Refleksi Milad Aisiyah: Pentingnya Literasi Digital di Era Post Truth

MONITORDAY.COM - Tak lama setelah Ekspedisi Musthaliq, di Bulan Sya’ban tahun ke-5 Hijrah, Siti Aisyah istri Nabi Muhammad saw. pernah menangis selama dua malam tanpa henti. Gegaranya, ia merasa diperlakukan secara berbeda selama sebulan terakhir. Terutama setelah berita soal perselingkuhannya mencuat.
Sikap Nabi tidak hangat lagi, tak ada gelak tawa, bercanda riang, dan kurang begitu perhatian kepadanya. Padahal, saat itu Aisyah sedang sakit. Duhai, istri mana yang tak bersedih diperlakukan suami seperti itu.
Sepenggal kisah dinamika rumahtangga Rasulullah ini tak bermaksud mengorek-ngorek nila setitik dalam kisah kehidupan pria kinasih itu bersama para istrinya. Sekadar bahan refleksi bagi kita, dan terutama bagi para aktifis Aisiyah yang tengah bermilad ke-104 miladiyah/107 hijriah.
Betapa dahsyatnya berita palsu (hoaks) yang dihembuskan oleh seseorang seperti Abdullah bin Ubay bin Salul. Jika tak kita bentengi dengan kemampuan melakukan konfirmasi dan mengulik informasi atau tabayyun atau literasi digital di era sekarang. Tanpa kemampuan itu, maka jangankan kita, bahkan Nabi sekalipun sempat goyang.
Siti Aisyah ketika itu sedih bukan main. Sementara Rasulullah bercabang pikirannya. Sikapnya jadi berbeda kepada Aisyah. Betapa tidak, dalam kondisi fitnah yang menyebar selama sebulan, tak ada wahyu yang diterima Nabi ketika itu.
Di moment milad ke-104 ini, Aisyiah sebagai organisasi yang menampung para perempuan cerdas Muhammadiyah, penting untuk meneladani jejak perjuangan Siti Aisyah, istri Nabi. Dia tak pernah patah semangat, selalu berpikir kreatif dan cerdas.
Di usianya yang sudah lebih dari seabad, Aisiyah tak perlu dipertanyakan lagi soal peran dan apalagi amal usahanya. Sekolah, rumah sakit, panti asuhan, terhampar dari Sabang hingga Merauke. Peran sejarahnya pun tak usah ditanya kembali.
Hanya saja mungkin, ada satu hal yang penting direfleksi kembali, terutama di era pandemi dan era digital seperti saat ini. Satu era yang tidak saja meniscayakan kita untuk memahami realitas baru di ruang digital. Tapi juga realitas bahwa, era digital memungkinkan hadirnya kabar yang belum jelas kebenarannya namun karena disebar berulang-ulang, malah menjadi dianggap sebagai kebenaran. Inilah Era Pasca-Kebenaran (post truth). Seperti kasus fitnah yang menerpa Siti Aisyah. Karena setelah diproduksi kabar itu direpetisi, efeknya kita semua sudah tahu.
Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi realitas baru di era digital. Dimana relasi sosial dalam bingkai kebangsaan kita telah banyak dipengaruhi oleh hiruk pikuk dan dinamika sosial di ruang digital.
Baik suara nyaring atapun senyap di ruang digital kerap berubah menjadi suara miring bila tidak direspon dan dikelola dengan bijak dan tepat. Saat narasi negatif berkembang dan menunjuk hidung kita, sikap diam seringkali malah menjadi kontraproduktif.
Karena temali emosi kemudian membentuk jejaring pembenaran di kanal-kanal digital tersebut. Sebaliknya ketika suara kita nyaring namun miskin data dan argumentasi yang lemah, maka temali emosi melahirkan sentimen publik yang kuat.
Disinilah pentingnya mengelola atau bahkan memberikan ‘narasi alternatif’ di ruang-ruang digital. Artinya, mesti kita pahami, jika tidak cerdas dalam menyikapi dinamika sosial di ruang digital maka yang terjadi adalah pendegradasian nilai dalam konteks berbangsa dan bernegara. Isu nyinyir, pemikiran menyimpang, ujaran kebencian dan permusuhan, serta hoaks pun tumbuh kian subur. Lalu menjadi virus yang buruk bagi anak-anak kita. Para penerus Muhammadiyah, penerus bangsa.
Sangat penting bagi para aktivis Aisyiah untuk menguatkan literasi digital. Ini karena pemahaman dan pengetahuan digital di kalangan kita masih sangat minim dan perlu ditingkatkan. Khususnya di kalangan orangtua, terutama ibu yang banyak memiliki ruang dan waktu berinteraksi bersama anak-anak.
Melalui literasi digital, pengguna bisa memilah dan memilih. Sebab perkembangan digital tak bisa dihentikan, paling bantar hanya bisa kita filter. Itu pun amat sulit kita lakukan. Apalagi, lumrah di kalangan kita melihat handphone yang sudah akrab dengan anak-anak kita. Mereka mengakses media sosial, mereka mengakses aplikasi pemutar video, dan mereka mengakses mesin pencari google. Apa pun bisa mereka dapatkan dari ruang digital.
Secara infrastruktur, anak-anak kita kebanyakan memiliki prasyarat untuk beraih akses ke dunia digital. Tinggal bagaimana kita menyiapkan suprastrukturnya. Agar mereka tak masuk dalam jebakan algoritma media sosial. Kita batasi screen time pada anak agar tak lebih dari 2 jam sehari saja.
Tak bisa dipungkiri, jika peran ibu dalam pengasuhan amat besar. Di era digital, ibu mesti punya kemampuan memahami teknologi yang berkembang. Pendampingan ibu kepada anaknya yang kini amat dekat dengan dunia digital diperlukan agar anak tumbuh secara positif.
Konten digital yang diakses anak kita, bisa positif ataupun negarif. Jika ibu bilang anak jangan masuk konten tertentu maka minimal sang ibu sudah tahu soal konten itu, kenpa boleh dan kenapa tidak boleh. Yang terpenting, para ibu juga harus punya alternatif konten yang diperbolehkan. Ligerasi digital dalam konteks ini menemukan signifikansinya kembali.
Di sisi lain, perkembangan teknologi digital juga memiliki sisi positifnya. Yang apabila ibu memiliki pengetahuan soal hal tersebut, maka ibu bisa berkarya dan memanfaatkannya. Baik dari sisi pengasuhan, maupun dari sisi ekonomi.
Untuk yang terakhir, para ibu tak usah diajari panjang lebar. Sudah tahu sama tahu. Yang penting disampaikan, adalah jangan sampai para ibu terjebak dalam kemudahan pinjaman online. Tak perlu masuk dalam ruang tersebut, jika sama sekali buta terhadap tata aturannya.
Seperti sosok isteri Nabi, aktifis Aisyiah adalah para perempuan yang harus kuat, cerdas, dan kreatif di masa pandemi. Tidak mudah tergiur dengan ajakan menyebarkan berita atau informasi yang belum jelas kebenarannya. Juga punya cara lebih kreatif untuk menyelesaikan persoalan ekonomi.
Selamat hari jadi wahai 'Aisyiyah yang ke 104 Miladiyah/107 Hijriyah. Selamatkan generasi bangsa, dengan cerdas di era digital!