Serangan Balik Jokowi
Perang tagar mulai meramaikan media sosial. Apa saja yang menentukan kemenangannya?

MONDAYREVIEW – Kampanye Pilpres belum mulai, tapi persaingan untuk merebut hati rakyat sudah memanas. Media sosial pun sudah diramaikan dengan perang tagar. #2019 Ganti Presiden versus #Lanjutkan 212. Ada juga menggunakan #Salam Dua Periode.
Meme-meme banyak beredar di media sosial. lucu, unik, dan menyebalkan. Sebagai aspirasi warganet, sepanjang tidak memproduksi ujaran kebencian, sebenarnya sah-sah saja. Di negara demokrasi, aspirasi warga dilindungi undang-undang, baik yang ingin memiliki presiden baru, atau yang ingin mempertahan Jokowi sebagai Presiden untuk periode kedua.
Kenapa Jokowi harus dua periode?
Berbagai cara dilakukan para pendukung setianya. Selain dukungan dideklarasikan para relawan, keberhasilan pemerintahan Jokowi disebarluaskan untuk meyakinkan rakyat. Aksi Presiden Jokowi yang populis, merakyat dan unik, seperti mengendarai motor chopper terus diproduksi untuk memperkuat citra. Inilah presiden kita, yang gaul, cinta produksi dalam negeri, dekat dengan rakyat, dan sederhana.
Meskipun, Prabowo belum deklarasi sebagai calon presiden, berbagai aksi Ketua Umum Gerindra ini dianggap sebagai ancaman bagi kubu inkumben, Jokowi. Pidato Prabowo yang kritis dan pedas dianggap menggoyang kredibilitas pemerintah.
Dalam Konvensi Nasional Galang Kemajuan (GK) di Bogor, Jawa Barat, Sabtu lalu (7/4) yang merupakan simpul relawan yang dibentuk untuk mendorong Jokowi kembali memimpin di periode kedua, Jokowi berpidato tak seperti biasanya. Kesan kalem, dan sedikit bercanda, tak lagi nampak. Jokowi berorasi dengan berapi-api, mengklarifikasikan semua tuduhan yang mengarah padanya.
Jokowi bercerita bahwa sudah banyak isu yang diarahkan kepadanya. Mulai dari isu bahwa dirinya adalah antek asing dan yang paling santer adalah isu PKI. Jokowi pun memberikan penjelasan, ketika PKI dibubarkan pada 1965, di mana dirinya masih berumur empat tahun. "Mana ada PKI balita? Di mana ada PKI umur empat tahun?" ujarnya.
Jokowi kemudian menunjukan contoh sebuah gambar editan yang beredar di media sosial. Di situ terdapat foto dirinya dengan DN Aidit. Begitu ditelusuri, foto DN Aidit tersebut ternyata diambil pada 1955 di mana saat itu Jokowi pun belum lahir. "Banyak dari kita yang ingin melemahkan bangsa sendiri dengan cara yang tidak beradab. Isu antek asing, PKI, sampai infrastruktur. Begitu satu isu gagal, ganti yang lain," ujar Jokowi dalam sambutannya.
Pemerintah Jokowi memang sering diterpa tuduhan negatif, misalnya soal utang luar negeri yang mencapai Rp. 4.000 trilyun. “Waktu saya dilantik, hutang itu sudah Rp 2.700 triliun, bunganya Rp 250 triliun setiap tahun. Saya bilang gini supaya semuanya ngerti," ujar Jokowi. Ia pun menyebut banyak masyarakat mengira utang yang dimiliki Indonesia saat ini adalah hasil perbuatannya, padahal tidak.
Selain isu utang, Jokowi juga mengomentari ramainya isu kos yang dijual dan bertuliskan #2019GantiPresiden. Jokowi merasa yang bisa mengganti Presiden adalah rakyat dan restu Allah SWT. "Masak kaos bisa ganti Presiden? Yang bisa ganti Presiden itu rakyat, kalau rakyat mau ya bisa ganti. Kedua restu dari Allah. Masak ganti kaos bisa ganti Presiden," kelakarnya.
Gerakan #2019GantiPresiden yang diwujudkan dengan berbagai asesoris, seperti kaos, gelang dan topi, yang didukung kelompok partai oposisi, Gerindra dan PKS, membuat gerah Jokowi. Sayangnya, Jokowi terjebak dalam isu yang justru dimanfaatkan oleh lawan politiknya, untuk menjadi besar.
Mardani Ali Sera, politisi PKS yang menginisiasi gerakan #2019GantiPresiden merasa senang dengan reaksi Jokowi. "Keren Pak Jokowi sudah kasih komen. Tanda gerakan ini jadi 'sesuatu'," ucap Mardani. Gerakan ini, diharapkan bisa sepopuler salam dua jari saat Pilpres 2014. “Kalau masyarakat merasa ada yang kurang dari pemerintah. Gerakan #2019GantiPresiden akan jadi bola salju," kata Mardani optimis.
Koas #2019GantiPresiden bukan sekedar kaos. Sebagai sebuah simbol patut diwaspadai. Saat rakyat Thailand muak dengan pemerintah PM Thaksin Sinawatra, rakyat bergerak dengan mengenakan kaos merah dan membanjiri kota Bangkok, hingga Thaksin akhirnya terguling.
Saat Benitto Musolini ingin menggulingkan pemerintahan Italia, dan menggantikan dengan gerakan fasis. Mussolini dan para pendukung mengenakan kostum hitam, sebagai bentuk perlawanan, hingga akhirnya kekuasan pun diserahkan ke Mussolini tanpa peperangan.
Tentu, fenomena politik ini tak bisa disamakan. Jokowi memiliki banyak pendukung dari partai politik koalisi, seperti PDIP, Golkar, PPP, dan Nasdem, bahkan PKB terakhir ikut bergabung. Mereka memiliki mesin politik yang kuat hingga ke berbagai daerah. Sebagian rakyat masih banyak yang mendukungnya
Saat Jokowi membalas serangan lawan politiknya, bisa dianggap sebagai bentuk kepanikan. Pidato Jokowi yang terkesan emosional, bisa saja dianggap bentuk kemarahan, bahkan meniru gaya orasi Prabowo. Lalu, siapa yang diuntungkan?
Jangan sampai upaya klarifikasi, jadi berbalik arah. Saat Jokowi balik menyerang langsung Prabowo, dengan mengangkat isu hancurnya Indonesia di tahun 2030, sebenarnya membuat duel politik makin berimbang.
Jokowi ikut terbawa euforia relawan, yang sebenarnya bisa menjadi kontra produktif. Mungkin, saat Jokowi lebih irit bicara dan lebih banyak menunjukan kerja, bisa meraih banyak simpati rakyat
Pemilihan presiden ini, bukan sekedar milik kubu setia Jokowi dan kubu setia Prabowo. Ada jutaan pemilih, yang mungkin belum menentukan sikap, mereka ada bersikap rasional, ada juga yang gerombolan massa emosional yang gampang terbawa arus, dan ada juga massa pragmatis yang sangat tergantung akomodasi kepentingan.
Masa mengambang (floating mass) ini jangan dianggap enteng. Karekternya berbeda-beda dan jangan didekati dengan cara yang sama, Karena itu, kampanye politik bukan hanya jualan program dan janji. Karena, terbukti sedikit yang ditepati.
Masih banyak rakyat yang tidak suka caki maki. Yang terdzolimi, bisa jadi justru yang lebih banyak meraih simpati