Sempat Digadang Jadi Menkes, Bupati Ini Harus Terjungkal dan Jadi Pandemi Politik

Sempat digadang-gadang bakal menjadi Menteri Kesehatan. Namun kini harus terjungkal dan menjadi pandemi politik yang ditengarai memiliki konflik berkepanjangan antara dirinya dan Wakil Rakyat yang terhormat.

Sempat Digadang Jadi Menkes, Bupati Ini Harus Terjungkal dan Jadi Pandemi Politik
Ilustrasi/net

MONITORDAY.COM - Saat Presiden Joko Widodo terpilih di periode ke-2, Bupati Jember dr. Faida dengan berbagai prestasi, sempat digadang-gadang bakal menjadi menteri kesehatan. Namun kini harus terjungkal dan menjadi pandemi politik yang ditengarai memiliki konflik berkepanjangan antara dirinya dan wakil rakyat di Jember.

Padahal, Ketua DPC Partai NasDem Jember Marzuki Abdul Gofur, mengamini kompetensi dr. Faida yang  sebelum menjabat sebagai Bupati Jember, Faida merupakan Direktur sebuah rumah sakit swasta di Jember. Di tangannya, rumah sakit itu mengalami perkembangan yang sangat baik.

Bahkan, sambung Marzuki, sejumlah penghargaan diraih Faida atas prestasi di bidang kesehatan. Yang terbaru pernghargaan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Mengenai pengalaman birokrasi, Marzuki menilai Faida selama ini konsisten dengan prinsip 3B (Baik tujuannya, Benar hukumnya, Betul caranya). Sehingga keputusan yang diambil benar-benar mengacu kepada peraturan yang berlaku.

Namun, yang paling utama menurut Marzuki, jika Faida memang ditunjuk sebagai Menkes, akan menjadi kebanggaan tersendiri. Khususnya bagi masyarakat Jember.

Rabu Kelabu Bagi dr. Faida

Kebanggan putri daerah asal jember ini memang tidak ditakdirkan jadi Menteri Kesehatan, yang ada malah dikebiri hak-haknya dan sengaja dijungkalkan menduduki kursi pesakitan. Betapa hari rabu, (22/7/2020) menjadi momen kelabu karena DPRD Jember sepakat menggunakan hak mereka melakukan koreksi hingga sepakat memberhentikan Bupati Jember, Faida.

Ia sempat beralasan  bukan tidak mau bertemu dengan DPRD tapi  masih sibuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 di Jember. Sehingga tidak sempat datang ke gedung DPRD Jember yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari rumah dinasnya itu.

Ketidakhadiran Faida dalam undangan memberikan klarifikasi terkait hak angket yang diajukan oleh DPRD setempat, menguak berbagai pertanyaan bahkan sangat disayangkan. Diketahui,  Faida lebih memilih berkunjung ke Kecamatan Sumbersari yang masuk kawasan zona merah Covid-19 di Jember.

Tanpa aling-aling, rapat paripurna DPRD Jember, Rabu (22/7/2020) kemarin, akhirnya sepakat mengeluarkan Hak Menyatakan Pendapat yang isinya meminta agar Mendagri mencopot Faida dari jabatan bupati Jember.

Faida Sempat Beri Usul

Sekitar 10 menit sebelum rapat paripurna dimulai pukul 11.00 WIB, Faida mengirimkan file kepada pimpinan DPRD Jember yang berisi ‘Pendapat Bupati atas Usul Hak Menyatakan Pendapat’.

Selain itu, Faida juga meminta agar Rapat Paripurna DPRD Jember digelar secara daring. Sehingga dia bisa mengikutinya tanpa harus datang ke gedung dewan.
Wakil Ketua DPRD Jember, Ahmad Halim yang memimpin paripurna, sempat membacakan dan menawarkan permintaan Faida itu kepada peserta rapat. 

Sebanyak 45 anggota DPRD Jember yang hadir sepakat untuk mengabaikan permintaan Faida serta tidak membacakan ‘pembelaan diri tertulis’ Faida itu.

"Ketika rapat paripurna sudah disepakati di Badan Musyawarah DPRD, maka tidak bisa pihak luar termasuk bupati, ikut mengatur jalannya rapat paripurna. Pilihannya dia harus datang atau tidak datang, dengan konsekuensinya," ujar Itqon Syauqi, Ketua DPRD Jember saat dikonfirmasi usai rapat paripurna kemarin.

Menyikapi hal tersebut, Kepala Biro Administrasi Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setdaprov Jawa Timur (Jatim), Jempin Marbun mengatakan, sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), setelah ada hasil rapat paripurna terkait hak menyatakan pendapat tersebut, Bupati Jember Faida tidak otomatis berhenti.

"Jadi, sesuai UU, itu harus disampaikan ke MA. Lalu diuji apakah Bupati Jember itu melanggar UU atau tidak. Diuji dulu secara hukum," katanya, Kamis (23/7/2020).

Selanjutnya, kata dia, MA memiliki waktu selama 30 hari untuk melakukan uji materiil terkait ada tidaknya pelanggaran hukum yang dilakukan Faida. Setelah muncul putusan, putusan itu akan diserahkan kembali ke DPRD Jember.

"Jika putusan MA itu menyatakan Bupati Jember melanggar UU, maka kemudian DPRD mengajukan permohonan ke Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) untuk dilakukan pemberhentian," imbuhnya.

Kemudian, lanjutnya, Kemendagri memiliki waktu 30 hari untuk memproses pengajuan dari DPRD Jember tersebut. Keputusan Kemendagri, harus sesuai dengan putusan MA. Jika bersalah, maka harus diberhentikan.

Lantaran Gubernur Jatim merupakan perwakilan pemerintah pusat di daerah, maka usulan pemberhentian dari DPRD Jember itu harus melalui Pemprov Jatim. "Tapi andaikata secara hukum tidak bersalah sesuai kajian MA, maka (Faida) tetap jadi bupati sampai habis masa jabatan," terangnya

Kronologis Perseteruan Bupati Faida dan Wakil Rakyat Jember 

Hubungan antara DPRD Jember dan Faida memanas sejak akhir 2019 lalu. Dalam sidang paripurna DPRD pada 23 Desember 2019 lalu, mayoritas atau 44 anggota DPRD Jember sepakat mengajukan hak angket kepada Faida.

Hak angket ini dilayangkan untuk mempertanyakan sejumlah dugaan pelanggaran kebijakan dan sumpah jabatan yang dilakukan oleh Faida.

Di antaranya tidak masuknya Jember dalam kuota penerimaan CPNS 2019 akibat sanksi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi hingga mengabaikan serangkaian teguran, seperti dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) soal mutasi dan pengangkatan sejumlah pejabat di luar mekanisme.

Sejak itu, hubungan antara wakil rakyat Jember dengan Faida tak harmonis.

Koordinator aksi Aliansi Masyarakat Jember (AMJ), Kustiono Musri mengatakan DPRD Jember telah menggunakan hak interpelasi dan hak angket, namun Faida tak melakukan perbaikan. Kustiono menyebut Faida semakin berjalan sendiri dan mengabaikan eksistensi DPRD Jember.

Kustino menyebut Faida juga tak memenuhi syarat DPRD Jeber untuk membahas APBD 2020 dengan mematuhi dan menjalankan terlebih dahulu perubahan SOTK sesuai dengan Surat Mendagri dan Gubernur Jawa Timur. Sehingga Perda APBD 2020 mustahil disepakati bersama.

Di sisi lain, kata Kustino, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan disclaimer terhadap pengelolaan keuangan APBD 2019.

"Makin parah dengan adanya pandemi Covid-19 karena perencanaan anggaran penggunaan APBD yang hanya berdasarkan peraturan bupati praktis tanpa peran DPRD sama sekali, bahkan dewan tidak diberi tembusan terkait dengan anggaran dana COVID-19," kata Kustino dikutip Antara.