Sultan Hamid II: Antara Pahlawan Atau Pengkhianat Bangsa
Sultan Hamid II dikenal sebagai perancang lambang negara Indonesia. Sejak tahun 2016, Yayasan Sultan Hamid II mengajukan Sultan Hamid II untuk mendapatkan gelar pahlawan. Namun sampai saat ini, pemerintah belum mengabulkan permohonan tersebut.

MONDAYREVIEW.COM – Bagi masyarakat Kalimantan Barat, Sultan Hamid II merupakan nama yang tidak asing di telinga. Sosok yang terlahir dengan nama Syarif Hamid Alkadrie merupakan Sultan ke-8 Pontianak. Dia juga sempat menjadi presiden Negara Kalimantan Barat pada 1946-1950 Republik Indonesia Serikat (RIS). Dia menikah dengan Didie van Delden seorang perempuan Belanda yang memberinya dua orang anak. Kedua anaknya tinggal di Belanda.
Sultan Hamid II dikenal sebagai perancang lambang negara Indonesia. Sejak tahun 2016, Yayasan Sultan Hamid II mengajukan Sultan Hamid II untuk mendapatkan gelar pahlawan. Namun sampai saat ini, pemerintah belum mengabulkan permohonan tersebut. Sebabnya masih terjadi polemik terkait kelayakan Sultan Hamid II untuk menjadi pahlawan nasional.
Sultan Hamid II disinyalir terlibat dalam pemberontakan yang didalangi oleh Raymond Westerling mantan Kapten KNIL di masa penjajahan. Dia membuat pasukan yang bernama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Sultan Hamid II dituding terlibat dalam upaya kudeta ini, juga dituduh ingin membunuh menteri pertahanan pada waktu itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Atas tuduhan tersebut, dia diadili kemudian mendapatkan vonis 10 tahun penjara.
Menurut Anshari Dimyati, Ketua Yayasan Sultan Hamid II, Sultan Hamid II tidak bersalah dalam peristiwa kudeta itu. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitiannya di Universitas Indonesia untuk meriah gelar magister. Anshari menyatakan bahwa pengadilan tidak dapat membuktikan tuduhan kepada Sultan Hamid atas peristiwa yang terjadi pada tahu 1950 tersebut. Menurutnya pengadilan sangat mudah dipengaruhi kondisi politik pada waktu itu. Hal ini dikuatkan dengan opini publik dan pernyataan media massa pada waktu itu yang menyalahkan Sultan Hamid II.
Menurut Sutarmidji Gubernur Kalimantan Barat, walaupun belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah pusat, namun Sultan Hamid II sudah menjadi pahlawan di hati rakyat Kalimantan Barat. Sutarmidji juga mengaku saat menjadi anggota DPRD Kota Pontianak, tahun 2000 dia mengubah Jalan Perintis Kemerdekaan menjadi Jalan Sultan Hamid II. Menurut Sutarmidji penolakan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional adalah tendensius. Terlebih Sultan Hamid II berperan dalam Konferensi Meja Bundar yang menetapkan kedaulatan negara.
Sementara itu, sejarawan Anhar Gonggong menilai Sultan Hamid II terlibat dalam pembunuhan keluarga besarnya di Sulawesi. Anhar juga menyebutkan bahwa Sultan Hamid Ke-Belanda-belandaan. Atas alasan itu Sultan Hamid tidak pantas mendapat gelar pahlawan. Sultan Hamid juga menurut Anhar tidak punya rasa patriotis, alasannya saat bangsa Indonesia tengah mempertahankan kemerdekaan, Sultan Hamid II malah menjadi ajudan Ratu Belanda.
Menurut Dian Alkadrie, tuduhan Anhar tersebut sangat subjektif. Anhar tidak seharusnya membawa-bawa persoalan seputar keluarga besar ke dalam diskusi ilmiah. Menurut Nur Iskandar, apa yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II berangkat dari pemahaman parsial terhadap beliau. Misalnya soal Sultan Hamid II menjadi anggota KNIL, bukankah dahulu Soeharto dan Sudirman juga pernah menjadi tentara KNIL? Nur juga menyatakan bahwa kedekatan Sultan Hamid II dengan Ratu Belanda dimanfaatkan untuk melakukan diplomasi kedaulatan negara Indonesia.
Pernyataan cukup keras tentang Sultan Hamid II dikeluarkan oleh AM. Hendripriyono. Mantan Kepala BIN ini dalam video di channel agama akal TV dengan tanpa ragu menyebut Sultan Hamid II sebagai pengkhianat. Hendropriyono menyatakan dia berhubungan baik dengan anak Sultan Hamid II, namun soal fakta sejarah dia mengaku akan jujur dan tegas.
Menanggapi pernyataan Hendropriyono tersebut, pihak Kesultanan Pontianak melaporkan AM Hendropriyono ke Polda Kalimantan Barat. Laporan sudah diterima Polda Kalbar dan akan dilakukan penyelidikan. Menurut pelapor, Hendropriyono dilaporkan karena melanggar UU ITE. Tentu saja Hendropriyono mengeluarkan pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Walaupun menurut keluarga Sultan Hamid II, pernyataan tersebut sangat menyakiti dan tidak sesuai fakta.
Polemik yang terjadi soal Sultan Hamid II tidak boleh dibiarkan berlarut-larut apalagi menjadi api dalam sekam. Perlu kedewasaan semua pihak untuk berkumpul bersama untuk bersama-sama mengkaji fakta sejarah dengan kaidah ilmiah. Perlu ada solusi yang diterima semua pihak agar ke depan polemik tidak terus menerus berulang.