Memasuki New Normal di Tengah Pandemi, Potensi Industri Farmasi Herbal Makin Untung, Kok Bisa?
Pemberlakuan New Normal bertujuan baik agar masyarakat bisa kembali beraktifitas dengnan aturan protokol kesehatan yang sangat disiplin. Tentunya, kondisi ini menekan banyak aktivitas ekonomi ternyata memiliki dampak positif untuk sejumlah perusahaan. Salah satu bidang industri yang mendapat untung besar adalah sektor industri farmasi yang menjual obat-obatan.

MONDAYREVIEW.COM - Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kasus positif pertama virus corona di Indonesia, sejumlah obat-obatan untuk penambah daya tahan tubuh atau imun meningkat tajam penjualannya, seperti multivitamin hingga obat-obatan herbal yang mengandung rempah-rempah.
Permintaan obat herbal yang kian meningkat ini sejalan dengan fakta terpahit seperti vaksin belum ditemukan, imunisasi belum dilaksanakan, virus masih tetap ada dan tidak akan hilang.
Oleh karena itu, pentingnya obat-obat herbal penguat imun tubuh dimasa pemberlakukan new normal sangat penting. Sejumlah pelaku industri nasional juga merasakan permintaan yang signifikan.
PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) misalnya, produk-produk lansiran mereka banyak diborong pembeli. Hal tersebut terlihat dari kinerja produsen tolak angin ini sepanjang Kuartal I 2020.
Dari laporan keuangan perseroan yang dikutip dari Bursa Efek Indonesia terlihat bahwa sepanjang periode tersebut penjualan dari segmen jamu dan suplemen menjadi penopang pendapatan perseroan sebesar 68,45 persen, disusul oleh segmen makanan dan minuman sebesar 27,06 persen dan segmen farmasi yang hanya berkontribusi sebesar 4,49 persen dari total omset.
SIDO berhasil membukukan kenaikan laba sebesar 10,85 persen menjadi Rp 231,53 miliar, dari semula Rp 208,87 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Sedangkan dari sisi penjualan, perseroan juga mengalami pertumbuhan menjadi Rp 730,72 miliar, naik 2,39 persen dibanding kuartal I/2019 yakni Rp 713,68 miliar.
Sementara itu perusahaan plat merah PT Kimia Farma Tbk (KAEF) mengaku telah mengantongi pendapatan hingga Rp 1,8 triliun, pendapatan ini didorong dari meningkatnya permintaan sejumlah produk Kimia Farma saat pandemi virus corona atau Covid-19.
Direktur Utama KAEF, Verdi Budidarmo, pasar industri farmasi masih memiliki prospek positif di kuartal I 2020. Asumsi ini berdasar pada adanya kebutuhan farmasi dari pemerintah dan meningkatnya kebutuhan obat serta produk-produk suplemen di kalangan masyarakat saat wabah virus corona melanda.
"Covid-19 telah menyebabkan permintaan dan kebutuhan produk kesehatan meningkat sehingga akhirnya turut berdampak terhadap pendapatan perseroan," kata Verdi dalam keterangannya.
Selain itu yang mendapat untung besar adalah PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dimana produk obat-obatan yang mereka juga juga laku dipasaran, bahkan manajemen juga mengaku tengah bersiap membuat vaksin dan obat-obatan untuk penanganan virus Corona atau COVID-19.
Dalam keterbukaan informasi di laman Bursa Efek Indonesia (BEI) perusahaan mengaku telah melakukan penjajakan kerjasama dan kolaborasi dengan beberapa perusahaan multinasional dari luar negeri untuk membuat vaksin dan obat anti virus corona.
"Ada beberapa calon produk yang direncanakan untuk penanganan virus Corona (Covid-19) dan virus lainnya," tulis manajemen Kalbe Farma.
Sepanjang Kuartal I 2020 KLBF membukukan penjualan bersih hingga Rp 5,8 triliun. Jumlah ini bertumbuh 8,01 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 5,37 triliun.
Adapun penopang kenaikan penjualan di kuartal I 2020 ini berasal dari segmen distribusi dan logistik yang meningkat hingga 13,21 persen year on year (YoY) menjadi Rp 1,8 triliun.
Setelahnya disusul oleh segmen nutrisi sebesar Rp 1,6 triliun atau meningkat 5,26 persen YoY. Untuk segmen obat resep, juga mengalami persentase pertumbuhan yang sama dengan segmen nutrisi, menjadi Rp 1,4 triliun.
Pantauan mondayreview.com, publik berharap pemerintah lebih serius menguatkan Industri Farmasi Lokal yang berbasis herbal, sehingga tidak ada lagi berita yang menohok jika ada anggota DPR memborong obat-obat herbal dari negara lain.
Sekretaris Jenderal Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Abudurahman Syagaff mengaku kecewa. Pasalnya, produk herbal lebih banyak dipasok dari Amerika dan Cina.
" Negeri ini punya herbal berkhasiat tinggi, Indonesia sangat kaya raya dengan herbal jadi jangan impor herbal dari Amerika dan Cina yang totalnya saya kira bisa capai 20 triliun," katanya, kepada mondayreview.com, jum'at (29/5/2020)
Indonesia tak hanya terkenal sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alamnya saja, tapi juga kaya potensi tanaman obat untuk penyembuhan berbagai penyakit.
Indonesia merupakan rumah dari 30.000 jenis dari 40.000 jenis tanaman obat yang tersebar di seluruh Indonesia. Potensi tersebut merupakan lahan yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan atau mengobati beragam penyakit di masyarakat.
Apalagi, tanaman obat pun tak kalah efektif untuk mengobati beragam penyakit. Terbukti, saat ini banyak produksi obat-obatan yang menggunakan material tanaman obat.
Kombinasi antara pengobatan modern yang memanfaatkan bahan alami ialah terobosan inovasi yang perkembangannya harus didukung oleh berbagai lapisan masyarakat.
Dengan adanya Covid-19, Industri farmasi herbal Indonesia sudah saatnya merajai pasar Asia bahkan dunia, sehingga impor herbal dari Cina dan Amerika sudah saatnya berakhir dan hengkang dari bumi pertiwi.