Seberapa Rasiskah Kita?
Bagai bara dalam sekam. Rasisme dan diskriminasi rasial masih menjadi soal di era demokrasi. Bahkan di episenter demokrasi. Amerika Serikat. Rumput kering kesenjangan ekonomi dan hembusan resesi mengubah bara menjadi api.

MONDAYREVIEW.COM – Bagai bara dalam sekam. Rasisme dan diskriminasi rasial masih menjadi soal di era demokrasi. Bahkan di episenter demokrasi. Amerika Serikat. Rumput kering kesenjangan ekonomi dan hembusan resesi mengubah bara menjadi api.
Kematian George Floyd, seorang pria kulit hitam yang terbunuh akhir bulan lalu oleh seorang perwira kulit putih telah memacu demonstrasi besar-besaran yang sedang berlangsung di kota-kota di seluruh AS. Floyd diduga tak bisa bernafas akibat lehernya ditekan dengan lutut selama 8 menit.
Dunia meradang dan memprotes kematian Floyd. Tak hanya soal upaya penegakan hukum. Tak hanya soal tindakan polisi terhadap anggota masyarakat. Bara isu diskriminasi rasial menyeruak. Banyak persoalan lama yang masih terpendam butuh penuntasan.
Kecaman saja tentu tak cukup. Tindakan nyata harus mampu menghentikan kelamnya hati manusia yang menyuramkan peradaban. Selebihnya kita perlu menyoal seberapa rasiskah kita? Refleksi dalam tataran individual maupun kolektif akan mencerahkan pemikiran kita.
Jangan-jangan kita sering berteriak tentang rasisme dan diskriminasi rasial hanya ketika kita terkalahkan dan terpinggirkan. Dan di saat yang lain kita sendiri terjebak dalam sikap dan perilaku rasis. Atau setidaknya rasilais. Disadari ataupun tidak.
Perbedaan Rasis dan Rasialis
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya
Rasialisme adalah keyakinan akan keberadaan dan signifikansi perbedaan rasial, tetapi belum tentu ada hierarki antara ras. Rasialis biasanya menolak klaim superioritas rasial.
Cara lain untuk mengatakannya adalah seorang rasis percaya bahwa hubungan antar-ras pada dasarnya salah. Namun, seorang rasialis mungkin lebih suka berkencan dengan orang-orang di dalam rasnya sendiri karena mereka percaya ras lain tidak akan cocok.
Perbedaan ini adalah karena rasisme saat ini berada di pinggiran pemikiran sosial, sementara rasialisme tetap lazim dalam arus utama. Apa yang kita sebut rasisme yang dilembagakan akan lebih akurat digambarkan sebagai rasialisme yang dilembagakan.
Rasisme mewujud dalam beragam bentuk. Dari sekedar pelecehan hingga membuat orang lebih sulit mendapatkan pekerjaan atau perumahan karena warna kulit atau kebangsaan mereka.
Semua bentuk rasisme melibatkan cara berfikir stereotip tentang orang yang memiliki warna berbeda. Stereotip-stereotip ini sering memandang orang lain sebagai inferior, dan digunakan untuk membenarkan pengucilan orang dari peluang, sumber daya, dan kekuasaan.
Bahkan hari ini, pihak berwenang, beberapa politisi dan bagian media akan mempromosikan ide-ide rasis untuk membenarkan pandangan mereka tentang isu-isu tertentu. Ini mungkin termasuk pengangguran, kekurangan perumahan dan kejahatan.
Masih banyak pelecehan yang bermotivasi rasial, yang bisa bersifat verbal atau fisik, dan dapat mencakup serangan terhadap properti serta orang. Pelecehan ras dan perilaku yang mengancam dapat terjadi di banyak tempat yang berbeda, termasuk bekerja, sekolah, di atau dekat rumah, dengan transportasi umum atau di jalan. Itu bisa terjadi dalam jangka waktu yang lama dan dapat membuat hidup menjadi penderitaan bagi para korban.
Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial.
Kasus Diskriminasi Terhadap Orang Afrika di Tiongkok dan Orang Asia di AS
Sebuah penanda yang ditampilkan di McDonald's di Guangzhou bertuliskan "orang kulit hitam tidak diizinkan masuk" - hanya satu contoh dari masalah yang berkembang. Diskriminasi berdasarkan upaya untuk menahan virus corona di Tiongkok itu telah memicu kemarahan di Afrika
Pada saat yang sama Amerika Serikat tengah berjuang menangani diskriminasi terhadap orang-orang Asia karena kekhawatiran akan penyakit tersebut. Tak berapa lama kemudian kasus Floyd ini meledak.
Tanpa terjebak untuk membahas apakah semua ini by design atau by accident kita akan sampai pada pertanyaan tentang seberapa rasis atau rasialis kita dalam pemikiran maupun sikap. Diskriminasi rasial masih terjadi dimana-mana. Baik oleh mayoritas maupun minoritas. Dengan berbagai latar belakang atau motif. Dengan kekuatan politik, ideologi, uang atau kekuatan lainnya.
"Ketakutan kolektif merangsang munculnya naluri gerombolan atau kawanan, dan cenderung menghasilkan keganasan mereka yang tidak dianggap anggota gerombolan itu” (Bertrand Russel)