Sekali Lagi Tentang Polemik Daftar Mubaligh dan Komitmen Kebangsaan Kita

Kasus perilisan daftar mubalig harus menjadi catatan penting terkait relasi pemerintah dan umat islam.

Sekali Lagi Tentang Polemik Daftar Mubaligh dan Komitmen Kebangsaan Kita
Menag Lukman Hakim Saifuddin

MESKIPUN pada akhirnya Menag Lukman Hakim Saifuddin meminta maaf atas langkahnya yang menuai polemik di tengah masyarakat. Namun kasus perilisan daftar mubalig oleh Kemenag tetap harus menjadi catatan penting terkait relasi pemerintah dan umat islam, dus juga soal komitmen kebangsaan kita.

Karena Kemenag atau siapa pun yang selama ini meragukan komitmen kebangsaan beberapa kelompok Islam di Indonesia mestinya tahu, bila soal rasa kebangsaan Ustad Adi Hidayat, Ustadz Abdul Shomad, Ustad Bachtiar Nashir, Ustadz Hanan Attaqi atau pun ustadz-ustadz lainnya yang belum sempat masuk daftar mereka tak dapat diremehkan. Seperti penduduk bumi pertiwi lainnya, mereka juga sama-sama generasi yang lahir dan hidup di lingkungan yang dengan tulus meneriakan kecintaan mereka terhadap tanah air. Hubbul wathan minal iman, meski hanya sebuah jargon, namun paling tidak dapat menjadi bukti bila kalangan umat islam pernah berusaha mengartikulasikan kecintaan mereka pada tanah air.

Perihal beberapa tokoh ulama yang dalam sejarah tercatat pernah melakukan upaya ijtihad menemukan bentuk dan nilai perjuangan lain, ini juga tentu saja tak bisa dilihat dengan memakai kacamata kuda subversif. Karena nyatanya, memang ada banyak alasan yang memungkinkan hal itu terjadi; mulai dari kekecewaan terhadap penguasa yang tak berkomitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan yang disepakati, hingga ketimpangan pembangunan yang selama ini terjadi.

Apalagi sejarah juga mencatat, bila Raison D’etre didirikannya Kantoor voor Inlandsche Zaken, atau Kantor Agama, yang merupakan embrio dari Departemen Agama sendiri, memang untuk mengendalikan para ulama yang dianggap menjadi ancaman masa depan kekuasaan penjajah Belanda.

Tujuan utamanya adalah melakukan upaya edukasi untuk menghilangkan kesadaran masyarakat pribumi tentang ide-ide Ratu Adil dan potensi perlawanan lainnya yang berbahaya bagi relasi kuasa kolonial Belanda.

Meminjam bahasanya Jacques Lacan, umat Islam ketika itu dipaksa melakukan identifikasi diri, melakukan subjektivikasi dan bercermin dalam cermin eksistensi (the mirror stage). Identifikasi menuju Islam yang sebenarnya, menuju Islam yang ‘baik’, ‘murni’ dan tidak memiliki potensi perlawanan.

Mestinya, Kemenag atau siapa pun yang mengamini langkah mereka, paham bila apa yang dilakukannya ini malah melahirkan gap yang memisahkan umat islam dari kontekstualisasinya. Mencerabut Islam dari pengamalan sehari-hari dan kearifan lokalnya. Menguras habis dan menghilangkannya dari garis kesejarahan.

Soal rasa kebangsaan, jauh sebelum kelompok konservatuf-skriptural mulai menggugat konsep kebangsan dan keislama serta mengoyak rasa persaudaraan, masyarakt islam sendiri sebetulnya dalam diri mereka telah meresap tentang rasa kebangsaan.

Selain persoalan menahan lapar dan hawa nafsu, Ramadhan merupakan momentum untuk melatih kendali diri, menebar manfaat dan kepedulian kepada sesama. Agar ummat tak hanya disibukkan dengan segala macam wacana nasionalis atau tidak nasionalis, debat seputar murni atau tidak murni, ganti presiden atau tidak ganti presiden. Namun bagaimana kemudian kita juga merekatkan tali persaudaraan dan rasa saling percaya.

Inilah yang nampak jelas dalam ayat-ayat yang menerangkan tentang perintah berpuasa, bahwa esensi ibadah puasa mesti berdampak secara sipiritual dan sosial atau apa yang dalam al-Qur’an disebut sebagai As-Salaam (yang diperoleh dalam Lailatul Qadr). Yaitu keselamatan spiritual berupa ketakwaan dan keselamatan sosial. Dari titik inilah baik kemenag atau siapa pun yang punya kepedulian, mestinya memulai upaya merajut kembali persaudraan, memajukan kehidupan ummat, sekaligus menjaga komitmen kebangsaan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. [Mrf]