Sengketa Pemilu dan Selisih Suara yang Dipersoalkan
Yang harus dipertimbangkan dalam sengketa pemilu jika terjadi secara tersturktur dan masif, maka hal tersebut harus ditindak, sekalipun selisih suaranya lebih dari 2 persen.

MONDAYREVIEW.COM – Dalam kontestasi pemilihan umum dimungkinkan terjadinya sengketa. Jika merujuk pada Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada diatur tentang sengketa pemilu. Pasal tersebut mengatur peserta pilkada bisa mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika memenuhi ambang batas selisih suara paling banyak 0,5-2 persen dari total suara sah yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi atau kabupaten dan kota.
Dengan adanya range 0,5-2 persen maka memberikan batasan bagi pihak yang bersengketa untuk mengajukan gugatan ke MK. Pada Pilkada serentak yang dihelat pada 15 Februari 2017 terdapat 101 daerah yang mengikutinya. Memang dengan adanya batasan range tersebut akan menyeleksi pengajuan gugatan. Sehingga MK tidak akan terlalu mengalami tumpukan perkara.
Namun di sisi lain berpotensi memunculkan kecurangan yang masif. Kecurangan ini tidak tanggung-tanggung agar jarak antara kandidat bisa lebih dari 2 persen. Kecurangan sendiri memiliki banyak ragam seperti diungkap hasil kajian Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yakni politik uang, logistik pilkada, penggunaan fasilitas daerah dan mobilisasi aparatur sipil negara, praktik intimidasi, serta proses pencalonan.
Yang harus dipertimbangkan dalam sengketa pemilu jika terjadi secara tersturktur dan masif, maka hal tersebut harus ditindak, sekalipun selisih suaranya lebih dari 2 persen. MK harus mempertimbangkan hal-hal yang lebih substansial dibandingkan dengan aturan hukum yang menyebutkan selisih suara 0,5-2 persen yang bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi.