Smart City dan Pentingnya Pendidikan Vokasi

Presiden Joko Widodo mengatakan kota pintar atau smart cities tidak bisa terpaku pada penggunaan teknologi semata.

Smart City dan Pentingnya Pendidikan Vokasi
Presiden Jokowi berfoto bersama dalam pembukaan KTT ke-32 ASEAN di Island Ballroom, Hotel Shangri-La, Singapura, Sabtu (28/4). (Foto: BPMI)

MONDAYREVIEW.COM - Dalam pidatonya di Rapat Pleno Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-32 ASEAN, di The Istana Singapura, Presiden Joko Widodo mengatakan kota pintar atau smart cities tidak bisa terpaku pada penggunaan teknologi semata. Namun Kota Pintar, kata Jokowi, harus bisa mengubah pola pikir masyarakat menjadi lebih baik.

“Yang lebih penting adalah bagaimana kita dapat membangun pola pikir, sikap, dan karakter masyarakat yang lebih baik,” ujar Jokowi dalam keterangan resmi Sekretariat Presiden, Sabtu, 28 April 2018.

Jokowi mengatakan Indonesia saat ini sedang mengembangkan Gerakan menuju 100 Smart Cities yang mendorong penggunaan teknologi untuk memajukan kota guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih efektif, transparan dan terpercaya. Di atas segalanya, tentu ada kearifan lokal yang mesti dijaga dan dikembangkan potensinya.

Itulah kenapa, Jokowi dalam beberapa kesempatan juga menyinggung tentang agenda kedua pembangunan besar di kabinetnya. Menurut Jokowi, pembangunan sumber daya manusialah yang akan menjadi langkah besar kedua pemerintahannya setelah langkah besar pertama, yaitu pembangunan infrastruktur.

Sehingga bila saat ini ada suara-suara miring tentang pembangunan infrastruktur yang dilakukan Jokowi, lebih karena ketidaktahuannya tentang agenda besar pembangunan secara komprehensif. Soal pembangunan beberapa bandara misalnya, Jokowi disebut melakukan kekeliruan mendasar.

Bandara Miangas misalnya, yang sebetulnya dimaksudkan dalam rencana 'Gerakan Menuju 100 Smart Cities' tersebut disebut hanya didarati burung-burung. Padahal, Jokowi memiliki rencana besar di balik pembangunan infrastruktur yang dilaksanakannya di beberapa daerah.

Selain itu, mengembangkan kota pintar juga tak mesti hanya dengan menerapkan konsep mix used development maupun mantra lainnya dalam konsep smart city. Kota pintar, bisa juga dilakukan dengan tetap menjaga kearifan lokalnya.

Tradisi lokal seperti dimiliki Suku Dayak di Kalimantan, Suku Asmat di Papua, atau pun Baduy di ujung barat Pulau Jawa, yang juga memiliki pandangan hidup tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam, tak mesti ditiadakan. Sebaliknya mesti dipertahankan dan dikembangkan. Kesadaran psikis yang bila dipegang secara holistik akan meniscayakan peralihan dari konsumsi materi ke kesederhanaan secara sukarela, dari pertumbuhan ekonomi dan teknologi ke pertumbuhan dan perkembangan bathini. Yang tercipta pada akhirnya adalah keseimbangan pembangunan, yang selain fisik juga non fisik.

Itulah kenapa Jokowi juga menekankan pentingnya Pembangunan SDM. Yang salah satunya menekankan pada upaya peningkatan akses dan kualitas pendidikan vokasi. “Terutama berkaitan dengan pendidikan di pondok pesantren, juga berkaitan dengan tenaga-tenaga kerja kita yang juga perlu kita upgrade dan pendidikan-pendidikan vokasional yang ada di SMK-SMK yang memerlukan sarana prasarana dan perubahan-perubahan mendasar bagi cara-cara pendidikan di lapangannya,” ujar dia.

Kulminasinya, upaya tersebut difokuskan untuk mendorong terjadinya link and match antara industri dengan pelajar pendidikan vokasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mencetak sumber daya yang siap berkompetensi di industri.

“Karena peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat menentukan sekali dalam kita berkompetisi, bersaing dengan negara-negara lain,” ujar Jokowi.

Jika sudah begitu, tinggal kemudian mengarahkan pembangunan agar tidak menggerus kearifan lokal yang ada. Pembangunan Bandara Kertajati misalnya, harus dipastikan bahwa pembangunan tersebut dilakukan tanpa menyentuh sedikitpun tanah persawahan yang disebut-sebut paling subur dan produktif tak hanya di Indonesia, bahkan dunia.

Dalam konteks revitalisasi pendidikan vokasi, maka SMK-SMK yang layak untuk dikembankan di sana tentu saja adalah SMK agro bisnis, pariwisata dan perhotelan. Produktivitas pertanian dan keberadaan bandara, adalah menjadi pertimbangan utama.

Pun demikian dengan pembangunan Jembatan Holtekamp di Jayapura. Sebelum melakukan pembangunan, penting diketahui terkait karakteristik wilayah tersebut. Jayapura dalam hal ini merupakan salah satu kota yang masuk dalam wilayah adat Mamta.

Salah satu ciri yang membedakan wilayah adat Mamta dengan wilayah adat yang lain yaitu pada sistem politik tradisional mereka seperti pada sistem kepemimpinan tradisional mereka yang mengenal sistem Ondoafi, walaupun beberapa suku yang terlihat hanya pada penggunaan sebutan saja namun pada prakteknya yang terlihat adalah tipe bigman seperti mereka yang ada dalam suku besar Oktim.

Komunikasi yang intensif dengan demikian penting untuk dibangun, tidak hanya dengan pemerintah daerah, namun juga dengan kepala-kepala suku di wilayah adat Mamta tersebut. Dalam konteks pendidikan vokasi, karena Holtekamp akan membuka akses ke wilayah dataran rendah nan luas, maka prosfeknya adalah dengan mengembangkan SMK-SMK pertanian dan agrobisnis. Supaya kelak Jayapura juga bisa menjadi lumbung pangan papua.

Demikianlah semestinya, kerangka filosofis, spiritual, dan teknis dijalin menjadi sebuah kesatuan. Tak lain supaya smart city, kota impian, atau apa pun namanya tak sekadar menjadi puing-puing peradaban, namun lebih dari itu menjadi bukti atau artefak kemajuan bangsa Indonesia.

[Mrf]