Jokowi dan Tafsir Politik

Jokowi dan Tafsir Politik

“Kepentingan politik seiring sejalan dengan keinginan individu dan kelompok. Yang menjadi soal, keinginan tersebut hanya berpusat pada hal-ihwal jabatan.”

Berawal dari liputan Majalah TEMPO yang menuding permainan bisnis PCR. Tudingan tersebut dilatari hubungan PT. GSI dengan Erick Thohir dan Luhut Binsar Panjaitan. Sebagai upaya jurnalisme liputan tersebut menjadi alarm dalam penanganan pandemi.

Dalam liputan TEMPO, Erick Thohir dan Luhut Binsar Panjaitan dihardik pemberitaan, bahwa seolah-olah kedua anggota kabinet Jokowi sudah melakukan satu bentuk kejahatan kemanusiaan. Tidak kurang keji, akumulasi tuduhan tersebut juga menghasut publik demi mempertebal kebencian terhadap Presiden Jokowi. Bahkan, hasutan tersebut mengarahkan pemberitaan bahwa kedua orang yang sedang dihardik itu layak “dihukum mati”. Dengan segudang basa-basi, narasi tersebut juga dibakar dari dalam. Dari lingkungan kabinet itu sendiri.

Oposisi Tandus Narasi

Oposisi sebagai elemen penting dalam demokrasi, adalah kekuatan yang harus dihormati. Keberadaan oposisi semestinya berperan sebagai koreksi atas penyelenggaraan demokrasi. Sebagai seorang evaluator, oposisi dituntut perlu memiliki reputasi dan literasi yang tinggi. Tanpa itu, oposisi hanya segerombolan tubuh yang berkumpul tanpa tujuan.

Rendahnya literasi dan diperburuk dengan minus reputasi, membuat oposisi sama sekali tidak punya arti. Oposisi pemerintah telah bertransformasi menjadi kandang politik spekulasi dan ternak agenda persekusi. Dua-duanya dibakar di atas bensin berlabel “kebencian”.

Tuduhan Majalah TEMPO menjadi energi baru untuk terus melakukan delegitimasi terhadap pemerintah. Meski yang sangat disayangkan tuduhan Majalah TEMPO tidak menyajikan satu data dan fakta yang bisa kita pahami sebagai sebuah temuan. Semua narasi dan opini dibangun berdasarkan sentimen dan prejudis.

Padahal, jika Majalah TEMPO betul melakukan kaidah jurnalistik, tentu TEMPO tidak perlu habis-habisan upaya-daya mengarahkan pemberitaan (framing) hanya untuk mencoreng Luhut Binsar Panjaitan dan Erick Thohir? Ada titipan siapa?

Agar liputan tersebut tidak impoten, tentu publik juga berkepentingan mendapatkan informasi dan liputan utuh terkait persoalan PCR. Ada puluhan juta proses pengadaan PCR yang sama sekali tidak disajikan Majalah TEMPO. Tentu kita sebagai publik tak berdaya untuk meminta TEMPO berlaku adil dalam jurnalisme publik.

Apa lacur, narasi sudah jadi bubur. Barang TEMPO sudah terlanjur diedarkan dan dipake secara masif semata-mata demi mewujudkan kesenangan ekstase politik, yang mana kebencian adalah klimaks. Lagi-lagi, Majalah TEMPO selalu bersolek dibalik gincu eufimisme etika politik. 

Tafsir Politik Jokowi

Sekelompok pendukung Presiden Jokowi berkumpul dan bersikap berdasarkan tafsir politik Presiden yang mereka maknai. Tafsir politik tersebut dimaknai sebagai sikap politik yang sejalan dengan liputan Majalah TEMPO. Sekelompok pendukung Jokowi mendorong lepas jabatan para menteri yang terlibat bisnis PCR dan mempersiapkan diri untuk 2024. 

Meski tidak menyebut nama dan jabatan kementerian namun publik dan Presiden Jokowi sangat jelas menangkap sikap politik sebagian organ pendukung Presiden Jokowi. Segelintir organ tersebut sedang melakukan serangan politik, terhadap tiga nama, anggota kabinet Jokowi. Luhut Binsar Panjaitan, Airlangga Hartarto dan Erick Thohir. Karena ketiga nama tersebut yang dijadikan objek persekusi wacana oleh liputan Majalah TEMPO sebelumnya. 

Segelintir organ pendukung Presiden Jokowi menafsirkan sikap Presiden Jokowi yang tidak lagi nyaman bekerja dalam satu ekosistem kabinet bersama dengan ketiga nama tersebut. Yakni, Luhut Binsar Panjaitan, Airlangga Hartarto dan Erick Thohir. Tentu sebagai sebuah sikap kita harus hargai. Meski namun, serangan politik begitu masif dan afirmatif ditargetkan kepada Menteri Erick Thohir. 

Barangkali karena Erick Thohir dinilai tidak memiliki dukungan partai politik sebagaimana dua nama sebelumnya. Maka segelintir kelompok itu secara giat dan rinci melakukan serangan politik kepada Erick Thohir berbasis rencana, terstruktur, dan masif. Namun di sisi yang lain, gerakan tersebut juga membangun konsensual kepentingan antara Erick Thohir dan dirinya masing-masing.

Dengan melihat fenomena secara holistik dan objektif, maka kita boleh menarik beberapa kesimpulan dalam mengartikan ketegangan politik sementara ini. Dan mari kita pahami secara seksama.

Presiden Jokowi sebagai sosok pemimpin negara dan individu selalu berupaya dalam menjaga iklim demokrasi. Sikap Presiden Jokowi yang engan bahkan menolak untuk maju tiga periode adalah salah satu bukti nyata bahwa sosok Jokowi dalam kapasitas memastikan jalannya demokrasi Indonesia.

Sikap Presiden Jokowi yang seperti ini perlu betul-betul dipahami oleh juru tafsir pendukung Jokowi. Jika Presiden Jokowi menolak agenda tiga periode, maka Presiden Jokowi juga tidak akan membatasi harapan dan cita-cita anggota kabinetnya untuk maju di 2024.

Bahkan nampaknya Presiden Jokowi berusaha mengapresiasi para anggota kabinetnya. Tentu mengapresiasi pada batas kewajaran dalam koridor prestasi kementerian. Dan jika presiden mengapresiasi akibat dari kinerja Menteri yang baik, di mana salahnya?

Kita juga perlu paham dan mengerti, bahwa cita-cita menjadi pemimpin nasional bukanlah hal yang salah. Hak politik seseorang untuk menjadi presiden dilindungi oleh konstitusi. Sama sekali tidak ada yang salah dengan agenda tersebut.

Banyak nama-nama Menteri berprestasi yang bahkan jika dilihat dari ukuran popularitas punya peluang besar dalam pencapresan kedepan. Ada Prabowo Subianto dengan dukungan Partai Gerindra serta terobosan pertahan nasional selama pandemi. Ada Sandiaga Uno yang sangat digandrungi kaum ibu dan anak muda sebagai menteri Parekraf. Ada Airlangga Hartarto yang didukung Golkar dan sukses dalam melaksanakan Omnibus Law Cipta Kerja. Bahkan ada sosok Moeldoko seorang Kepala Staf Presiden yang selalu menopang tugas strategis Presiden. 

Dari semua nama-nama hebat dan berpengaruh, bahkan memiliki dukungan Partai Politik cukup kuat. Kenapa segelintir organ tersebut hanya berfokus kepada Erick Thohir yang bekerja atas karena profesionalisme. Bahkan sama sekali tidak mendapatkan dukungan kuat dari partai politik. Apakah gerakan-gerakan tersebut direncanakan semata-mata untuk menjegal dan bahkan menjerumuskan semua kinerja Erick Thohir? Jika itu yang dijadikan motif dari serangan politik tersebut, maka sejatinya ini menjadi alarm kita bersama. 

Maka menjadi wajar dan masuk akal, jika Presiden Jokowi semakin intens dalam pendelegasian tugas besar kepada Menteri Erick Thohir. Sekalipun serangan politik kepada Erick Thohir semakin tajam dan terbuka dari segelintir pendukung Jokowi. Dan atau, serangan yang terjadi adalah satu pola tawar-menawar kekuasaan kepada Presiden Jokowi di tengah isu perombakan kabinet yang belum kunjung tiba?