Peran Perancis dalam Konflik Timur Tengah
Perancis menjadi salah satu negara yang terlibat memasang proxy di Suriah.

MONDAYREVIEW.COM – Sekitar satu decade yang lalu Timur Tengah dilanda sebuah fenomena yang disebut dengan musim semi Arab. Musim semi Arab adalah gelombang demokratisasi dimana negara-negara di timur tengah mayoritas dijalankan secara tidak demokratis. Upaya demokratisasi ini harus dicapai dengan cara kudeta. Dimulai dari Tunisia, dimana musim semi digerakkan juga oleh media sosial. Lalu Mesir dimana Presiden Husni Mubarok dikudeta, setelah itu diadakan Pemilu dimana Muhammad Mursi terpilih melalui pemilu demokratis. Namun karena dirasa terlalu membawa kepentingan Ikhwanul Muslimin, terjadi demonstrasi besar-besaran yang kemudian menyebabkan Mursi dikudeta oleh Jenderal Al Sisi.
Musim semi bergerak ke Suriah, dimana di sana Presiden Bashar Al Assad mewarisi tahta ayahnya Hafez Al Assad. Assad merupakan pemimpin yang otoriter dan dictator seperti negara timur tengah lainnya. Bergeraklah kelompok oposisi untuk mencoba menggulingkan Assad. Kelompok oposisi ini semakin banyak dan membawa beragam kepentingan. Diantaranya Front Demokrasi yang menentang kediktatoran Assad sampai kelompok jihad yang menginginkan khilafah tegak kembali seperti kelompok ISIS dan Jabhah Nushrah. Upaya kudeta di Suriah kemudian menjadi konflik bersenjata yang menelan banyak korban jiwa dan membuat ratusan ribu orang mengungsi ke negara lain.
Yang membuat konflik di Suriah semakin kacau adalah negara-negara lain yang ikut campur melalui proxy yang mereka pasang di Suriah. Negara-negara yang memasang proxy diantaranya negara barat yang salah satunya adalah Perancis, menghadapi Rusia dan Iran yang juga memasang proxy. Negara-negara barat menginginkan Assad mundur dari kekuasaannya. Adapun Rusia dan Iran mendukung pemerintahan Bashar Al Assad. Guna menggulingkan Assad, negara-negara barat mempersenjatai milisi-milisi dari kelompok Islam radikal. Hal ini sama dengan yang dilakukan Amerika Serikat pada saat perang dingin, yakni mempersenjatai Al Qaida untuk melawan Uni Soviet dengan isu komunisme.
Perancis menjadi salah satu negara yang terlibat memasang proxy di Suriah. Bahkan Perancis pun mendukung Arab Saudi untuk menyerang Yaman. Pada akhirnya sampai hari ini Assad masih kokoh berdiri di puncak kekuasaan. Sementara para milisi dari berbagai kelompok porak poranda dalam perang. Para milisi tersebut banyak yang kembali ke negara asalnya. Hal ini menjadi bom waktu bagi Perancis, karena kelompok muslim radikal yang awalnya dipersenjatai kini berbalik menyerang Perancis. Perancis harus menanggung akibat dari apa yang telah mereka lakukan.
Menanggapi reaksi kelompok radikal tersebut, Macron Presiden Perancis menyatakan perang melawan radikalisme. Dia menyebut bahwa Islam sedang mengalami krisis seiring dengan banyak kelompok radikal di dalam internal umat Islam. Sayangnya Macron seolah-olah tutup mata bahwa Perancis berperan melakukan radikalisasi terhadap umat Islam melalui Perang Suriah. Perancis sebaiknya berhenti bermain proxy pada konflik timur tengah jika ingin kondisi dalam negerinya kondusif dari ancaman kekerasan dan terror.