RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Berpotensi Afirmasi LGBT
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat bermasalah secara filosofis. Definisi kekerasan yang ada sangat melebar menjadi multi tafsir.

MONITORDAY.COM - Rapat dengar pendapat (RDP) Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual kembali digelar di Komisi VIII DPR RI. Aliansi Cinta keluarga Indonesia (ALIA) diundang untuk memberikan masukan terkait RUU tersebut.
Dalam kesempatan itu, Dinar Dewi Kania selaku perwakilan AILA menyatakan bahwa RUU tersebut sangat bermasalah secara filosofis. Menurutnya, Definisi kekerasan yang ada sangat melebar menjadi multi tafsir. serta RUU tersebut dianggapnya tidak sesuai dengan norma yang ada di Indonesia.
"Saya tidak menemukan konsep-konsep kekerasan ini dari Islam, atau mungkin Hindu. Karena definisi ini diambil dari masyarakat Barat yang notabene penganut seks bebas." Ujar perwakilan AILA Dinar Dewi Kania, Rabu (31/01), di ruang rapat komisi VIII DPR-RI, Senayan, Jakarta.
Dinar mengungkapkan bahwa, Dalam RUU ini hanya melarang kekerasan seksual. menekankan ada atau tidaknya persetujuan, bukan pada baik buruknya perilaku seks tersebut.
Kemudian Dinar menyatakan bawa di lain pihak RUU tersebut mengafirmasi LGBT. Karena dalam naskah akademik RUU tersebut disebutkan adanya kekerasan seksual berdasarkan orientasi seksual berbeda.
"Jadi kekerasan seksual bukan hanya berdasarkan gender, tetapi juga berdasarkan orientasi seks seseorang." pungkasnya.
Rancangan undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tentang penanganan hukum acara, atau sanksi pidana, RUU PKS lebih banyak memberikan manfaat bagi korban kekerasan seksual. Azas manfaat ini akan mendorong terpenuhinya rasa keadilan terutama dilihat dari kepentingan korban.
Dalam RUU PKS, menurut sementara kalangan pengamat, korban harus jadi subjek hukum. Dia harus dapat manfaat dari apa yang dia laporkan. Perspektif ini tentu tidak lepas dari prinsip-prinsip pemenuhan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sebagaimana diketahui RUU PKS mencakup mulai dari pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum. RUU PKS termasuk dalam undang-undang khusus atau lex specialis.
Sistem peradilannya akan dibuat seperti peradilan anak. Adalah menjadi hak korban untuk memilih bertemu atau tidak dengan terdakwa pelaku. Kepentingan korban tentu harus diutamakan tanpa mengurangi esensi dari pemenuhan rasa keadilan dalam masyarakat.
[Agastop]