Kampus sebagai Inkubator Bisnis

Kampus sebagai Inkubator Bisnis
Ilustrasi foto/Net.

SELAIN menurunkan kualitas kesehatan, Pandemi Covid-19 juga membuat periuk nasi sulit terisi. Gegaranya, seperti tergambar dalam hasil survei SMERU Risearch Insitut pada Maret 2021, hampir 75 persen pendapatan keluarga terjun bebas.

Keterbatasan lapangan pekerjaan karena kegiatan bisnis yang lesu akibat dari PPKM, bikin pemasukan rumah tangga berkurang. Sementara harga kebutuhan sehari-hari cenderung naik.

Dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi punya problem yang kurang lebih sama. Pandemi Covid-19 memberikan tantangan yang tak ringan. Penerapan kebijakan PPKM dengan berbagai level, membuat dunia kampus sulit bergerak. Sedikit sekali orang yang mau masuk perguruan tinggi di tengah situsi serba sulit.

Bagi kampus yang bisa melakukan adaptasi dan inovasi lebih cepat, tantangan ini tentu tak jadi soal. Tapi bagi kampus yang tak memiliki kapasitas melakukan transformasi, maka meski ada dia sebetulnya tidak ada.

Bayangkan, karena virus kurang ajar Covid-19, ada sekitar 1,5 miliar anak di dunia terpaksa melaksanakan pembelajaran secara daring dari rumah. Dari jumlah tersebut, 68 juta diantaranya adalah anak-anak Indonesia. Lalu 7,5 juta diantaranya adalah mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi negeri dan swasta.

Efeknya berlanjut menjadi tak Cuma soal minat kuliah, tapi kini banyak sekolah dan universitas mendapat tekanan finansial. Merujuk data dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), wabah Covid-19 berdampak pada menurunnya proses pendaftaran mahasiswa baru di perguruan tinggi swasta (PTS) Jumlahnya cukup signifikan, antara 15 hingga 50 persen. Wow!

Ada tantangan, dan kebutuhan baru yang semestinya direspon kalangan perguruan tinggi. Kalau pun ada sebagian kampus yang tak mengalami tekanan finansial, tapi setidaknya dia juga punya tuntutan melahirkan lulusan yang adaptif dan punya skill sesuai tuntutan zaman.

Suka tidak suka, perguruan tinggi dituntut melahirkan lulusan dengan keterampilan Abad 21: Critical Thinking and Problem Solving, Creativity, Communication Skills, dan Ability to Work Collaboratively.

Futuris Finansial asal Negeri Mr Biden, Jason Schenker menyebut bahwa untuk memadukan pendidikan dan keterampilan baru di era digital, perguruan tinggi harus menemukan cara-cara baru untuk melayani dan mengedukasi banyak orang.

Kampus-kampus menurut dia, saat ini dipaksa melintasi ‘Rubicon Pendidikan Daring’. Kampus-kampus ternama sekelas Harvard University saat ini, dan bahkan jauh sebelum pandemi telah menawarkan pendidikan secara daring. Itulah upaya yang harus ditangkap dan dikembangkan kampus-kampus, ketimbang melakukan pembangunan secara fisik.

Tentu saja untuk mengarah ke sana, kampus-kampus perlu bekerja ekstra terutama dari sisi pengajarnya. Kampus perlu melakukan penyesuaian antara kurikulum, tenaga pengajar, dan permintaan pasar. Salah satunya dengan melakukan sejumlah training bagi para dosen lulusan tahun 90-an dan 2000-an. Generasi yang hidup di era eksistensi atau the Mecca of existence. Di masa merekalah komputerisasi pertama kali dipopulerkan.

Hanya saja perlu diingat, bila upaya melayani pasar untuk mencetak kreatif profesional tersebut jangan lah sampai melupakan tri dharma perguruan tinggi. Para lulusan kampus selain memiliki skill dan pengetahuan berorientasi pasar, namun juga menjadi manusia pembelajar yang sadar akan pentingnya mengabdi untuk masyarakat.

Nah, agar kaum cerdik cendekia dari kalangan perguruan tinggi tak hanya duduk di menara gading melainkan duduk di menara air. Maka perguruan tinggi perlu turun gunung dan mengalirkan air pengetahuan untukk membantu masyarakat.

Tentu saja tak sekadar mengalirkan, karena teori inovasi linear yang mengatakan pentingnya riset dapat diterima pihak industri juga sudah usang. Hasil-hasil riset dasar perguruan tinggi memang dihilirisasi melalui kolaborasi dengan dunia industri. Namun prosesnya ternyata lama. Kampus perlu membangun ekosistem bersama dunia usaha dan dunia industri. Hasil riset perlu diinkubasi.

Mohamad Nasir, mantan Menristekdikti era Pemerintahan Jokowi periode pertama, ketika menghadiri Forum nasional Inkubator Bisnis Teknologi di Jakarta, 2018 silam menuturkan, “Sehebat apa pun penelitian, sehebat apa pun inovasi, jika tidak diinkubasi ke industri akan tidak ada artinya.

Ya, kerjasama kampus dan dunia industri mestinya memang tak sekadar soal CSR, tapi kolaborasi dalam inovasi. Disinilah inkubator bisnis bisa kita manfaatkan sebagai wadah dan inkubasi riset dan inovasi. Melalui inkubator bisnis, perguruan tinggi bisa melakukan pengembangan bisnis masyarakat melalui pendidikan, pengembangan dan pendampingan.

Melalui inkubator bisnis, juga diharapkan ada peningkatan manfaat sumber perguruan tinggi. Juga dapat membantu menyiapkan sumber daya manusia yang memadai dengan penguasaan manajemen dan teknologi. Plus mendisain fasilitas inkubasi bagi pengembangan bisnis.

Memang betul, kerangka awal pembentukan inkubator bisnis adalah sinergi antara faktor eksternal (teknologi, investor dan pasar) dengan kebijakan pemerintah (kelembagaan dan hukum) untuk menghasilkan kegiatan bisnis di perguruan tinggi.

Namun perlu diingat, jika inkubator bisnis juga lahir dari permodelan analogis antara inkubator di rumah sakit, untuk ketahanan bayi. Inkubator adalah sebuah alat untuk meningkatkan ketahanan tubuh bayi yang lahir prematur di rumah bersalin atau rumah sakit.

Dalam konteks perguruan tinggi, ‘bayi’ adalah sistem bisnis di perguruan tinggi. Istilah ini kemudian secara analogis digunakan untuk meningkatkan ketahanan usaha kecil yang baru tumbuh maupun usaha lama yang memerlukan ketahanan usaha, terutama pada dukungan aspek managerial dan permodalan.

Artinya, inkubator bisnis tak sekadar untuk mengembangkan kewirausahaan internal kampus. Tapi juga jadi jembatan bagi tumbuhnya bisnis masyarakat sekitar kampus maupun dunia bisnis secara luas.

Desa-desa binaan yang biasa jadi kajian ilmiah pokok perguruan tinggi dan hanya beroriantasi pada kajian ilmiah murni, dapat didayagunakan secara seimbang bagi pengembangan ilmuptek dan pengembangan ekonomi. Dengan begitu, perguruan tinggi tak lagi seperti menara gading. Namun seperti menara air.

Lalu, karena kini eranya serba digital, maka inkubator bisnis sebaiknya dikembangkan dalam perspektif triple helix. Konsep ini merupakan strategi pengembangan yang terpadu dan berkelanjutan.

Banyak model bisnis di era saat ini yang melakukan transformasi ke dunia digital. Begitu juga dengan inkubator bisnis telah mengalami perkembangan menjadi bisnis yang menyediakan layanan secara online sehingga munculnya inkubator virtual di beberapa negara.

Ke arah situlah mestinya inkubator bisnis didorong oleh kampus-kampus di negeri ini. Bukan sekadar menempatkan para alumninya untuk menempati pos-pos birokrasi atau pusat kekuasaan.

Betul bahwa tidak ada indikator khusus untuk menentukan definisi negara maju dan negara berkembang. Tapi setidaknya, suatu negara masuk kategori maju atau berkembang dilihat dari pendapatan perkapitanya. Itu logikanya harus makin banyak yang di jalur bisnis, bukan birokrat, penguasa politik, atau bahkan ASN.

Sesekali coba tengok laman web kampus ternama di negeri ini. Cek ada berapa startup binaan mereka. Niscaya kita temukan, sedikit sekali kampus yang bisa melakukan inkubasi.

Karena itu, bagi kampus-kampus yang fokus dan konsisten melakukan inkubasi, kita perlu berikan apresiasi. Karena beberapa diantaranya cukup mampu melahirkan startup, lapangan usaha baru, serta bisnis dan nilai bisnis baru. Sebut saja ada Bali 3D 3 in 1, layanan jasa print 3D seperti pembuatan atau cetak casing HP, figur dan lainnya yang ternyata binaan Inkubator Bisnis STIKI Indonesia-Bali.

Ada pula, KITAJURAGAN.COM, platform layanan pengurusan kado dan hampers, yang ternyata binaan Inkubator Universitas Indonesia tahun 2019.

Juga LALANG, Aplikasi Marketplace lelang dan MATANUSA drone pendukung agrikultur hasil binaan UPH.

Cipta Tani Lestari (CTL) juga tak dapat dipandang sebelah mata. Perusahaan rintisan binaan inkubator LPIK-ITB. CTL diprakarsai Andrias Wiji Setio Pamuji, alumni Teknik Kimia ITB’97. Menjadi pionir biogas di masyarakat dengan slogan ‘murah, ringan, cepat instalasinya.”

Karena pengembangan usaha dewasa ini makin terlokalisasi, unik dan spesifik, maka saya, kita atau siapa pun di Tanah Air ini harus yakin jika pengembangan inkubator bisnis akan dapat melahirkan usaha-usaha baru khas Indonesia yang tak saja merambah pasar nasional, tapi juga dunia. Semoga !