Sinergi Membangun Rantai Pasok Hortikultura

Sinergi Membangun Rantai Pasok Hortikultura
Mentan Syahrul Yasin Limpo. Kementan diharapkan mampu bangun sinergi Membangun Rantai Pasok Hortikultura/ kementan

MONITORDAY.COM - Di satu sisi Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan komoditas hortikultura terutama buah-buahan. Di sisi lain jumlah penduduk dan kebutuhan pasar kita juga sangat besar. Permintaan pasar akan buah tak mampu dicukupi oleh petani atau produsen lokal hingga kita harus mengimpor buah mencapai Rp21 T pada tahun 2019. 

Tingginya ketergantungan akan buah impor, dipicu oleh rendahnya produksi buah lokal yang diakibatkan oleh enam faktor. Hal tersebut terkait dengan standar kualitas, luas hamparan, biaya logistik, alih fungsi lahan, dan perubahan iklim. Kendala-kendala tersebut tentu menjadi tantangan dari pemangku kepentingan terkait untuk segera diatasi.  

Pertama, banyak lahan produsen buah yang tersebar namun belum memenuhi GAP (good agricultural practices). Akibatnya kualitas buah lokal menjadi tidak seragam. Pemerintah dan swasta harus bergerak bersama. Termasuk dari kalangan akademik dan lembaga riset. Teknologi pengolahan pangan modern telah mampu diterapkan di berbagai negara dan menjadi kunci dalam daya saing mereka. 

Kedua, kurangnya hamparan yang luas mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan. Meski demikian banyak lahan tak produktif yang dapat diolah dengan berbagai skema kerjasama. Misalnya lahan tidur atau idle yang dikuasai oleh swasta dan belum dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. 

Ketiga, biaya logistik yang terlampau tinggi. Sehingga harga jual buah lokal menjadi kurang berdaya saing dan sulit terserap. Terkadang biaya logistik di dalam negeri bahkan lebih mahal dibanding biaya ekspor-impor. Secara umum Indonesia memang masih belum mampu menekan biaya logistik yang masih berada di angka 23,5 persen dari Product Domestic Bruto (PDB).  

Keempat, laju alih fungsi lahan yang cepat. Alih fungsi lahan menjadi kian tak terkendali, di mana mengancam produksi hasil pertanian dan perkebunan. Pemerintah harus mampu mengendalikan alih fungsi lahan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan ekologi. Perencanaan pertanian yang berkelanjutan harus dilakukan dengan ketat dan cermat. Jangan sampai hutan habis menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Sementara lahan pertanian beralih fungsi menjadi perumahan dan properti lainnya.    

Terakhir, perubahan iklim dan berkurangnya pasokan air. Kita masih jauh dari konsep 4.0, maka akan sulit untuk mengantisipasi masalah ini. Kendala ini juga diatasi dengan berbagai teknologi pertanian modern. 

Peluang ekspor komoditas hortikultura juga terbuka lebar. Indonesia telah merintis kerjasama dengan Uzbekistan sebagai pintu masuk ekspor ke negara-negara Asia Tengah.  Di kala pandemi kebutuhan akan buah san sayur meningkat tajam meski rantai pasok terganggu oleh berbagai pembatasan. 

Edukasi tentang hortikultura sangat penting bagi publik agar menjadi produsen dan konsumen yang cerdas. Dari situs wikipedia dijelaskan bahwa hortikultura (horticulture) berasal dari bahasa Latin hortus (tanaman kebun) dan cultura/colere (budidaya), dan dapat diartikan sebagai budidaya tanaman kebun. Kemudian hortikultura digunakan secara lebih luas bukan hanya untuk budidaya di kebun. Istilah hortikultura digunakan pada jenis tanaman yang dibudidayakan. 

Hortikultura memfokuskan pada budidaya tanaman buah (pomologi/frutikultur), tanaman bunga (florikultura), tanaman sayuran (olerikultura), tanaman obat-obatan (biofarmaka), dan taman (lansekap). Salah satu ciri khas produk hortikultura adalah perisabel atau mudah rusak karena segar.

Untuk membenahi rantai pasokan hortikultura Pemerintah perlu memetakan potensi utama yang menjadi andalan dalam suatu kawasan pertanian. Secara umum potensi besar produk hortikultura yang dimiliki suatu wilayah ini belum terkelola secara sistematis dan terpadu. 

Kedua adalah melakukan analisis terhadap peran pelaku dalam rantai pasokan. Beberapa hal yang sering ditemukan adalah masih terdapat kesenjangan dalam distribusi keuntungan diantara pelaku rantai pasokan dimana petani menjadi pihak yang paling lemah dan memiliki pengorbanan yang tinggi dibanding dengan pelaku lainnya.

Dalam merencanakan tanam, petani perlu mengetahui kebutuhan pasar serta bermitra dengan offtaker, sehingga petani tidak khawatir akan terjadinya penurunan harga karena telah memiliki pasar yang jelas.

Perlu diperhatikan masalah pendampingan intensif kepada petani, khususnya penerapan teknologi yang dapat mendukung agribisnis terpadu dan modern, serta skema kemitraan yang merupakan strategi pengelolaan agribisnis yang lebih baik.

Kini berbagai sinergi dan kolaborasi antar pihak tengah ditempuh. Salah satunya diinisiasi oleh PT Cipta Agri Pratama (CAP). Komoditas yang dihasilkan adalah pisang kirana, pisang cavendish, pisang barangan, lemon california, jeruk dekopon, jeruk gerga, jeruk siam, jeruk chokun dan manggis. 

Memulai usahanya pada 2016 Perusahaan ini telah melakukan kemitraan pada lahan produksi seluas lebih dari 500 hektare (ha) yang tersebar di Bandung, Purwakarta, Cianjur, Cipanas dan Probolinggo, serta dalam persiapan pemanfaatan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seluas 1.300 ha di Jatiluhur.

Di sisi hilir terlah terbangun kerjasama dengan perusahaan offtaker yang akan menampung hasil para petani yaitu PT Laris Manis Utama (LMU) dan PT Sewu Segar Nusantara (SSN). Hasil panen dipasok ke beberapa pasar modern dan jaringan supermarket di Indonesia seperti Ranch market, Transmart, Total Buah Segar, Tanihub, Sayurbox, Superindo, Farmers Market, Rezeki, Maxim, dan Lottemart. Dari gerai-gerai ritel itu buah-buahan akan sampai di meja konsumen end-user.