Hagia Sophia dan Dialog Antaragama

Keputusan Presiden Erdogan untuk mengembalikan kembali Hagia Sophia menjadi masjid menjadi sorotan dunia akhir-akhir ini.

Hagia Sophia dan Dialog Antaragama
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM – Keputusan Presiden Erdogan untuk mengembalikan kembali Hagia Sophia menjadi masjid menjadi sorotan dunia akhir-akhir ini. Umat Islam di dunia menyambut gembira keputusan ini, karena menjadi simbol bangkitnya kembali peradaban Islam. Sementara itu keputusan Erdogan mendapatkan reaksi keras dari umat Kristen dunia. Paus Fransiscus dan Dewan Gereja Se-Dunia menyayangkan keputusan Erdogan tersebut. Sebelumnya Hagia Sophia ditetapkan sebagai museum oleh Mustafa Kemal Bapak Negara Turki.

Dalam sejarahnya, Hagia Sophia dibangun oleh Umat Kristen Ortodoks pada tahun 517 sebagai gereja. Pada mulanya bangunan ini bernama Sancta Sophia. Saat Sultan Muhammad Al Fatih dari Kekhalifahan Usmani berhasil menaklukan Konstantinopel, Sancta Sophia kemudian diubah menjadi Masjid dan namanya menjadi Hagia Sophia. Saat Khilafah Usmani jatuh, lalu Turki menjadi negara sekular, agar tidak menjadi perselisihan antara umat Islam dan Kristen, maka Hagia Sophia menjadi tempat yang netral, yakni museum.

Setelah diubah jadi masjid, Hagia Sophia masih tetap bisa dikunjungi seperti biasa, baik oleh muslim maupun non muslim. Hanya saat waktu salat tiba, maka Hagia Sophia digunakan untuk tempat salat. Mungkin karena sudah menjadi masjid, maka saat masuk ke dalamnya alas kaki pengunjung menjadi wajib di lepas. Di dekat Hagia Sophia terdapat sebuah masjid yang cukup besar juga yakni Masjid Biru. Setelah mengubah Hagia Sophia kembali menjadi masjid, Erdogan menyatakan bahwa ini adalah awal dari pembebasan Al Aqsha di Palestina.

Publik Indonesia pun terlibat dalam pro kontra terkait keputusan Erdogan ini. Pihak yang mendukung Erdogan menyatakan sah-sah saja Erdogan mengembalikan kembali Hagia Sophia menjadi masjid karena bangunan ini telah dibeli oleh Sultan Muhammad Al Fatih. Posisi Erdogan yang menjadi kepala negara Turki membuat dia berhak mengambil keputusan tersebut. Yang pro pengubahan Hagia Sophia menjadi masjid juga memberikan contoh Masjid Qordoba yang sudah diubah menjadi gereja, namun tidak ada penentangan. Juga peristiwa pengubahan masjid menjadi bar di Israel namun minim protes.

Adapun pihak yang menolak keputusan Erdogan berpendapat bahwa keputusan ini untuk kepentingan politik Erdogan semata, dimana kondisi ekonomi negara Turki sedang memburuk. Erdogan berusaha mencari simpati saja dengan kebijakan ini. Selain itu menurut yang kontra tidak ada bukti bahwa Sultan Muhammad Al Fatih telah membeli Hagia Sophia, juga Masjid Qordoba asalnya memang gereja, jadi wajar kalau dikembalikan menjadi gereja. Pihak yang kontra juga mengatakan bahwa Hagia Sophia sudah menjadi warisan budaya yang diakui UNESCO sebagai museum.

Saya sendiri menganggap keputusan Erdogan adalah keputusan yang benar, tidak ada yang bisa menyalahkan Erdogan atas keputusannya. Namun keputusan yang benar belum tentu keputusan yang bijaksana. Dalam bahasa Jawa ada istilah bener tapi ora pener, benar namun tidak bijaksana. Sebagai muslim saya senang-senang saja jika Hagia Sophia menjadi masjid kembali. Namun sebagai seorang yang punya rasa simpatik, saya pun tetap memikirkan perasaan kawan-kawan saya yang tidak menerima keputusan Erdogan. Misalnya dari umat Kristen yang saya sebutkan di atas.

Menurut saya Erdogan perlu menjelaskan dan menenangkan umat Kristen yang tidak menerima keputusan tersebut. Jangan sampai terjadi semacam aksi balas dendam terhadap masjid kita yang berada di negara Kristen. Selama ini kita sudah berusaha membangun upaya dialog antaragama. Hal ini guna membuktikan kepada kaum ateis atau sekular, bahwa agama bukanlah sumber bencana, namun bisa menjadi rahmat bagi semesta alam. Sayang sekali jika upaya yang sudah dibangun selama ini harus kembali tercabik dengan insiden ini.

Hemat saya perlu ada win-win solution dalam peristiwa ini. Misalnya Hagia Sophia tak mengapa dijadikan masjid, namun gambar Yesus dan Bunda Maria tidak dihilangkan. Hemat saya juga perlu ada yang menenangkan kedua belah pihak jangan sampai menjadi api konflik yang membakar. Terlalu mahal jika kerukunan antar agama  harus ditukar dengan kepentingan politik sesaat.

Kita juga perlu membedakan antara Turki dengan Palestina. Pembelaan kita terhadap Palestina dan penolakan kita terhadap penjajahan Israel tidak berarti di negara lain kita dapat memaksakan kehendak kita. Soal keputusan Erdogan ini, kita hargai dan terima, sebagai umat Islam bahkan kita bersyukur. Namun kita berharap Erdogan bisa memberikan solusi agar hubungan antaragama tetap terjaga.