Retorika Populis Utang Negara

Negara-negara maju banyak berutang kepada rakyatnya sendiri. Sementara negara berkembang masih mengandalkan utang luar negeri.

Retorika Populis Utang Negara
Sejumlah karyawan BNI mengamati harga Surat Utang Negara (SUN) di BNI Treasury, Jakarta. FOTO ANTARA

MONDAYREVIEW.COM – Salah satu pembahasan dalam pemerintahan yang cukup familiar di kalangan masyarakat adalah utang negara. Utang negara senantiasa menjadi isu yang diperbincangkan dan dikritisi oleh masyarakat. Retorika mengenai utang negara senantiasa menghiasai berita atau media sosial kita. Misalnya setiap bayi yang lahir di Indonesia mewarisi utang sebesar 20 juta rupiah. Retorika seperti ini selalu ada dari masa ke masa tanpa pandang siapa presidennya. Hal ini karena memang dalam setiap periode kepemimpinan seorang presiden tidak bisa lepas dari utang untuk menjalankan roda pemerintahannya.

Dalam ilmu keuangan public, dikenal tiga jenis neraca, yakni neraca surplus, neraca defisit dan neraca seimbang. Neraca surplus artinya jumlah pemasukan negara lebih besar dari pengeluarannya. Neraca seimbang artinya pemasukan dan pengeluaran negara sama besarnya. Sedangkan neraca defisit artinya jumlah pemasukan lebih sedikit dibanding dengan pengeluaran. Dalam neraca defisit, guna menutupi besarnya pengeluaran tersebut maka diperlukan utang negara untuk menutupnya. Inilah yang kita praktikan dalam kebijakan fiscal kita yang tercermin dalam APBN.

Jikalau begitu berarti ada yang salah dengan kebijakan fiscal kita, karena berutang adalah sesuatu yang buruk. Tunggu dulu, berutang bisa jadi buruk, dalam konteks manusia sebagai individu atau sebuah keluarga. Apalagi utang tersebut digunakan untuk tujuan konsumtif. Tentu saja dalam sebuah keluarga mempunyai utang berupa cicilan rumah atau mobil wajar selama tidak lebih besar dari gaji. Dalam konteks negara pun prinsipnya sama, bahwa berutang bisa bermanfaat jika dikelola dengan benar dan tidak lebih besar dari GDP. Terlebih jika utang tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang merupakan sesuatu yang produktif.

Seorang pengusaha pun juga sangat wajar jika berutang dari bank untuk mengembangkan usahanya. Dalam rumus akuntansi utang adalah bagian dari asset sebuah perusahaan. Yang terpenting adalah utang tersebut dikelola dengan benar dan baik. Direncanakan dengan matang. Tentu saja utang jangan sampai dikorupsi, ini yang paling berbahaya. Mengingat korupsi sudah menjadi budaya yang ada di negeri kita bahkan sebagai oli pembangunan. Oleh karena itu tugas masyarakat adalah mengawasi agar utang tersebut bisa digunakan sebagai mestinya bukan untuk memperkaya pejabat negara.

Tentu saja utang Indonesia mempunyai batasan menurut undang-undang, yakni 30% dari PDB. Jika utang kita sudah melebihi 30% dari PDB, maka rasio ini sudah tidak sehat dan pemerintah mesti menghentikannya. Namun sampai saat ini rasio utang pemerintah masih di bawah 30% dari PDB, pengecualian dalam kondisi pandemic seperti sekarang dimana dalam kondisi darurat seperti ini berutang menjadi salah satu pilihan untuk menutupi kebutuhan penanganan covid-19. Utang bisa berasal dari luar atau dalam negeri. Negara-negara maju banyak berutang kepada rakyatnya sendiri. Sementara negara berkembang masih mengandalkan utang luar negeri.

Kesimpulannya jangan terlalu khawatir soal utang selama masih dalam rasio yang aman. Yang harus benar-benar dikawal adalah jangan sampai utang negara yang asalnya untuk pembangunan malah dikorupsi. Hal ini yang mesti benar-benar dipantau oleh masyarakat dan dikritisi.