Selesainya Tumpang Tindih Lahan dengan Kebijakan Satu Peta

Salah satu masalah utama yang terkait dengan iklim investasi Indonesia adalah masalah tumpang tindih penggunaan lahan. Hal ini mengakibatkan ruwetnya perizinan investasi hingga menimbulkan celah pungli dan pada akhirnya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi

Selesainya Tumpang Tindih Lahan dengan Kebijakan Satu Peta
(c) thejakartapost

 

MONDAYREVIEW.COM- Salah satu masalah utama yang terkait dengan iklim investasi Indonesia adalah masalah tumpang tindih penggunaan lahan. Hal ini mengakibatkan ruwetnya perizinan investasi hingga menimbulkan celah pungli dan pada akhirnya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Sebagaimana diketahui publik, pemerintah daerah sejak awal reformasi ingin mengeluarkan izin untuk perusahaan pertanian dan pertambangan karena pejabat lokal akan mendapatkan banyak gratifikasi dari perusahaan sebagai imbalan atas izin.

Tata kelola yang lemah, pemantauan yang lemah dan penegakan hukum yang lemah menyebabkan tingginya korupsi terkait perizinan lahan. Persoalan inilah yang kemudian diatasi dari hulu dengan menyatukan basis data geospasial. Setiap pemangku kepentingan tidak lagi memperdebatkan peta suatu kawasan karena kebijakan yang sudah mengintegrasikan puluhan peta tematik dan sehingga memberi kepastian hukum yang lebih jelas.   

Presiden Indonesia Joko Widodo pada hari Selasa (11/12) meluncurkan One Map Policy Geoportal (KSP Geoportal). Kebijakan ini melibatkan peta penggunaan lahan yang lebih rinci, yang bertujuan untuk menyelesaikan klaim yang tumpang tindih - serta mencegah munculnya kasus baru - di seluruh Indonesia, termasuk di kawasan hutan.

Kawasan yang tumpah–tindih bukan sedikit. Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, mengatakan bahwa ketika membuat peta baru, pemerintah menemukan banyak kasus tumpang tindih penggunaan lahan - sekitar 10,4 juta hektar Kalimantan 53,98 juta hektar lahan, dan 6,4 juta hektar di pulau Sumatra. Yang berarti bahwa kawasan yang petanya tidak seragam  lebih luas dari Korea Selatan.

Peta baru dibuat pada skala 1: 50.000 (karenanya lebih rinci dibandingkan dengan peta sebelumnya yang berada pada skala 1: 250.000) dan bertujuan untuk mengurangi kemungkinan sengketa atas masalah izin untuk pertambangan, perkebunan dan konservasi hutan.

Kebijakan ini seharusnya menghasilkan iklim investasi yang lebih baik bagi Indonesia. Karena itu, "perencanaan pembangunan akan menjadi lebih akurat", kata Presiden.

Dengan kebijakan satu peta ini, pemerintah pusat telah mengintegrasikan 83 peta tematik. Dua peta tematik belum terintegrasi, yaitu (1) Peta Rencana Tata Ruang Laut Nasional, yang saat ini masih dikerjakan, dan (2) peta perbatasan kecamatan dan desa.

Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa kementerian, lembaga pemerintah dan pemerintah daerah harus mulai menggunakan peta tematik terpadu ini sebagai titik acuan utama untuk melaksanakan kebijakan pembangunan.

Kebijakan ini bukanlah kebijakan bari. Awalnya, peta itu direncanakan akan selesai pada 2015. Namun, proyek ini menghadapi kendala yang signifikan karena "terlalu banyak ketakutan dan kekhawatiran karena banyak kepentingan", pungkas Presiden Jokowi ketika meluncurkan peta.