Romo Carolus, Pembela Orang Miskin
MONDAYREVIEW.COM-Jakarta. Pria bertubuh gempal, berkulit putih dengan kaca mata tebal ini dilahirkan dengan nama lengkap Charles Patrick Edward Burrows atau biasa dipanggil Charlie. Charlie kecil dilahirkan di Serville Palace, Dublin Irlandia pada 8 April 1943 dari pasangan Edward Burrows dan Jane Burrows.
MONDAYREVIEW.COM-Jakarta. Pria bertubuh gempal, berkulit putih dengan kaca mata tebal ini dilahirkan dengan nama lengkap Charles Patrick Edward Burrows atau biasa dipanggil Charlie. Charlie kecil dilahirkan di Serville Palace, Dublin Irlandia pada 8 April 1943 dari pasangan Edward Burrows dan Jane Burrows.
Masa kecil Charlie, mungkin tak seberuntung anak-anak lain seumurnya di Dublin. Pada usia 9 tahun, Charlie harus mengambil keputusan untuk mengambil alih tanggung jawab keluarga. Ini dikarenakan ayahnya, Edward Burrows jatuh sakit.
Di usianya yang ke-14, Charlie sudah mulai belajar bekerja. Ia mencari nafkah tambahan dengan menjadi pemborong perbaikan rumah tetangga samping kanan-kirinya. Tak hanya itu, ia juga belajar berternak. Ini dilakoninya selepas pulang sekolah.
Kelar mengurus ternak, biasanya charlie lantas bergegas ke perpustakaan untuk belajar tentang banyak hal, dari literatur peternakan, arsitektur bahkan sampai bagaimana cara mengaduk semen. “Saya betul-betul bersyukur lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang pas-pasan, punya uang yang terbatas dan karena itu harus sungguh-sungguh berjuang untuk hidup” terangnya.
Charlie yakin bahwa cara terbaik untuk menjalani kehidupan ialah dengan bersyukur. Baginya, “saya sangat percaya bahwa kekayaan materi sangat tidak membahagiakan, tetapi kekayaan kasih pasti akan membahagiakan.” Jelasnya. Kesederhanaan itu masih ia pegang hingga kini, ini terbukti dengan bahwa ia tak mau menggunakan HP dan menyetir sendiri mobil operasionalnya.
Menjadi seorang pastor adalah cita-cita besar yang diimpikan oleh Charlie. Charlie sangat ingin mengabdi sebagai pastor terutama untuk benua Afrika. Dimana kemiskinan, keterbelakangan dan derita kemanusiaan begitu nyata disana. Pada tahun 1971, Romo Carolus memulai karya pengabdiannya yang pertama, dengan pengembaraannya ke Australia yang menjadi bagian dari tugasnya sebagai seorang pastor OMI.
Di Australia, ia menjadi pastor muda di paroki Sefton, New South Wales, Australia. Selang dua tahun berada di Australia, di Indonesia tepatnya Keuskupan Purwokerto melayangkan surat permohonan bantuan sumber daya pastor. Menjawab kebutuhan itu maka pada tanggal 9 September 1973, Charlie ditugaskan untuk menjadi pastor OMI untuk keuskupan Purwokerto khususnya untuk paroki Cilacap.
Sejak kedatangannya hingga kini, Romo Carolus ditugaskan di paroki St. Stephanus, Cilacap. Dan sepuluh tahun sejak kedatanganya di Indonesia, tepatnya pada tahun 1983, Romo Carolus telah syah ditetapkan dan berjanji setia menjadi warga negara Indonesia.
Kasih untuk Semua
Dalam kenangan warga jemaat paroki St. Stephanus Cilacap, sejak kehadiranya di Cilacap, Romo Carolus selalu menegaskan bahwa “apapun agamanya, mereka adalah saudaraku. Lewat mereka aku bertemu Tuhan Yesus.” Romo Carolus selalu menekankan kasih yang tak terhingga kepada siapapun. Keyakinan bahwa kasih untuk semua dinyatakan oleh Romo Carolus dalam beragam karya kemanusiaan.
Pada awal mula mendarat di Cilacap pada tahun 1974, Romo Carolus tergerak hatinya untuk mendampingi masyarakat Kampung Laut. Sebuah kampung yang bermula dari sedimentasi pantai selatan, sehingga untuk menjangkaunya harus dengan perahu dari pelabuhan kecil di pinggiran kota Cilacap atau dikenal dengan dermaga Sleko.
Di Kampung Laut, karya kemanusiaan Romo Carolus terpatri. Ia hadir membawa obat dan bahan makanan untuk masyarakat termiskin di Cilacap. Dengan keterbatasan alat transportasi dan listrik, Romo Carolus menemani keluarga-keluarga tak beruntung ini. Hingga kini, empat desa yaitu Ujungalang, Klaces, Ujung Gagak, dan Panikel tak lepas dari kerja Romo Carolus.
Untuk mengorganisir segala kerja-kerja ini, Romo Carolus bersama dengan warga Katolik di Cilacap mendirikan Yayasan Sosial Bina Sejahtera pada tahun 1976. Melalui lembaga ini, kerja kemanusiaan Romo Carolus semakin meluas tak hanya di Kampung Laut.
Romo Carolus juga dikenal di Cilacap sebagai Romo yang mengirimkan truk-truk berisi batu gunung ke pelosok Cilacap untuk memperbaiki jalan. Sejak tahun 2009 tak kurang 70 jalan desa ia bantu untuk dikeraskan agar bisa membantu perbaikan ekonomi masyarakat dan pemerataan pendidikan.
Selain membangun badan jalan, Carolus juga turut aktif membangun jembatan yang menghubungkan antar desa. Misalnya beberapa jembatan di wilayah Kecamatan Kawunganten dan Sidareja. Kini di sepanjang tepian jalan raya itu dipadati rumah penduduk dan kantong bisnis. Keramaian ini memberi stimulus terhadap peningkatan dan pertumbuhan ekonomi. Berbagai jalan alternatif yang menghubungkan akses dari desa ke desa menghidupkan ekonomi perdesaan lainnya.
Romo Carolus punya perhatian pada sisi peningkatan ekonomi di masyarakat. Hal ini dikembangkan olehnya lewat berbagai pola. Salah satunya adalah dengan pendekatan Income Generating Activity (IGA). Di sini, para wanita dihimpun dalam berbagai kelompok. Setiap anggota berhak memperoleh fasilitas kredit yang ditentukan berdasarkan permintaan dan kepercayaan kelompok.
Tak hanya dalam hal sosial, Romo Carolus juga menyiapkan piranti lunak dari pembangunan masyarakat miskin. Ia juga mendirikan berbagai lembaga pendidikan sejak tahun 1979. Sejak saat itu, sudah berdiri 25 sekolah yang terdiri dari enam Taman Kanak-Kanak, satu Pendidikan Anak Usia Dini, dua Sekolah Dasar, tujuh Sekolah Menengah Pertama, satu Sekolah Menengah Atas, lima Sekolah Menengah Kejuruan, satu Lembaga Kursus Pendidikan, dan satu Perguruan Tinggi yang bernama Akademi Maritim Nusantara (AMN).
Kepala sekolah SMK Yos Soedarso, Yohanes Parsian menyatakan bahwa sekolahnya berdiri berawal dari misi Romo Carolus. Menurut Carolus, sekolah itu duperuntukan kaum miskin, anak yang terlantar dan tidak mampu bersekolah. Tujuannya untuk menanamkan nilai-nilai cinta kasih, memperhatikan orang miskin dan yang tertindas atau belum merdeka. “Sekolah kami adalah yang kali pertama mengadakan pelajaran agama Islam untuk pemeluknya,” kata Parsian, yang menjabat sejak tahun 1992.
Sekali lagi, Romo Carolus adalah legenda hidup tentang praktik hidup bersama dalam keberagaman. Toleransi tak hanya sebuah kalimat bijak, namun laku nyata. Untuk itulah pada tahun 2012, sebuah lembaga penganjur toleransi di Jakarta, MAARIF Institute mengganjar kerja-kerja kemanusiaan Romo Carolus dengan penghargaan MAARIF Award. MAARIF Award adalah penghargaan dua tahunan yang diberikan kepada tokoh dan aktifis atau institusi lokal di Indonesia atas karya kemanusiaan yang melintas batas sekat-sekat keagamaan, ras, suku dan golongan.
Dalam sambutannya waktu itu, Ahmad Syafii Maarif selaku pendiri MAARIF Institute mengapresiasi kerja Romo Carolus. “Jarang ditemukan orang yang seperti ini. Dimensi kemanusiaannya jauh lebih dalam.” Terang Buya Syafii.
Tulisan ini disarikan dari laporan publikasi MAARIF Institute.