Syeikh Al Azhar: Islam Moderat Dalam Konstelasi Politik Mesir

Syeikh Al Azhar Ahmad Toyyib adalah tokoh ulama moderat, yang berusaha menjadi fasilitator rekonsiliasi nasional di Mesir

Syeikh Al Azhar: Islam Moderat Dalam Konstelasi Politik Mesir
Syeikh Ahmad Toyyib

MONDAYREVIEW- Islam wasathiyah adalah konsep dasar Islam, sebagaimana disampaikan Grand Syeikh Al Azhar, Prof. Dr. Ahmad Toyyib dalam Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendikiawan Muslim Dunia di Istana Bogor. Acara yang dibuka oleh Presiden Jokowi pada Selasa lalu (1/5), dihadiri 100 peserta dari para ulama dan cendikiawan muslim dari dalam dan luar negeri.

Umat Islam adalah umat yang adil, karena jika umat islam tidak menempuh jalan tengah, maka akan berada dalam sikap ekstrimisme. “Inilah yang menyebabkan umat Islam lemah, perpecahan dan konflik antara sesama muslim,” ungkap Grand Syeikh Al Azhar ini.

KTT ini digelar karena ada gejala sebagian umat Islam sudah meninggalkan Islam wasathiyyah, yaitu umat yang penuh dengan toleransi, tidak terjebak ektremitas, mengambil jalan tengah, dan cenderung menyelesaikan masalah dengan musyawarah.

Umat islam yang moderat, bukan berarti tidak bersikap keras terhadap penindasan atau penjajahan, seperti yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Syeikh Ahmad Toyyib menolak undangan untuk bertemu dengan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Mike Pence yang berkunjung ke Mesir akhir tahun lalu, sebagai bentuk protes atas kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Isreal.

Al Azhar Mesir merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di dunia yang memiliki otoritas dalam berbagai fatwa keagamaan. Al Azhar dijadikan rujukan dalam Islam yang moderat karena di kampus ini perbedaan faham keagamaan dari berbagai mazhab Islam diberikan ruang untuk berkembang secara akademis.

Syeikh Ahmad Toyyib adalah sosok ulama yang berasal keluarga sunni yang menganut aliran sufi, kemudian menggantikan almarhum ayahnya sebagai pemimpin tarekat. Ia menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana hingga tingkat doktoral dalam bidang aqidah filsafat. Selain mendalami keilmuannya di Al Azhar, beliau pernah melanjutkan pendidikan S-3 ke Universitas Sorborne, Perancis.  Karena latar belakang sosial keagamaan dan pendidikan inilah, banyak mempengaruhi Syeikh Ahmad Toyyib memilih jalan Islam yang moderat.

Syeikh Ahmad Toyyib dilahirkan di Qina Mesir, pada tanggal 6 Januari 1946.  Beliau bermazhab Maliki dan termasuk sosok yang cemerlang dan cepat mencapai puncak karirnya di Al Azhar. Sebelumnya, ia pernah mengajar di Universitas Islam Antar Bangsa-Pakistan. Sepulang dari Pakistan tahun 2002, beliau didaulat sebagai mufti Mesir, dan diangkat sebagai Rektor Universitas Al Azhar.

Karir tertinggi beliau sebagai Syeikh Al Azhar diperolehnya untuk menggantikan Syeikh Muhammad Sayyid Thanthowi yang wafat. Beliau diangkat langsung oleh Presiden Husni Mubarok pada 19 Maret 2010. Syeikh Al Azhar diposisikan sejajar dengan Perdana Menteri.

Pada masa pemerintahan Mursi, Al Azhar mendapat otoritas yang lebih besar. Konstitusi baru yang kemudian disetujui rakyat melalui referendum meletakan Al Azhar dalam posisi strategis. Yaitu, segala undang-undang dan peraturan yang terkait dengan agama harus mendapat persetujuan dari Al Azhar.

Ketika terjadi banyak aksi demo menentang Presiden Mursi hingga terjadi kudeta yang dilakukan militer Mesir di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fatah Al Sisi, pada 3 Juli 2013, Syeikh Al Azhar Ahmad Toyyib termasuk yang bersikap netral dan tidak mau menentangnya, bahkan terkesan mendukungnya. Saat itu, militer Mesir membentuk komite independen, yang melibatkan berbagai macam unsur masyarakat untuk menyusun konstitusi baru Mesir, antara lain Syeikh Al Azhar Ahmad Toyyib, Pimpinan Gerja Koptik Mesir Baba Tawadrous II, dan tokoh oposisi Mesir Muhammad El-Baradei. 

Sebelumnya, hubungan Syeikh Ahmad Toyyib dan Mursi tidak terjalin harmonis. Syeikh Al Azhar ini pernah didemo para aktivitas Ikhwanul Muslimin dan mau digulingkan dari jabatannya. Namun, upaya ini mendapat banyak penolakan dan kecaman dari berbagai lintas kekuatan revolusi Mesir.

Ketika terjadi revolusi Mesir para 25 Januari 2011, yang berhasil menggulingkan rezim Husni Mubarak, Al Azhar berkali-kali menyerukan kepada rakyat Mesir untuk menahan diri, dan memerintahkan mahasiswanya untuk tidak terlibat demontrasi. Sebagaimana diyakini dalam doktrin Sunni, di bawah kekuasaan seorang pemimpin tiran adalah lebih baik daripada menempatkan negara dalam suasana chaos. Meskipun, pada akhirnya Al Azhar memberikan dukungan bagi transisi politik di Mesir.

Sikap sebagian besar ulama Mesir, termasuk Syeikh Al Azhar Ahmad Toyyib yang mendukung Jenderal Sissi ini dapat dipahami sebagai ijtihad politik, berdasarkan kaidah fikih Ahlussunnah wal Jamaah, “dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil masholih”, yang artinya, menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.

Gejolak politik di Mesir, yang penuh huru hara bisa menggiring pada perang saudara,  dikarenakan perpecahan internal dan dualisme kepemimpinan di tubuh militer Mesir. Keamanan negara tidak lagi terjamin, yang bisa berakibat Mesir menjadi Negara Gagal (Failed State). Perpecahan di Mesir yang lebih parah hanya bisa terhindarkan dengan cara kepemimpinan diambilalih secara penuh oleh militer.

Al Azhar berusaha netral dan memposisikan diri dalam percaturan politik di Mesir. Al Azhar bisa berdialog dengan kelompok oposisi ataupun kelompok pendukung pemerintah. Karena itu, Syeikh Ahmad Toyyib ingin menjadikan Al Azhar sebagai fasilitator rekonsiliasi nasional. Spirit inilah yang kini diserukan Syeikh Ahmad Toyyib bahwa Islam adalah agama yang moderat, tidak berada dalam ekstrimitas. Karena itu, umat islam harus memberi teladan bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Umat Islam di Indonesia, sudah lama terbiasa dengan kemajemukan, baik agama, suku maupun budaya. Umat Islam tumbuh dengan bimbingan para kyai dan ulamanya, baik yang tergabung dalam ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU atau yang menjadi pimpinan pesantren atau majelis ta’lim. Merekalah sesungguhnya yang bisa dijadikan teladan untuk menggiring umat kembali pada jalan moderat, yaitu umat yang wasathon.