Rendahnya Partisipasi Laki-laki dalam Program KB

Akseptor keluarga berencana di kalangan laki-laki, hanya 4,4%. Bandingkan dengan cakupan perempuan usia subur yang telah menjadi akseptor KB mencapai 61,9%.

Rendahnya Partisipasi Laki-laki dalam Program KB
Sumber gambar: beritasatu.com

MONDAYREVIEW.COM – Salah satu program yang dianggap sukses pada masa orde baru adalah keluarga berencana. Keluarga berencana merupakan pembatasan jumlah anak guna mengerem laju pertumbuhan populasi di negara Indonesia. Slogan dua anak cukup, pernah popular di masa orde baru. Slogan ini membuat generasi milenial lebih sedikit mempunyai anak dibanding generasi sebelumnya. Pada zaman dahulu, seorang keluarga mempunyai lebih dari dua anak, bahkan 10 anak juga biasa. Fenomena ini menjadi berkurang pasca orde baru.

Walaupun begitu, angka kelahiran di Indonesia masih tergolong tinggi, artinya program KB masih harus terus dilanjutkan. Setiap tahun 4,8 juta anak lahir di Indonesia. Tingginya angka kelahiran ini menempatkan Indonesia pada urutan keempat—setelah Cina, India, dan Amerika Serikat—dengan populasi mencapai hampir 270 juta jiwa. Akibat dari terganggunya layanan penyediaan kontrasepsi dan konsultasi Keluarga Berencana selama wabah COVID-19, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperkirakan akan ada tambahan hingga 500.000 kelahiran baru pada awal 2021.

Sejak pelaksanaan program KB mulai 1970, Indonesia telah berhasil menurunkan angka kelahiran total dari 5,7 (1960) menjadi 2,45 anak per keluarga pada awal 2020. Namun, capaian ini belum maksimal karena masih di atas target pemerintah yaitu 2,1 anak per keluarga. Salah satu penyebab tingginya kelahiran di Indonesia adalah rendahnya jumlah akseptor keluarga berencana di kalangan laki-laki, hanya 4,4%. Bandingkan dengan cakupan perempuan usia subur yang telah menjadi akseptor KB mencapai 61,9%.

Angka akseptor laki-laki di Indonesia ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Filipina (24%), Malaysia (16,8%), dan Thailand (9%). Data ini mencerminkan partisipasi laki-laki dalam program KB melalui penggunaan kontrasepsi belum dianggap lazim di Indonesia. Setidaknya ada tiga faktor utama yang menghambat implementasi kontrasepsi laki-laki di Indonesia.

Pertama rendahnya partisipasi laki-laki dalam penyuluhan KB. Sebuah penelitian di Kota Surabaya dan Madiun pada 2017, dengan 150 sampel, menemukan bahwa sekitar setengah dari populasi laki-laki dalam penelitian tersebut tidak pernah mengikuti sosialisasi atau penyuluhan tentang KB. Karena mereka menganggap bahwa program tersebut ditujukan untuk kaum istri. Ini merupakan salah satu masalah yang cukup mendasar dalam pelaksanaan kontrasepsi laki-laki yakni dari sisi pengetahuan (kognitif) laki-laki ihwal kontrasepsi itu sendiri.

Kedua adalah beredarnya mitos yang keliru bagi kontrasepsi untuk laki-laki. Secara sosial dan kultural, penggunaan kontrasepsi pada laki-laki masih sering dianggap tabu untuk dibicarakan dalam masyarakat. Terdapat pula beberapa mitos yang telah lama beredar di komunitas-komunitas, misalnya penggunaan kondom yang dipersepsikan hanya untuk penderita atau pencegahan penyakit HIV/AIDS maupun vasektomi yang sering dianggap menurunkan kejantanan.

Ketiga adalah factor ekonomi. Bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah, harus diakui bahwa memang tidak mudah untuk mengakses jenis kontrasepsi tertentu seperti vasektomi. Meski prosedur medisnya tergolong sederhana, namun biayanya lumayan mahal, mulai sekitar Rp2 juta. Beberapa pemerintah daerah  juga menganggarkan untuk operasi vasektomi tapi biasanya hanya puluhan orang per tahun yang bisa dibiayai dan seringkali tidak berkelanjutan.

Selain itu, pelayanan vasektomi juga masih terbatas di beberapa kota atau kabupaten saja sehingga belum semua kalangan masyarakat dapat mengakses kontrasepsi jenis ini. Untuk mengatasi biaya ini, Dinas Kesehatan dan petugas kesehatan perlu mensosialisasikan bahwa layanan vasektomi ditanggung dalam BPJS Kesehatan.

Sejauh ini, pilihan kontrasepsi laki-laki memang masih terbatas. Alat kontrasepsi yang paling popular bagi laki-laki adalah kondom, yang peredarannya di Indonesia mencapai 180 juta bungkus per tahun. Penelitian dan uji coba kontrasepsi laki-laki—baik berbasis hormonal maupun tidak—masih terus dilakukan di berbagai negara. Beberapa kontrasepsi seperti Reversible Inhibition of Sperm Under Guidance (RISUG) atau suntik laki-laki dan gel kontrasepsi bahkan telah memasuki fase uji klinis.

Berdasarkan hal tersebut, solusi agar semakin banyak laki-laki berpartisipasi dalam KB adalah mesti lebih diperbanyak sosialisasi dan penyuluhan. Penyebaran informasi mengenai pentingnya peran laki-laki dalam program KB dapat dilakukan dalam bimbingan pranikah baik di Puskesmas, kantor pencatat pernikahan atau tempat ibadah. Bisa juga mengaktifan kader-kader kesehatan di masyarakat. Mereka juga perlu mensosialisasikan pentingnya metode kontrasepsi laki-laki dan meluruskan berbagai mitos yang beredar selama ini. Penyampaian materi mengenai kontrasepsi laki-laki perlu dikemas secara ringan dan menarik namun tetap mendalam agar dapat meyakinkan para suami sebagai target akseptor KB.