Menolak Jadi Pedagang, Memilih jadi Ulama
Sekeras dan sevulgar apa pun rivalitas keduanya, yang mesti diingat adalah bahwa perseteruan dan rivalitas tersebut sarat muatan estetika.

MULAI 23 September 2018, hingga April 2019, pasangan capres dan cawapres yang berasal dari dua kubu dijadwalkan akan memulai masa kampanye. Namun dari catatan visual, analis media, monograf, pengakuan, riset, survei serta pengamatan yang telah ada, dapat dilihat bila rivalitas keduanya sudah mulai terasa vulgar bahkan sebelum tahapan kampanye dimulai.
Berbagai predikat, istilah, dan kosakata pun kian disematkan ketika kampanye pilpres 2019 ini dimulai. Perang David versus Gholiat, seniman versus arsitek, tentara lawan pedagang, ulama versus ubaru, kemegahan versus kesederhanaan.
Yang paling menggelitik, adalah munculnya istilah revitalitas ulama versus bukan ulama, dan pedagang versus bukan pengusaha. Rivalitas politik yang menyajikan sajian epitome demokrasi yang penuh dengan drama perseteruan ini pun semakin bernada vulgar.
Sekeras dan sevulgar apa pun rivalitas keduanya, yang mesti diingat adalah bahwa perseteruan dan rivalitas tersebut sarat muatan estetika. Karena itu, berhati-hatilah bersuara dan memamah biak kosakata dan istilah di ruang publik.
Kenapa begitu? Karena, pertama: di era digital, autentisitas kesementaraan (dimensi waktu) dan mediasi telah disingkirkan dengan adanya rekonstruksi karya seni.
Penghancuran autentisitasnya telah membuat seni bersifat afirmatif atas realitas yang sedang berlangsung. Dipenuhi dengan unsur instan, yang terungkap dalam tayangan televisi, media online, dan media sosial. Kulminasinya, membuat keindahan diekspresikan secara vulgar. Kosakata atau istilah apapun yang muncul, akan dihubungkan secara cepat dengan realitas yang ada.
Kedua, meminjam istilahnya Greg Soetomo, bahwa rivalitas yang dipertontonkan kedua pihak menjadi misterius dan tak mudah dipahami. Menyajikan panorama kebudayan terutama estetika yang berbeda, terkadang memunculkan sensasi emosional, juga decak kagum para penonton.
Di satu kubu, sang penantang menempatkan dirinya sebagai pengkritik utama kebudayaan industrial, dengan slogan ‘2019GantiPresiden”. Seolah menggambarkan keinginannya untuk memunculkan kembali sense of the vital for radical change.
Sayang, kubu ini terlalu berkutat di persoalan itu-itu saja. Ulama bukan ulama, dan pedagang bukan pedagang. Padahal, istilah-istilah itu sebetulnya sudah melekat pada seseorang, diakui atau tidak diakui. Tanpa bisa dipaksakan. Kesan yang ditangkap adalah ‘Menolak disebut pedagang, namun menerima disebut Ulama.
Di kubu lain, sang petahana menempatkan dirinya di sebelah tengah dengan hastag #2019TetapJokowi. Berusaha untuk menempati kekosongan dalam ruang autentisitas estetis. Dimana selain fungsi, karya seni juga diharapkan akan membawa kepada kesadaran yang alamiah, dengan segenap auranya.
Seperti apa pun rivalitas yang terbangun. Satu hal bahwa jangan sampai kita terlalu terpukau dengan gaya artistic Cartesian yang terlampau mekanistis, dan lebih melihat ekonomi dan politik sebagai substratum (basis) esensial untuk kemajuan sejarah. Sehingga langkah yang diambil adalah dengan berkreasi secara mekanistik pula; BLT, gaji ke-13 dan seperangkat aturan birokrasi lama lainnya jangan dijadikan senjata andalan. Kosakata dan istilah revitalisasi SMK, pemberdayaan ummat dan revolusi industri sebetulnya terasa lebih realistis dan dapat diterima arus bawah maupun elite.
Kubu penantang ada baiknya beralih ke gaya realisnya Lukacs. Tidak usahlah memainkan seni peran yang terlalu radikal, mengingat resiko yang akan kita hadapi. Baiknya, ikutlah bermain dalam panggung kebudayaan industrial, meski tetap bisa menjaga gaya realisnya untuk menumbuhkan kesadaran arus bawah.
Karena pada akhirnya, pihak yang sukses meraih standing applause terlama dalam panggung kebudayaan ini adalah pihak yang memang berperan secara lebih ekspresif, penuh imajinasi dan tentu saja memberikan aura keindahan dan kegembiraan.
Karena bagaimana pun, para penonton panggung sandiwara kebudayaan di negeri ini memiliki harapan untuk kembali menyaksikan penampilan para seniman yang authentic dan mampu memberikan riak gelombang kejut keindahan hingga ke palung terdalam imajinasinya.
Berlagalah seperti Soekarno-Hatta, para penganut estetika autentik, yang frekuensi estetisnya mampu menerobos batasan geografis negara dan budaya. Menembus relung hati dan imajinasi terdalam, melahirkan sanjungan dan decak kagum luar biasa, bukan hanya dari publik nasional, namun juga internasional. [ ]