Tragedi dan Komodifikasi Konten Media Massa

MASIH segar di ingatan kita, kabar meninggalnya artis Vannesa Angel dan suami Febri Andriansyah yang tragis akibat kecelakaan tunggal di ruas Tol Jombang-Mojokerto pada awal bulan lalu. Publik dibuat heboh lantaran kabar tersebut datang tiba-tiba, hingga menjadi trending topik di media massa maupun media sosial.
Dalam beberapa saat, sorot mata media tertuju pada pemberitaan tentang Vannesa Angel, yang dikupas dari berbagai sudut liput, atau yang hanya numpang sensasi atas tragedi itu. Bahkan hingga saat tulisan ini dibuat, masih ada beberapa berita di media massa yang mengaitkan-ngaitkan dan menyebut nama Vanessa angel dalam kasus tertentu.
Salah satu yang menjadi polemik di awal-awal meninggalnya Vannesa adalah soal anaknya Gala Sky, yang selamat dari kecelakaan maut itu. Publik khawatir, akan ada orang-orang yang datang memberi empati kepada Gala, namun untuk keperluan konten media sosial. Kekhawatiran ini timbul akibat adanya fenomena serupa yang kerap dipertontonkan di media sosial, di mana mereka menjual 'kesedihan' demi konten.
Sebenarnya, tak hanya Gala yang dijadikan konten, namun secara umum kematian Vannesa Angel yang tragis itu juga telah dijadikan komoditas oleh pelaku media. Hal ini bisa dilihat dari pemberitaan-pemberitaan yang ada, di mana pelaku media kerap menulis berita yang sebenarnya tidak berkaitan secara langsung dengan peristiwa tersebut. Atau dalam hal ini, tragedi kecelakaan Vannesa Angel telah dikomodifikasi oleh pelaku media.
Mengacu pada Vincent Mosco dalam The Political Economy of Communication, komodifikasi merupakan pemanfaatan isi media dilihat dari kegunaanya sebagai komoditas yang dapat dipasarkan. Berbagai konten di media adalah komoditas atau barang yang dibeli dan dijual. Komodifikasi dapat meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan membuat produk atau jasa yang disukai oleh konsumen.
Konten-konten tersebut dikemas dan dibentuk sedemikian rupa sehingga disukai oleh konsumen. Hal yang menjadi ciri dari utama komodifikasi adalah adanya perubahan format yang menyesuaikan dengan keinginan konsumen. Dalam hal ini publik sebagai konsumen atau khalayak menjadi tujuan utama, atau bahkan satu-satunya.
Dalam kasus Vanesa Angel ini misalnya, media menjadikannya sebagai komoditas sehingga banyak pemberitaan yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan kabar artis FTV itu meninggal dunia. Misalnya salah satu media online yang menulis satu artikel berita berjudul 'Mengenal Asuransi Jiwa, Asuransi yang Disiapkan Vanessa Angel untuk Ayah dan Adiknya'.
Hal itu kita ketahui bahwa penulis memanfaatkan tragedi kecelakaan Vanessa Angel untuk meningkatkan traffic medianya. Karena di saat-saat itu pemberitaan terkait Vannesa Agel sedang ramai, sehingga penulis memanfaatkan momentum itu untuk mengerek traffic konten pemberitaan lain yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan kabar tersebut.
Selain itu, salah satu media online juga menulis berita berjudul 'Belum 40 Hari Vennesa Angel Meninggal Dunia, Dua Adiknya Terjun ke Dunia Musik'. Kasus ini juga sama sebagaimana berita di atas, di mana pelaku media memanfaatkan nama Vanessa Angel untuk membuat berita yang diangkat menjadi lebih menarik dan sensasional. Hal ini tidak lain untuk menarik atensi publik sebagai konsumen.
Lebih Mengedepankan Sensasi
Sayangnya, komodifikasi ini kerap lebih mengedepankan sensasi ketimbang kode etik dalam pemberitaan. Dalam kasus Vannesa Angel ini, beberapa berita terlihat telah mencampuri privasi keluarga mendiang, hingga terlalu mengekspos berlebihan sang anak Gala, yang bahkan masih belum mengerti apa yang sedang terjadi.
Hal itu menunjukkan bahwa konten media lebih mengedepankan traffic ketimbang empati dalam pemberitaan. Padahal dalam Kode Etik Jurnalistik sebagai bagian dari aturan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, disebutkan bahwa wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Seperti diketahui, kode etik jurnalistik tersebut berfungsi sebagai landasan moral dan etika agar seorang wartawan senantiasa melakukan tindakan tanggung jawab sosial. Landasan kode etik jurnalistik mengacu pada kepentingan publik. Sebab kebebasan pers yang ideal adalah kebebasan yang tidak mencederai kepentingan publik dan tidak melanggar hak asasi warga negara.
Namun, melihat adanya pelaku media yang kurang mengindahkan kode etik tersebut barangkali tidak lagi mengherankan, karena bisa jadi ini sebagai salah satu konsekuensi dari pasar bebas media. Di mana era media sebagai institusi bisnis memungkinkan apapun konten atau produk yang mereka buat tujuan utamanya adalah untuk keperluan bisnis dan keuntungan semata.
================
*Faisal Maarif, Mahasiswa Magister Universitas Muhammadiyah Jakarta.