Serangan Siber dan Pemilu

AS dan Eropa meradang karena serangan siber yang diduga didalangi Rusia.

Serangan Siber dan Pemilu
(c) hackmageddon.com

Mungkinkah Pemilu di Indonesia mendapat hantaman dan pengaruh dari serangan siber dari kekuatan-kekuatan asing yang memiliki kepentingan terhadap Indonesia? Sangat mungkin. AS saja terbukti tidak mampu membendung serangan siber yang didiga di dalangi pihak terkait intelijen Rusia.

Kalau di masa Perang Dingin sangat kental aroma perseteruan CIA dan KGB, demikian pula kini. Serangan siber Rusia yang diduga mempengaruhi hasil pemilu dan arah politik AS sangat mengejutkan dunia. Serangan itu diduga tidak hanya menyasar AS, seluruh Eropa juga mengalami serangan maut Rusia di dunia siber. Termasuk di dalamnya serangan terhadap Ukraina.

Laman situs business.f-secure.com merilis infografis yang memperlihatkan peringkat serangan Rusia ke AS ada di posisi puncak. Di susul serangan siber yang menyerang Jerman dari dalam negerinya sendiri dan serangan saiber dari Inggris yang menyasa Jerman.

Belum lama ini, Inggris sebagaimana dilansir sejumlah media menengarai kegiatan intelijen Rusia itu. Menteri pertahanan Inggris, Gavin Williamson menuduh pemerintah Rusia melakukan serangan siber yang menargetkan Ukraina dan menyebarkan ke seluruh Eropa tahun lalu. Ukraina jatuh dalam perang melawan separatis Rusia semenjak Semenanjung Krimea diduduki Rusia.

Pemerintah Inggris mengambil langkah yang tak lazim dengan menuduh Moskow secara terbuka atas serangan ransomware NotPetya pada Juni lalu, yang terutama menargetkan sektor keuangan, energi dan pemerintah Ukraina. Pemerintah Inggris menilai bahwa pemerintah Rusia, khususnya militer Rusia, bertanggung jawab atas serangan siber NotPetya yang merusak pada Juni 2017.  Kerugian ditaksir mencapai USD 1,2 Milyar.

Coats kecewa dengan langkah Jerman, "negara yang paling mampu memberikan kekuatan dan sumber daya untuk NATO,". Jerman tidak memberikan kontribusi sebanyak yang diinginkan AS. Walau demikian negara-negara anggota lainnya telah meningkatkan keseriusannya untuk memerangi Rusia dan memberikan " koordinasi dan integrasi intelijen signifikan yang belum dimiliki NATO sebelumnya. "

Jerman dinilai kurang proaktif dalam menangani serangan ini melalui sinergi dengan kekuatan NATO lainnya. Sejauh ini pemerintah Jerman bungkam tentang rincian serangan tersebut. Kementerian dalam negeri telah memastikan bahwa peretas berhasil mengakses sistem komputer pemerintah yang aman selama lebih dari setahun, namun belum ada kabar resmi mengenai informasi apa yang disusupi atau identitas mereka yang bertanggung jawab.

Telah dilaporkan secara luas di media Jerman bahwa pejabat keamanan yakin bahwa serangan tersebut ldilakukan oleh Fancy Bear, kelompok hacker Rusia diduga memiliki hubungan dengan dinas intelijen Vladimir Putin.

DI Amerika Serikat, terjadi diskusi yang panas terkait isu keterlibatan inteleijen Rusia dalam serangan siber ini Keterangan Direktur Intelijen Nasional, Dan Coats, yang melukiskan  gambaran yang mengejutkan tentang ancaman siber yang segera terjadi yang dilakukan Rusia ke AS. Keterangan itu diberikan oleh Coats di depan Komite Militer Senat AS. Dia menegaskan kumungkinan Rusia yang akan terus meningkatkan serangannya dengan lebih agresi lagi. Serangan itu ditujukan untuk melemahkan nilai-nilai demokratik Amerika dan menggembosi kekuatan aliansi yang dibangun AS.

Komunitas intelijen AS menyimpulkan tahun lalu bahwa, Rusia melakukan tindakan kriminal siber paling terang-terangan melawan Barat. Rusia melakukan sebuah kampanye yang kompleks dan multi-faceted untuk mengganggu pemilihan tahun 2016 AS. Tujuannya jelas, memenagkan Donald Trump yang dianggap lebih menguntungkan bagi Putin dan rezim yang berkuasa di Rusia.

Selain menjalin kontak dengan beberapa pembantu kampanye Trump, aktor yang terkait dengan Rusia juga menyusup ke Komite Nasional Demokrat dan menyebarkan materi curian untuk menyerang  kandidat Demokrat Hillary Clinton. Hasilnya tyerbukti efektif, Hillary kalah secara mengejutkan.

Hal tersebut dilakukan sebuah media sosial yang mempengaruhi kampanye untuk menabur perselisihan dan menyebarkan disinformasi. Produksi hoaks dan ujaran kebencian dilakukan dengan sistematis dan diduga dilakukan dari sebuah negara kecil yang tersembunyi dari keriuhan pemberitaan.

Rusia melanjutkan agresi militer dan sibernya ke negara-negara seperti negara tetangga Ukraina, yang telah digunakan sebagai "tempat uji coba" cyberweapon sejak setidaknya 2015.

Rusia juga dianggap berada di balik serangan siber "NotPetya" yang dilakukan dengan besar-besaran dan berhasil melumpuhkan negara dan organisasi di seluruh dunia bulan Juni yang lalu, perebutan Olimpiade Musim Dingin 2018, dan percobaan infiltrasi pemilihan umum di seluruh Eropa dalam beberapa tahun terakhir.

Administrasi Trump sejauh ini lamban untuk secara terbuka membahas agresi Rusia yang sedang berlangsung. Setelah berulang kali meragukan penilaian bahwa Rusia ikut campur dalam pemilihan, Trump telah mengakui campur tangan, namun membantah telah melakukannya dalam upaya untuk membantu kampanyenya.

Sementara itu, direktur FBI Christopher Wray mengatakan pada bulan Januari bahwa Trump belum "secara khusus mengarahkan" dia atau biro untuk melawan kegiatan Rusia. Pekan lalu, Direktur Badan Keamanan Nasional Adm Mike Rogers mengatakan kepada Kongres bahwa Trump tidak memberinya wewenang untuk memerangi upaya hacking pemilihan umum.

Rogers menambahkan bahwa AS telah "tidak memilih untuk terlibat dalam beberapa perilaku yang sama seperti yang kita lihat" sehubungan dengan Rusia, dan bahwa tanggapan AS "tidak mengubah pemikiran atau perilaku atas orang Rusia."

Komentar kepala intelijen tersebut menunjukkan perbedaan yang meluas antara komunitas intelijen AS dan Gedung Putih ketika harus menilai urgensi ancaman serangan siber Rusia.