita lihat ada internet of things dalam rantai pasok.
Ini lantaran seringkali perusahaan mengalami kendala pada proses produksi. Baik kondisi persediaan, pergudangan, supplier, dan ketepatan waktu. Penerapan IoT akan sangat membantu karena teknologi yang digunakan makin hari, makin pintar.
Ada juga pembayaran digital. Dengan teknologi ini, pelanggan akan mendapatkan pengalaman bertransaksi tanpa harus melakukan kontak. Juga dapat melakukan pembayaran dengan berbagai model tanpa harus membuat akun yang terpisah dengan bank atau tiap penyelenggara layanan pembayaran.
E-Comerce sudah pasti, jualan produk di masa pandemi tanpa mengintegrasikan diri ke dalam pasar digital sungguh melelahkan. Melalui e-comerce, perusahaan, pedagang dan konsumen dapat dipertemukan secara elektronik.
Dengan cara tersebut, market exposure dapat diperluas, juga memungkinkan semua orang di dunia dapat memesan dan membeli produk yang dijual hanya dari genggaman. Melalui E-Comerce pula, biaya operasional dapat diturunkan.
Bagi perusahaan atau bidang usaha yang sudah lama eksis dan sigap menangkap signal transformasi, maka bisa dipastikan hingga hari ini ia kukuh berdiri. Netflix, Gojek, Tokopedia, Nike, hingga Hasbro adalah beberapa contohnya. Perusahaan-perusahaan ini dengan cepat menyatukan komponen SDM, Bisnis, dan teknologi. Hasilnya valuasi dalam jumlah besar dapat diraih hanya dalam waktu yang relatif singkat.
Hanya saja, perlu diingat bahwa, transformasi digital bukan cuma soal penggunaan teknologi informasi. Melainkan juga terkait cara pikir kita tentang bisnis.
Penulis buku ‘The Digital Transformation Playbook’, David L. Roger menuturkan, transformasi digital sesungguhnya adalah bagaimana kita dapat mengoptimalkan teknologi untuk menggambarkan dan menemukan kembali inti dari bisnis itu sendiri (value).
Kata David, bisnis di era digital harus dilihat secara holistik. Caranya, menurut dia, adalah dengan memperkenalkan lima domain CC-DIV (Customer, Competition, Data, Inovation dan Value).
Soal customer misalnya, ada survei menarik yang dilakukan sebuah perusahaan Custemer Experience Management (CXM) yaitu, Merkle. Dalam surveinya, Merkle menyebutkan, jika transformasi digital ternyata membuat preferensi masyarakat berubah.
Usut punya usut, konsumen ternyata lebih merasa nyaman membagikan dara mereka sebagai imbalan atas pengalaman mereka yang dipersonalisasi. Para responden merasa bahwa personalisasi mempermudah mereka menemukan produk yang diminati.
Ya, peningkatan custemer experience pada masa pandemi, ternyata mempengaruhi kebiasaan konsumen. Ini penting, karena dapat mempengaruhi retensi atau minat pelanggan untuk membeli kembali produk kita.
Hasilnya, bisa kita lihat sendiri, jutaan orang yang kini melakukan hampir semua hal dari rumah, memaksa perusahaan melibatkan mereka untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bermakna. Beberapa brand memperdalam manajemen customer experience, salah satunya melalui video-video pendek yang didukung pengalaman interaktif.
Rumah-rumah makan kini sudah bisa mengirimkan makanan di depan pintu tanpa harus ada kontak langsung. Makanan yang dahulu identik kita nikmati bersama, kini terpaksa dikirim tanpa kontak fisik.
Tempat-tempat wisata, kini harus mulai menawarkan spot-spot yang memberikan pengalaman unik nan menarik secara personal.
Media massa juga semestinya sama. Mulai membuat konten-konten yang menceritakan pengalaman-pengalaman secara personal. Atau setidaknya, merefleksikan pengalaman personal.